![]() |
Dok. Pribadi |
Judul : Filsafat Aristoteles
Penulis : Frederick Copleston
Judul Asli : A History Of Philosophy (volume I)
Penerjemah : Atollah Renanda Yafi
Penerbit : BASABASI
Cetakan : I, Oktober 2020
Tebal : 242 Halaman
ISBN : 978-623-305-001-2
Peresensi : Mohammad Azharudin
Usai mengulas Socrates dan Plato, kini tiba giliran Aristoteles. Aristoteles lahir di Stogeria, Trakia pada tahun 384 SM. Ayahnya bernama Nikomakus, ia merupakan tabib raja Makedonia (yang bernama Amyntas II). Saat usianya menginjak 17 tahun, Aristoteles pergi ke Athena untuk menempuh studi. Ia kemudian menjadi anggota Akademi milik Plato pada tahun 368 SM. Setelah Plato meninggal, Aristoteles memberikan pujian kepadanya dengan menyebutnya sebagai, “Orang yang orang jahat bahkan tak punya hak untuk memujinya, dan yang menunjukkan dalam kehidupan sekaligus ajarannya bagaimana menjadi bahagia dan baik di saat yang bersamaan”.
Selepas itu, Aristoteles meninggalkan Athena bersama dengan Xenocrates. Mereka berdua menuju kota Asos. Saat di Asos, Aristoteles menjalin relasi dengan penguasa Atameus (yang bernama Hermias) dan di kemudian hari menikahi keponakannya, yakni Pythias. Pada tahun 335 SM, Aristoteles kembali ke Athena dan mendirikan sebuah sekolah. Lokasi sekolahnya berada di Lyceum, kawasan Apollo Lyceus. Sekolah Aristoteles ini memberikan kuliah secara teratur dan dilengkapi perpustakaan. Pada tahun 323 SM, Aristoteles kembali meninggalkan Athena. Kali ini ia menuju ke Khalkis, Euboiea. Setahun berselang, yakni pada tahun 322 SM, Aristoteles meninggal karena penyakit (hal. 10).
Karya-karya Aristoteles terbilang cukup banyak. Buku ini membaginya menjadi 3 periode. Periode pertama, Aristoteles masih berhubungan dengan Plato. Dalam masa ini, Aristoteles sangat berpegang teguh pada gurunya. Namun, dalam karyanya yang berbentuk dialog, Aristoteles justru menampilkan dirinya sebagai pemimpin percakapan. Salah satu karya yang termasuk dalam periode ini adalah Protepticus. Periode kedua, aktivitas Aristoteles selama di Assos dan Mitylene. Dalam periode ini, Aristoteles tak lagi didominasi oleh pemikiran Platonis. Ia kini malah menjadi lebih kritis terhadap ajaran-ajaran Akademi. Salah satu karya yang lahir dalam periode ini berjudul On Philosophy, sebuah karya yang menggabungkan pengaruh Platonis dengan kritik terhadap beberapa teori Plato.
Periode Ketiga, periode kepemimpinan Aristoteles di Lyceum. Pada periode ini, Aristoteles menjelma sebagai seorang pengamat empiris. Ia memberi pengarahan di Lyceum terkait investigasi yang berkelanjutan dan sistematis terhadap sejarah dan fenomena alam. Karya-karya Aristoteles pada periode ketiga ini meliputi (hal. 19).
a. Karya-karya seputar Logika. Contohnya, The Categories, De Interpretatione, Prior Analytics, Posterior Analytics, Topics, dan Sophistical Fallacies.
b. Karya-karya seputar Metafisika.
c. Karya tentang Psikologi, Filsafat Alam, dan Ilmu Alam. Contohnya adalah Physics, The Meteorology, The Histories of Animal, De Incessu Animalium, De Generatione Animalium, De Anima, Para Naturalia, dan Problemata.
d. Karya tentang Etika dan Politik. Misalnya Magna Moralia, Nicomachean Ethics, dan Politics.
e. Karya-karya tentang Estetika, Sejarah, dan Sastra. Sebagai contoh yakni Rethorics dan Poetics.
