Ticker

6/recent/ticker-posts

Kalis Mardiasih: Berani Bilang “Nggak Tahu” Itu Keren

 

Instagram.com/agusmagelangan

Kurang lebih satu tahunan yang lalu, tepatnya Rabu (25 November 2020) saya mengikuti Online Class AkadeMI 2020 (Day 2) yang diselenggarakan oleh Indika Foundation. Tema hari ke-2 tersebut adalah “Cara Jitu Tangkas Hoax ala Anak Muda Muslim”. Pematerinya adalah 2 orang yang nggak abal-abal, mereka adalah mbak Kalis Mardiasih dan Gus Irfan L. Sarhindi. Penjelasannya enak, singkat, dan mudah dipahami khususnya bagi saya yang nggak pahaman.

Jujur, sebenarnya saya tipikal orang yang males nyimak ketika mengikuti webinar atau kelas online. Saya sering ngantuk bahkan ketiduran di tengah pemateri yang sedang menjelaskan, astaghfirullah!. Namun, berbeda dengan kemarin. Entah kenapa saya merasa sangat bersemangat untuk mengikuti Online Class mulai awal hingga akhir. Mungkin penyebabnya karena 2 pematerinya, atau mungkin juga karena semangat peserta yang lain, atau mungkin saya sedang agak Good Mood. Entahlah! Ngapain juga saya bahas. Nggak penting.

Kembali ke Online Class. Mbak Kalis kebagian sesi pertama, materinya berjudul “Critical Thinking for Peace”. Setengah jam berlalu, Mbak Kalis selesai menjelaskan. Meskipun sesi tanya-jawab belum dibuka, tapi pertanyaan dari peserta sudah membanjiri room chat. Hal ini juga terjadi pada sesinya Gus Irfan. Selepas pemaparan materi sesi 2 dari Gus Irfan, tibalah giliran moderator untuk membacakan pertanyaan. Salah satu pertanyaan yang saya ingat adalah, “Apabila kita telanjur menyebarkan hoax, lalu kita menyadarinya dan ingin meminta maaf. Bagaimana cara yang baik untuk melakukannya?”.

Mbak Kalis menjawab pertanyaan termaktub dengan cukup rinci, dan satu kalimat dari penjelasannya itu―yang menurut saya penting digunakan sebagai refleksi diri―adalah, “Berani bilang “nggak tahu” dan “maaf” itu keren. Ini merupakan kalimat yang sangat relevan dengan potret anak muda saat ini. Di era merebaknya influencer seperti sekarang, kita merasa seolah mengatakan “nggak tahu” itu sesuatu yang memalukan. Akibatnya, banyak orang ketika ditanya sesuatu yang sebenarnya mereka tak tahu jawabannya, malah mengarang jawaban yang jauh dari kebenaran.

Hal tersebut tentu sesuatu yang menyesatkan. Apalagi jika hal itu terjadi di ranah agama (khususnya bidang teologi), bisa-bisa malah berujung pada kafir-mengafirkan. Fenomena takut bilang “nggak tahu” sebenarnya malah membuat kebenaran menjadi kabur. Manusia terombang-ambing di tengah ketidakpastian, tak tahu mana yang benar, mana yang salah. Ujungnya apa? Kita lebih memilih pembenaran daripada kebenaran. Apa yang tidak sesuai dengan persepsi kita, maka itu salah. Subjektifitas dan pendulangan ego mendominasi diri kita. Begitulah! Setiap hari kita selalu menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyadari kekurangan diri, mengetahui bahwa kita tak memiliki pengetahuan terhadap sesuatu. Hal ini bertujuan agar kita tak menjawab asal-asalan (ketika ditanya) sehingga membuat orang lain tersesat. Juga supaya kita tidak arogan, merasa diri paling tahu segalanya hingga kemudian enggan untuk belajar. Hal termaktub tentu menyalahi kodrat kita, sebab kita diperintahkan untuk belajar mulai dari ayunan hingga liang lahat.

Penyebab orang enggan untuk sekadar mengatakan “nggak tahu” ketika ditanya (mungkin) salah satunya adalah takut kehilangan 1 follower. Mereka menganggap bahwa followers adalah fondasi kehidupan mereka, sehingga kehilangan 1 follower menyebabkan bangunan kehidupan mereka tak lagi indah. Penyebab selanjutnya adalah takut dianggap bodoh bila menjawab “nggak tahu”. Padahal, jika dipikir-pikir sebenarnya dianggap bodoh jauh lebih baik ketimbang ketahuan sok tahu. Ketahuan sok tahu malah akan menjatuhkan harga diri kita secara drastis. Jadi, mari mulai beranikan diri untuk jujur dan mengakui bahwa kita nggak tahu terhadap suatu hal. Karena, berani bilang “nggak tahu” itu keren.

Post a Comment

0 Comments