Ticker

6/recent/ticker-posts

Kontradiksi Superiority Complex dalam Ekosistem Pesantren dengan Konsep Tawadhu‘ al-Ghazali

 

Unsplash.com/Road Ahead

Beberapa waktu yang lalu saya mencoba mengetik kalimat “Kasus Bullying di Pondok Pesantren” di pencarian Google. Jujur saja, hasilnya membuat saya tertegun. Berikut apa yang saya dapat di page pertama.

1.     Kasus bullying di pesantren Kediri (bbc.com/29 Februari 2024)

2.     Kasus bullying di pesantren Grogol, Sukoharjo (detik.com/18 September 2024)

3.     Kasus bullying di pesantren Nganjuk (detik.com/10 Desember 2024)

4.     Kasus bullying di pesantren Malang (tempo.co/24 Februari 2024)

5.     Kasus bullying di pesantren Lombok Barat, NTB (rri.co.id/27 Juni 2024)

Semua kejadian di atas terjadi di tahun 2024, tentu ingatan masyarakat terhadap rentetan kasus bullying tersebut masih melekat. Dampak terbesar dari hal ini sudah pasti masyarakat kian skeptis—atau justru sebagian telah hilang kepercayaan—pada kredibilitas pesantren. Mengingat kasus bullying ini tidak terjadi di 1 pesantren saja, melainkan di beberapa pesantren dengan lokasi yang berbeda, pesantren-pesantren lain yang anteng-anteng saja pun ikut kena getahnya.

Fakta-fakta di atas tidak bisa tidak kita akui. Bagaimanapun ia sudah nyata terjadi dan kita memang harus introspeksi. Jika melihat beberapa kasus bullying di pesantren yang berujung pada kematian korban, artinya kondisi ini sudah benar-benar darurat. Apa yang sebenarnya salah di lingkungan pesantren hari ini?. Usia saya masih sangat muda, saya akui bahwa saya belum tahu detail watak pesantren di masa lalu. Sependek yang saya ketahui, dahulu pesantren dilihat kebanyakan orang sebagai wadah untuk mencetak masyarakat religius. Namun, belakangan pandangan tersebut telah bergeser. Pesantren bagi sebagian orang kini dipandang sebagai tempat berkumpulnya anak-anak yang orang tuanya merasa tak lagi sanggup mendidik perilakunya.

Walau tidak semua orang tua seperti itu, tapi beberapa contohnya memang ada. Tentu para orang tua ini sangat berharap supaya karakter anaknya berubah lebih baik bila mendapat pendidikan (agama) di pesantren. Namun, kadang yang terjadi justru anak-anak mereka membuat ulah di pesantren. Merasa tak diawasi orang tua, mereka pun berpikir bisa bertindak sebebas-bebasnya. Apalagi ketika mereka telah memiliki adik kelas (santri baru), mereka pun merasa punya kuasa lebih besar dan kedudukan lebih tinggi. Perasaan semacam ini lantas melahirkan anggapan, “Semua santri baru harus tunduk dan menghormatiku”. Ketika ada santri baru yang sikapnya dirasa tidak menghormati, alih-alih menasihati, bullying justru dijadikan konsekuensi.

Sikap di atas merupakan wujud superiority complex. Dalam artikel jurnal yang berjudul “Fenomena Superiority Complex dan Perilaku Narcissistic di Media Sosial dalam Perspektif Hadis” diuraikan bahwa superiority complex merupakan gangguan psikologis di mana individu menilai dirinya lebih baik dalam semua lini kehidupan dibandingkan orang lain. Superiority complex dapat dilihat dari  5 indikator berikut.

