![]() |
Dok. Pribadi |
Judul : Sebelum Filsafat
Penulis : Fahruddin Faiz
Penerbit : MJS Press
Cetakan : VIII, Juni 2023
Tebal : 296 Halaman
ISBN : 978-602-74625-3-3
Peresensi : Mohammad Azharudin
Pertama kali saya bertemu dengan tulisan pak Fahruddin Faiz itu di lama mojok.co. Sejujurnya, saya langsung jatuh cinta dengan tulisan beliau. Menurut saya, pak Faiz mampu mengupas permasalahan yang cukup kompleks dengan bahasa yang begitu sederhana. Tulisan beliau itu ringan, renyah, dan mudah dipahami. Buku ini pun demikian. Kita tidak perlu mengernyitkan dahi kala membacanya. Pak Fahruddin Faiz sendiri menuliskan bahwa buku ini tidak dapat dikategorikan sebagai buku pengantar filsafat. Buku ini lebih pas dibaca justru sebelum seseorang membaca buku-buku pengantar filsafat (hal. 42).
Salah satu pertanyaan besar yang ada dalam buku ini ialah, “Mengapa orang belajar filsafat?”. Menurut pak Faiz, manfaat orang belajar filsafat itu setidaknya ada 3.
a. Menguji hidup. Filsafat itu berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai makna keberadaan kita di muka bumi. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang kita anggap benar hari ini perlu diuji/dipertanyakan, apakah benar ia masih relevan dengan kondisi kehidupan yang dinamis.
b. Belajar berpikir. Salah satu kebutuhan dasar kita sebagai manusia dalam hidup ialah berpikir secara tepat, benar, dan valid. Tujuannya ialah supaya kita dapat mengambil keputusan atau merumuskan fondasi kehidupan terbaik dari berbagai kemungkinan yang ada. Oleh sebab itulah kita perlu belajar filsafat.
c. Menyenangkan dan menantang. Bagi pak Faiz, belajar filsafat itu ibarat bermain puzzle. Ia membutuhkan ketekunan, kesabaran, ketelitian hingga nantinya berujung pada kesimpulan dan kebenaran. Filsafat di sisi lain juga menantang manusia untuk mempertanyakan kehidupannya sendiri.
Pertanyaan besar lainnya yakni, “Jika filsafat disebut sebagai induk semua ilmu, berarti belajar filsafat saja cukup dan tidak perlu ilmu lain?”. Filsafat itu memesona di mata sebagian orang. Tak heran bila banyak yang mengglorifikasinya. Mereka menganggap bahwa filsafat merupakan solusi bagi semua masalah kemanusiaan. Pandangan semacam ini tentu tidak tepat. Filsafat memang mengkaji segala sesuatu sampai titik yang paling dalam. Namun, bukan berarti hal tersebut tak disertai batasan-batasan disiplin yang jelas. Guna memahami isi dari tiap bidang keilmuan, kita tetap membutuhkan materi dari disiplin keilmuan yang berkaitan (hal. 21).
Selanjutnya kita langsung lompat ke bab 5, Menjadi “Bijaksana” dengan Filsafat. Tak sedikit orang yang menilai bahwa mendalami filsafat itu kurang kerjaan, terlalu melangit, tidak realistis, mbulet, neko-neko, tidak jelas maunya, bikin pusing, merumitkan sesuatu yang sebenarnya sederhana, dan anggapan negatif lain yang sejenis. Anggapan-anggapan tersebut muncul biasanya karena ketidakselarasan antara misi dan tujuan filsafat dengan pola berpikir manusia. Filsafat mempunyai tujuan untuk menggali dan memahami sesuatu secara komprehensif dan mendalam. Sementara itu, kebanyakan manusia memiliki pola pikir yang praktis dan sederhana.
Kendati demikian, kita tentu tahu bahwa setiap manusia itu unik, tapi di sisi lain tidak ada manusia yang hidup sendiri. Tiap kehidupan individu pasti memiliki relasi dengan kehidupan individu lain dan lingkungan di sekitarnya. Kenyataan demikian menuntut kita untuk mampu memosisikan diri secara proporsional, tahu batas antara diri kita sendiri dengan hal-hal lain di luar kita. Akhirnya, kita wajib mempunyai kemampuan dalam 4 hal ini.
