![]() |
Pexels.com |
Kita semua tahu bahwa Sang Pemilik Kesempurnaan hanya Allah. Meski manusia adalah ciptaan yang paling sempurna, tapi tetap saja tak ada ciptaan yang sempurna. Allah telah memberi kelebihan dan kekurangan pada semua ciptaan-Nya, tak ada yang luput satu pun. Hal inilah yang membuat semesta tetap berada dalam keseimbangan.
Sayangnya, manusia―sebagai satu-satunya makhluk yang dibekali akal―sering kali menyalahgunakan kelebihan yang dimilikinya. Contoh yang paling mudah ditemui adalah eksploitasi alam, seperti penggundulan hutan yang membabi buta tanpa reboisasi dan perburuan hewan tertentu demi kepentingan finansial pribadi semata. Tak hanya terhadap lingkungannya, manusia juga berbuat kelaliman terhadap sesama manusia. Hal tersebut sangat mudah ditemui, apalagi di era digital saat ini.
Banyak ditemukan orang-orang yang saling kafir-mengafirkan di media sosial. Padahal syahadatnya masih sama. Belum lagi banyaknya akun anonim yang sering menebar fitnah dan kebencian. Sungguh keadaan yang tak karuan. Pertanyaannya, apakah hal tersebut hanya dilakukan oleh mereka yang tidak kita kenal? Atau orang-orang di sekitar kita? Atau kita juga terlibat di dalamnya?. Melalui tulisan ini, saya mengajak teman-teman untuk berbicara kepada diri sendiri tentang apa yang telah dilakukan selama ini. Bukan bermaksud menggurui, hanya sebatas mengajak berintrospeksi diri.
Sering kali kita terlalu fokus kepada diri sendiri sehingga tak peduli dengan sekitar. Memang benar menghargai diri sendiri itu penting, namun jika hal tersebut sampai melenakan kita, ini yang berbahaya. Akibat yang timbul dari egoisme yang tinggi tersebut adalah menganggap salah semua perbuatan orang lain yang tidak sesuai dengannya dirinya. Definisi kebenaran versinya adalah apa yang sesuai dengan dirinya. Disadari atau tidak, fenomena tersebut juga sering terjadi pada diri kita.
Tak jarang kita melakukan pendiskreditan―dengan cara masing-masing―disebabkan oleh tingginya egoisme yang kita miliki. Oleh karena itu, untuk mulai meminimalisir hal tersebut mari kita renungi untuk apa kita diciptakan. Manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi khalīfah di bumi. Tugasnya adalah mengelola bumi dengan sebaik-baiknya, bukan malah merusaknya. Selain itu manusia juga memiliki tanggung jawab untuk menjadi rahmatan li al-‘Ālamīn. Alam yang dimaksud di sini tidak terbatas pada alam manusia saja, melainkan mencakup seluruh alam yang telah diciptakan oleh Allah.
Guna mewujudkan visi tersebut, maka sosok yang menjadi kiblat kita adalah Nabi Muhammad saw. Alasannya sudah tertulis jelas dalam Al-Qur’an bahwa beliau sungguh memiliki uswah ḥasanah. Selain itu, tujuan pengutusan beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak. Dengan demikian, akhlak memiliki posisi yang tinggi dalam kehidupan manusia. Namun, di era disrupsi seperti sekarang, akhlak seakan tak pernah dilirik sama sekali. Akhlak memang banyak didialogkan, tapi sedikit sekali dipraktikkan.
Ironis tapi empiris. Sebagai individu, kita mungkin tak bisa mengubah fenomena tersebut secara mutlak. Meski begitu bukan berarti tak ada hal yang bisa kita lakukan. Untuk mereaktualisasi akhlak di tengah kondisi yang kacau, kita bisa memulainya dari diri sendiri. Memperbanyak muḥāsabah dan mengklarifikasi sumber informasi adalah contohnya. Mungkin 2 hal tersebut tak bisa menghentikan derasnya arus hoax dan ujaran kebencian secara serta-merta. Namun setidaknya apa yang kita lakukan tersebut bisa menutup beberapa jalur penyebarannya.
Hoax dan ujaran kebencian merupakan sumber perpecahan. Apabila kita berusaha untuk mencegahnya, itu artinya kita berusaha untuk menyatukan umat. Dengan begitu eksistensi akhlak tak boleh dinegasikan. Akhlak harus terus ada, entah itu dalam dunia nyata maupun dunia maya. Mau‘iẓah ḥasanah memang penting, tapi uswah ḥasanah lebih penting. Mau‘iẓah ḥasanah tanpa uswah ḥasanah hanya akan menimbulkan celaan dan hinaan.
Terakhir, mari kita berdialog dengan diri sendiri tentang apa yang sudah kita lakukan selama ini. Mendidik diri sendiri terkait akhlak yang harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dan mari kita sadari bahwa Allah memberi kita kelebihan bukan supaya kita bisa mencela, melukai, apalagi menghakimi yang lain. Wa Allah A‘lam.
0 Comments