Lanjut ke bab III yang menguraikan tentang “Metafisika Aristoteles”. Terdapat pertanyaan yang cukup menarik di bab ini yaitu, “Apakah Dewa Aristoteles adalah Dewa Pribadi?”. Dalam konteks ini, justru ditemukan inkonsistensi. Kadang Aristoteles berbicara tentang Tuhan sebagai Tuhan, tapi kadang ia juga membicarakan Tuhan sebagai Penggerak Pertama yang Tidak Bergerak. Sementara itu, dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles malah berbicara tentang para dewa. Tampaknya Aristoteles memang sebagaimana kebanyakan orang Yunani yang tak terlalu khawatir soal jumlah dewa.
Tidak ada indikasi bahwa Aristoteles pernah menganggap Penggerak Pertama sebagai objek pemujaan. Copleston menuliskan bahwa apabila kita ingin menyebut Aristoteles sebagai seorang monoteis, maka kita mesti mengatakan bahwa Tuhannya itu pribadi (sepenuhnya berpusat pada diri sendiri). Terkait keberadaan Tuhan, Aristoteles pernah bertutur, “Di mana ada yang lebih baik, ada yang terbaik. Sekarang di antara hal-hal yang ada, satu lebih baik daripada yang lain. Oleh sebab itu ada yang terbaik, yang harus menjadi yang ilahi”. Menurut Copleston, gagasan Aristoteles tentang Tuhan ini seharusnya sudah melampaui kata “memuaskan” (hal. 108).
Lompat langsung ke bab V tentang “Etika Aristoteles”. Sifat dari Etika Aristoteles adalah teleologis. Ia peduli dengan tindakan bukan sebagai benar dalam dirinya sendiri, melainkan dengan tindakan yang kondusif untuk kebaikan manusia. Semua yang mendukung pencapaian kebaikan, pada akhirnya akan menjadi “tindakan benar”. Sebaliknya, setiap tindakan yang bertentangan dengan pencapaian kebaikan akan berujung menjadi “tindakan salah”. Mengenai pertanyaan tentang apa yang baik bagi manusia, Aristoteles menjelaskan bahwa hal tersebut tidak dapat dijawab dengan ketepatan mengingat ia sama sekali tak sama dengan masalah matematis.
Aristoteles pernah menyatakan, “Setiap seni dan penyelidikan, setiap tindakan dan pilihan, tampaknya bertujuan pada kebaikan; yang mana kebaikan tersebut telah didefinisikan sebagai sesuatu yang menjadi tujuan semua hal”. Tentu di sini masing-masing seni/ilmu memiliki tujuan spesifik yang berbeda. Misalnya, ilmu kedokteran untuk kesehatan, ilmu pelayaran untuk perjalanan yang aman, dan ilmu ekonomi untuk kekayaan. Aristoteles mengklasifikasikan Etika sebagai cabang dari ilmu politik/sosial. Dalam Politics, Aristoteles mulanya mengulas ilmu etika individu, selepas itu baru ia membahas ilmu politik etika (hal. 137).
Dalam bab berikutnya (bab VI) yang dibahas adalah “Politik”. Bagi Aristoteles, negara ada untuk mencapai tujuan tertentu—seperti halnya komunitas lainnya. Tujuan tersebut merupakan kebaikan tertinggi untuk manusia, entah itu dalam segi moral maupun intelektual. Aristoteles menguraikan pandangan positifnya dalam Politics terkait seperti apa negara semestinya, sebagai berikut.
a. Negara harus cukup besar untuk menjadi mandiri, tetapi tak terlalu besar sehingga pemerintahan dan tatanan yang baik justru menjadi tidak praktis.
b. Luas wilayah negara berlaku sebagaimana poin a, tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar. Aktivitas di suatu kota semestinya tidak sekadar mengejar kekayaan, melainkan juga mengimpor kebutuhan serta mengekspor kelebihan.
c. Warga. Pengrajin dan buruh pertanian dibutuhkan, tetapi mereka hanya akan menempati posisi kelas ketiga yang mana mereka tidak akan bisa menikmati hak warga negara. Sementara itu, pihak yang bisa menjadi warga negara (dalam arti penuh) adalah prajurit.
d. Pendidikan. Aristoteles percaya penuh bahwa pendidikan adalah perkara yang penting dan merupakan bagian dari pekerjaan negara—ini sama persis dengan pandangan Plato. Menurut Aristoteles, pendidikan pertama dan paling utama yang harus diajarkan adalah pendidikan moral.
0 Comments