![]() |
Unsplash.com |
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab merupakan salah satu pakar tafsir Indonesia yang namanya sudah tak asing lagi di telinga kita. Kendati demikian, ada beberapa pihak yang mengklaim bahwa Prof. Quraish merupakan seorang Syiah. Buya Arrazy Hasyim merespons desas-desus tersebut. Buya Arrazy menyebutkan bahwa gurunya, KH. Ali Mustafa Yaqub, memiliki banyak perbedaan (pandangan) dengan Prof. Quraish. Walau begitu, KH. Ali Mustafa Yaqub tidak pernah sekali pun menuduh Prof. Quraish seorang Syiah. Akhlak semacam ini kerap dilupakan oleh orang-orang di zaman sekarang.
Buya Arrazy juga menjelaskan bahwa ciri utama Syiah adalah di satu sisi mengultuskan Ali ibn Abi Thalib, sementara di sisi satunya menghujat (tidak memuliakan) sahabat Nabi saw lainnya. Adapun Prof. Quraish tidak pernah melempar hujatan kepada sahabat-sahabat selain Ali ibn Abi Thalib. Lebih lanjut, Buya Arrazy memaparkan bahwa dalam kitab tafsirnya, Prof. Quraish memang beberapa kali mengutip pendapat ulama Syiah. Namun, hal tersebut dilakukan dalam konteks komparasi, bukan merupakan wujud kampanye ideologi Syiah. Harus dicatat di sini bahwa aktivitas pengutipan pandangan ulama Syiah tidak lantas menjadikan si pengutip Syiah pula. Ini berlaku pula terhadap mazhab lainnya.
Bicara tentang Prof. Quraish, ada satu penjelasan beliau yang―menurut saya―sangat menarik. Penjelasan tersebut terkait dengan “apa itu agama?”. Dapat disebut agama apabila memenuhi 3 syarat utama ini menurut Prof. Quraish.
1. Keyakinan terhadap Eksistensi Tuhan
Dalam kitab ‘Aqidah al-Awwam, Syekh Ahmad al-Marzuqi menuliskan bahwa sifat wajib Allah swt yang pertama adalah wujud (ada, memiliki eksistensi). Tidak mungkin Allah swt tidak mempunyai eksistensi. Hal yang sama juga berlaku di agama selain Islam (meskipun konsep akidah yang dimiliki jelas berbeda). Semua agama meyakini bahwa Tuhan itu eksis. Lantas, Tuhan itu siapa (dalam konteks definisi)?. Dalam KBBI, Tuhan didefinisikan sebagai zat yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya. Dalam artikel jurnal yang berjudul “Tuhan dan Manusia”, Armin Tedy menuliskan bahwa kata “Tuhan” merujuk kepada zat yang abadi, supranatural, mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta.
Dalam al-Qur’an, kata “Tuhan” disebutkan dalam 3 bentuk. Pertama, rabb. Kata “rabb” biasanya dikaitkan dengan posisi Tuhan sebagai pencipta sekaligus pemelihara keseluruhan alam. Salah satu ayat yang di dalamnya terdapat kata “rabb” adalah surat al-‘Alaq ayat 1 berikut.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan!. (QS. al-‘Alaq/96: 1)
Kedua, malik. Kata “malik” dipakai dalam konteks posisi Tuhan sebagai yang berkuasa atau merajai sesuatu yang telah diciptakan-Nya. Kata “malik”, salah satunya, tercantum dalam surat al-Nas ayat 2 di bawah ini.
مَلِكِ النَّاسِ
Raja manusia. (QS. al-Nas/114: 2)
Ketiga, ilah. Kata “ilah” merujuk pada zat yang disembah. Dalam al-Qur’an, kata “ilah” tak selalu dikaitkan dengan Allah swt. Ada kalanya kata “ilah” dikaitkan dengan hal lain, misalnya hawa nafsu seperti yang terdapat dalam surat al-Furqan ayat 43 ini.
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan keinginannya (hawa nafsunya) sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya?. (QS. al-Furqan/25: 43)
2. Dorongan untuk Berinteraksi dengan Tuhan
Dalam Islam kita mengenal istilah “ibadah”. KBBI mengartikan kata “ibadah” sebagai sebuah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah swt, yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Secara etimologis, “ibadah” memiliki akar kata ‘abada, yang bermakna “menghamba”. Khotimatul Husna dan Mahmud Arif dalam tulisannya yang berjudul “Ibadah dan Praktiknya dalam Masyarakat” menuliskan bahwa dalam Islam ibadah dikategorikan menjadi 3 yaitu.
a. Ibadah hati (qalbiyyah). Misalnya, ketika seseorang memiliki rasa takut, cinta (mahabbah), mengharap (raja‘), ikhlas, tawakkal.
b. Ibadah lisan & hati (lisaniyyah wa qalbiyyah). Contohnya adalah zikir, syukur, berdoa, membaca al-Qur’an.
c. Ibadah fisik & hati (badaniyyah wa qalbiyyah). Beberapa contoh dari ibadah kategori ini adalah shalat, zakat, puasa, haji.
Sebagian agama lain lebih mengenal istilah “ritual”. Dalam sudut pandang ilmu antropologi agama, apa yang disebut “ritual” adalah perilaku tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu tertentu secara berkala, menjadi penanda sebuah tindakan yang didasari oleh keyakinan religius terhadap kekuasaan dan/atau kekuatan mistis (bukan sekadar rutinitas yang bersifat teknis). Tujuan dari ritual sendiri sangat variatif. Beberapa di antaranya yakni memenuhi kewajiban agama, memenuhi kebutuhan spiritual atau emosional, mempererat ikatan sosial, menyediakan pendidikan sosial dan moral, menunjukkan rasa hormat atau penyerahan.
3. Kepercayaan terhadap Hari Pembalasan
Istilah yang kerap kita dengar terkait hal ini adalah “hari kiamat”. Jauh sebelum hari kiamat terjadi, Imam al-Ghazali meyakini adanya siksa atau nikmat kubur pasca-manusia wafat. Namun, menurut Imam al-Thabari ada 3 pendapat berbeda terkait hal ini, yaitu.
a. Bisa saja Allah swt menyiksa orang-orang yang dikehendakinya.
b. Siksa kubur adalah sebuah keniscayaan karena terdapat hadis yang menyebutkan bahwa Allah swt menyiksa suatu kaum setelah kematian mereka.
c. Sebagian berpendapat bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi.
Dalam agama lain, persoalan hari pembalasan juga tak luput dibahas. Contohnya, agama Kristen. Sebuah artikel jurnal yang berjudul “Eskatologi dalam Injil Markus” memaparkan bahwa Markus menulis tentang adanya suatu hari di masa depan yang penuh dengan penderitaan yang sebelumnya tak pernah terjadi. Hari itu disebut sebagai “hari kesusahan besar”. Wallahu A‘lam.
0 Comments