![]() |
Unsplash.com |
Desa merupakan kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistemp pemerintahan sendiri, itu menurut KBBI. Sebagai antonim dari ‘kota’, tentunya sifat-sifat desa bertolak belakang dengan kota. Desa identik dengan orang-orang yang suka gotong-royong, konservatif, tingkat kepadatan penduduk yang rendah, agraris dan nelayan, tak lupa kekompakan emak-emak dalam setiap rerasan. Semua itu tak bisa ditemukan di kota yang mana orang-orangnya cenderung individualistis.
Orang kota berkata, “Ngurus hidup sendiri aja susah, ngapain juga ngurusin hidup orang lain!?”. Orang desa tidak demikian, mereka berujar, “Ngurus hidup sendiri susah, makannya perlu diringankan dengan cara membicarakan hidup orang lain sampai ke akar-akarnya.” Yah...begitulah potret masyarakat desa di Indonesia. Bicara soal desa―yang kata KBBI punya sistem pemerintahan sendiri―tentunya tak terlepas dari seorang manusia yang disebut ‘kepala desa’ (berserta para jajarannya).
Mereka adalah wakil rakyat yang paling dekat dengan rakyat. Mereka (seharusnya) adalah orang yang paling mengetahui kondisi rakyat, khususnya rakyat kecil. Alasannya jelas karena ranah kepemimpinan mereka yang paling kecil dibanding wakil rakyat lainnya. Oh, iya! Para jajaran kepala desa yang dimaksud di sini bukan hanya sekretaris desa dan orang-orang yang berkantor di balai desa, tapi juga mencakup ketua RT, ketua RW, juga kepala dusun.
Walau sebenarnya orang-orang yang mereka pimpin
layani adalah orang-orang yang notabene tetangga, tapi namanya juga pejabat,
sering kali kelakuannya ngelawak (sayangnya lawakan para pejabat jarang
yang lucu). Yap! Begitulah pejabat desa yang tak beda jauh dengan
pejabat-pejabat lainnya. Sering kali kerjaannya bukan melayani rakyat, tapi
menyusahkan rakyat. Bila pejabat-pejabat negara melawak dengan cara mengonsumsi
uang rakyat, sandiwara pengadilan, mengejar impian saat rapat, merancang UU
yang menyengsarakan rakyat, lalu bagaimana dengan para pejabat desa?. Mereka
mungkin tak melakukan itu, tapi ada beberapa lawakan mereka yang bikin rakyat
resah, di antaranya.
1. Hanya Mau Melayani di Kantor
Ini sangat menyusahkan masyarakat desa. Tipikal masyarakat desa itu praktis, bukan sistematis. Ketika seorang pejabat desa hanya mau melayani masyarakat―seperti memberi tanda tangan dan semisalnya―di kantor, dan ia enggan melayani di tempat lain (misalnya di rumah dia), masyarakat akan berkomentar bahwa orang tersebut cuma nyusahin masyarakat. Di desa saya ada lho orang model seperti itu. Sifatnya kaku, nggak fleksibel. Saat pilkades dilaksanakan dan orang tersebut mencalonkan diri lagi, jumlah suara dari masyarakat yang memilihnya turun cukup signifikan. Secara, masyarakat tentu tak mau memilih orang yang kerjaannya mempersulit urusan mereka. Kalau dipikir-pikir, memang apa susahnya sih memberi tanda tangan (melayani) masyarakat di rumah?.
2. Tak Mau Bergaul dengan Masyarakat
Pejabat desa memang orang yang paling dekat dengan rakyat, tapi banyak lho dari mereka yang nggak mau merakyat. Contohnya, ketika ada salah satu warga desa yang meninggal, harusnya―sebagai manusia―pejabat desa ikut berduka dan membantu prosesi pemakaman, apalagi kalau yang meninggal tetangganya sendiri. Namun, di desa saya hal termaktub tak terjadi. Pejabat desa seolah tak peduli dengan duka warganya. Bahkan, ketika acara mendoakan sampai 7 hari, pejabat desa tersebut tak datang sehari pun. Nau’dzubillah min Dzalik.
3. Menambah Masalah Warganya
Bila kalian berpikir pejabat desa itu selalu sedia membantu warganya, maaf! Sayangnya beberapa dari mereka malah menambah masalah warganya. Ini contohnya, saat itu ada seorang wanita yang tasnya disambar oleh seorang lelaki. Sebelum melarikan diri, lelaki tersebut mengatakan kepada si perempuan bahwa ia merupakan anak dari bapak A yang tinggal di desa saya. Kabar tersebut kemudian terdengar sampai ke telinga kepala dusun. Tanpa pikir panjang dan pertimbangan apapun, kepala dusun langsung menuju rumah bapak A.
Sesampainya di sana, kepala dusun langsung memaksa (Catat! Memaksa lho ya, bukan bicara baik-baik) bapak A untuk mengembalikan tas si perempuan tadi. Ini terjadi di waktu malam, sekitar jam 11. Bapak A yang mengetahui bahwa anaknya sedang merantau di Sulawesi tak terima dengan tuduhan dan perlakuan kepala dusun. Bapak A kemudian menjelaskan keberadaan anaknya, menelfonnya, menyuruhnya bicara dengan kepala dusun. Kepala dusun pun salah tingkah, ia kemudian disuruh pulang oleh bapak A.
Itulah beberapa kelakuan pejabat desa yang justru membuat resah masyarakat. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari hal-hal di atas. Dan untuk para pejabat desa yang tak terima, maaf! Saya hanya menyampaikan keluh-kesah masyarakat.
0 Comments