1. Kemampuan refleksi/kemampuan merumuskan peran apa yang mesti kita ambil dalam kehidupan.
2. Kemampuan mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan yang akan kita ambil.
3. Kemampuan memutuskan dan menjalankan keputusan tersebut dalam tindakan nyata.
4. Kemampuan mempertimbangkan konteks di mana tindakan tersebut akan dilakukan (hal. 92).
Masuk ke bab 7, Dari Mitos Menuju Logos. Ketika filsafat belum lahir, kehidupan manusia disesaki oleh berbagai macam mitos. Peran mitos-mitos tersebut ialah menjelaskan asal mula peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta. Hal inilah yang kemudian mendorong para filosof untuk mengajukan beragam pertanyaan guna mencari kebenaran yang sejati, bukan hasil spekulasi yang tidak rasional. Mereka menggunakan logos untuk berupaya keras memisahkan kebenaran dari khayalan.
Pasca-munculnya logos, apakah mitos lenyap begitu saja?. Kenyataannya, mitos tak pernah hilang dari khazanah peradaban manusia. Dalam konteks hari ini, mitos dapat diartikan sikap menganggap penjelasan atau pandangan tertentu tentang realitas sebagai “pasti benar dan tidak boleh diubah”. Mitos di satu sisi membuat manusia tidak dapat melihat realitas secara jernih. Namun, di sisi lain mitos kadang difungsikan untuk tujuan positif oleh masyarakat tertentu (misal: untuk menjaga kelestarian alam). Meski begitu, seiring pemikiran manusia yang terus berkembang, tabir-tabir mitos akan luntur dan banyak orang akan sadar bahwa mitos yang mereka yakini sebenarnya tidak masuk akal (hal. 119).
Berikutnya bab 8, Sikap Mental Seorang Filosof. Jika kita ingin menjadi seorang filosof, memiliki banyak data dan pemahaman mendalam terhadap berbagai ide besar kefilsafatan adalah sesuatu yang penting. Namun, mengetahui bagaimana cara bersikap ala seorang filosof juga tak kalah penting. Seperti apa mestinya seorang filosof bersikap dapat kita ketahui dari 3 tugas utama filsafat di bawah ini.
a. Refleksi, menguji terus-menerus terhadap berbagai realitas hidup.
Dalam tugas pertama ini, filsafat adalah sebuah pendobrak di mana ia mampu meruntuhkan kebuntuan yang terjadi dalam realitas. Tak sedikit manusia yang mondar-mandir dalam belenggu tradisi dan kebiasaan rutin yang mereka anggap “memang sudah seharusnya berjalan seperti itu”. Ironisnya, sebagian besar manusia tak berani mengkaji ulang tradisi/rutinitas termaktub ketika terjadi keterputusan relevansi antara tradisi/relevansi itu dengan konteks zaman yang sedang berlangsung. Filsafat bermaksud meruntuhkan kemandekan dan ketakutan untuk berubah di sini.
b. Filsafat sebagai pembebas.
Ini merupakan kelanjutan tugas dari yang pertama. Melalui segala aktivitas filosofisnya, filsafat bermaksud menyadarkan manusia dari semua tradisi/rutinitas yang mereka lakukan tanpa benar-benar paham mengapa dan untuk apa mereka melakoninya. Filsafat ingin manusia dapat memandang secara jernih terhadap realitas kehidupannya.
c. Filsafat sebagai pembimbing.
Filsafat telah menyediakan perangkat dan aturan untuk berefleksi, berpikir, dan menilai secara proporsional. Hal tersebut menunjukkan bahwa filsafat mengidealkan tiap manusia untuk memahami dan menentukan hidupnya sendiri. Filsafat tak berkenan manusia berperilaku ikut-ikutan atau melakukan sesuatu tanpa mengerti ke mana arahnya. Ini senada dengan fakta bahwa setiap tindakan yang dilakukan seseorang itu nantinya harus dipertanggungjawabkan. Tentu akan sangat ironis ketika seseorang melakukan sesuatu tanpa tahu mengapa dan untuk apa, sementara di kemudian hari ia harus mempertanggungjawabkan tindakan yang sudah jelas-jelas telah dilakukannya tersebut (hal. 125).
0 Comments