a.      Senantiasa mencari validasi

b.     Sukar mengakui kesalahan diri sendiri

c.      Rentan terhadap perubahan suasana hati

d.     Suka terhadap hal-hal yang berada di bawah kendalinya

e.      Kerap membandingkan dirinya dengan orang lain

Bagaimanapun, superiority complex bukan perkara yang dapat dibenarkan, sekalipun perilakunya adalah bagian dari elite agama. Memang, tak semua santri terjangkit superiority complex. Namun, kita tetap harus membuka mata bahwa virus tersebut telah memakan banyak korban. Superiority complex tentu tak datang serta-merta tanpa permisi. Ada beragam faktor yang dapat memicunya, mulai dari peran dan/atau perhatian keluarga (orang tua) hingga tak adanya tindakan tegas di lingkungan pesantren. Kita tak sepatutnya mencari kambing hitam di sini. Rasanya akan lebih baik bila kita mencari solusi bagaimana memitigasi tumbuhnya superiority complex di kalangan santri ini.

Saya kira tidak ada satu pun pesantren yang mengajarkan arogansi, semua pasti dengan lantang membawa narasi soal urgensi tawadhu’. Artikel jurnal yang berjudul “Analisis Sistem Penerapan Sikap Tawadhu’ di Pondok Pesantren Al-Barokah (Studi Analisis Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia)” menuliskan bahwa tawadhu’ menurut Imam al-Ghazali ialah mengeluarkan kedudukan kita dan menganggap orang lain lebih utama daripada kita. Dalam definisi tersebut, kita dapat membaca bahwa Imam al-Ghazali tidak memberi batasan guru-murid, tua-muda, senior-junior. Artinya, tawadhu’ itu berlaku bagi siapa pun terhadap siapa pun tanpa memandang status maupun usia.

Konsep tawadhu’ dari yang muda terhadap yang tua sudah sering kita dengar dan tampaknya kita tidak memiliki dikotomi interpretasi di sini. Lalu, bagaimana dengan konsep tawadhu’ dari yang tua terhadap yang muda?. Dalam konteks relasi guru-murid, sosok guru yang tawadhu’ adalah guru yang tidak menyombongkan diri atas ilmu yang dimiliki. Sikap tawadhu’ guru ini dapat memangkas jarak antara ia dengan para muridnya sehingga tercipta lingkungan pembelajaran yang nyaman. Ini mungkin terjadi lantaran guru yang arogan akan membuat para muridnya menjauh.

Adapun bila konteksnya senior-junior, maka sosok senior yang tawadhu’ ialah dia yang menyadari bahwa dirinya memiliki ketidaksempurnaan, baik fisik maupun pengetahuan. Dengan bersikap demikian, maka seorang (santri) senior tidak akan gampang menilai rendah—apalagi sampai mem-bully—para juniornya. Kesadaran semacam ini penting dimiliki semua santri. Tujuannya supaya pesantren tidak menjadi gelanggang bullying, melainkan menjadi miniatur masyarakat yang ideal. Utopianisme saya di sini mungkin terasa berlebihan. Namun, bukankah tak ada salahnya untuk berharap dan sedikit mendorong pesantren supaya segera berbenah di era “satu pihak yang melakukan kesalahan, semua yang punya kemasan serupa ikut dihakimi habis-habisan”?.

Superiority complex telah menjangkiti banyak santri. Masalahnya, kerap kali yang terjangkit bukan satu atau dua orang, melainkan satu kelompok. Apabila ada anggota kelompok santri tersebut yang tersinggung, maka semuanya akan ikut mengeroyok orang yang menyinggung tadi. Pesantren harus memberi pengawasan ketat dan kontrol atas hal ini. Jangan sampai pesantren malah menutup-nutupinya, mengatakan kepada publik bahwa semua baik-baik saja, sekadar demi citra nama baik. Justru sikap semacam itulah yang meruntuhkan branding pesantren sebagai tempat pendidikan agama, khususnya di mata masyarakat urban. Oleh sebab itu, mari jadikan pesantren kita diliputi akhlak al-karimah, supaya orang-orang di luar sana tidak menaruh stigma pada pesantren sebagai sarang anak-anak bermasalah. Wallahu A’lam

Post a Comment

0 Comments