Ticker

6/recent/ticker-posts

Melihat Dampak Sekolah Online dari Sisi Negatif dan Positif

 

Pexels.com

Tahun 2021 telah dimulai, pun demikian dengan tahun ajaran baru. Namun, nampaknya pembelajaran tatap muka―bagi mayoritas sekolah―masih sekadar menjadi angan belaka. Hal tersebut didasarkan pada grafik pasien positif Covid-19 yang masih saja meninggi. Artinya, keadaan belum bisa kembali seperti sebelum pandemi. Ini tentunya merupakan hal yang berat bagi kita semua. Mau tak mau kita dituntut untuk melakukan sesuatu yang benar-benar lain dari sebelumnya.

“Seleksi alam”, hal tersebut sangat mungkin terjadi di tengah pandemi seperti sekarang. Bila seseorang tak pandai menyesuaikan diri di tengah keadaan yang serba berbeda, cepat atau lambat ia akan terdegradasi dari zona kompetisi kehidupan. Disadari atau tidak, sebenarnya salah satu tujuan kehadiran pandemi ini adalah untuk mengasah kreativitas manusia. Sayangnya, hal itu tak banyak disadari orang sehingga yang dominan terjadi justru keluhan terhadap pandemi. Tapi memang seperti itulah fitrah manusia.

إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا

“Sungguh! Manusia diciptakan bersifat suka mengeluh”. (QS. al-Ma‘ārij/70: 19)

 

Kembali ke pandemi. Banyak penyesuaian yang telah dilakukan di setiap sisi kehidupan, salah satunya dalam sisi pendidikan. Pembelajaran yang awalnya dilakukan dalam ruang kelas, sekarang dilaksanakan di depan layar. Kegaduhan kelas yang mulanya bikin pening guru, sekarang jaringan dan kuota internet menjadi dilema (baik bagi guru maupun murid). Sudah masyhur diketahui bahwa pembelajaran daring menuai banyak kontroversi dan protes―khususnya bagi wali murid di tingkat sekolah dasar.

Faktanya, pembelajaran daring di tingkat sekolah dasar memiliki lebih banyak kendala dibandingkan di tingkat-tingkat lainnya yang lebih tinggi. Pemberian tugas semata kepada anak-anak usia 12 tahun ke bawah sebenarnya bukan hal yang efektif untuk melakukan pembelajaran kepada mereka. Karena kita tahu anak-anak lebih sering menggunakan daya imajinasinya ketimbang daya logikanya, dan inilah yang menjadikan mereka sebagai individu kreatif.

Pembelajaran yang hanya diwujudkan dalam pemberian tugas sebenarnya justru membunuh kreativitas mereka sedikit demi sedikit. Tak hanya itu, pembelajaran yang seharusnya terasa menyenangkan akan berubah menjenuhkan, bahkan tak menutup kemungkinan terasa menyebalkan. Bila sudah demikian, maka hal yang ditakutkan adalah hilangnya semangat anak-anak untuk belajar. Ini tentu bukan hal yang diharapkan karena kemauan belajar anak-anak sangat menentukan kualitas mereka kedepannya.

Masih ada lagi, pembelajaran daring dalam bentuk pemberian tugas sejatinya menghilangkan ikatan emosional antara guru dan murid. Sepakat atau tidak, nyatanya hal tersebut memang terjadi. Pengistilahan ‘digugu dan ditiru’ bagi guru tak semata diolah dengan ilmu othak-athik-mathuk, ia memang memiliki makna dan tujuan tersendiri. Pengistilahan tersebut disematkan karena memang guru tak sekadar mentransfer pengetahuan, tapi juga memberi teladan agar para muridnya menjadi manusia yang berkepribadian.

Dalam proses pembelajaran daring yang diwujudkan sekadar dalam bentuk tugas, sayangnya hal tersebut (pemberian teladan kepada murid) tak bisa terjadi. Inilah yang membedakan antara mendidik di dalam kelas dengan memberi tugas. Dalam mendidik di kelas terdapat emosi yang dihadirkan, sementara pemberian tugas tidak. Hal tersebutlah yang membuat ikatan emosional antara guru dan murid―dalam pembelajaran daring―bisa hilang. Sebelumnya murid menghormati guru karena mereka merasa dididik oleh sang guru. Namun, dalam pembelajaran daring yang berbentuk pemberian tugas akankah murid tetap menghormati guru karena merasa terdidik?. Bukankah ‘mendidik’ tak sama dengan ‘memberi tugas’?.

Sayangnya, mayoritas orang (guru) belum menemukan alternatif lain selain memberi tugas untuk melangsungkan pembelajaran daring. Dampak negatif dari pembelajaran daring memang banyak, tapi mari melihat dari sisi yang lain. Mengapa harus melihat dari sisi yang lain? Karena tak mungkin ia (pembelajaran daring) hanya membawa dampak negatif semata.

...رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا...

“...Ya Tuhan kami! Tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia...” (QS. Ali ‘Imran/3: 191)

 

Disadari atau tidak, nyatanya pembelajaran daring juga membawa dampak positif―tentunya selain anak-anak lebih minim terpapar virus. Lantas, apa saja dampak positif yang dimaksud itu?.

Pertama, anak-anak akan lebih tahu bagaimana mengoperasikan teknologi untuk hal-hal yang bermanfaat. Pembelajaran daring adalah salah satu orientasi yang bagus untuk mengenalkan kepada anak-anak bahwa Handphone tak sekadar digunakan untuk main game, tapi juga belajar. Hal ini bisa jadi merupakan langkah awal menuju digitalisasi pendidikan. Melalui pembelajaran daring, anak-anak akan lebih siap untuk menghadapi digitalisasi pendidikan tersebut.

Dampak positif selanjutnya adalah anak-anak lebih terlindungi dari perilaku bullying. Di banyak tempat, sekolah tak jarang dijadikan sebagai tempat untuk menunjukkan superioritas oleh sebagian siswa. Mereka yang menjadi korban dari hal tersebut tentunya akan merasa bahwa sekolah bukan lagi tempat belajar, ia lebih berbentuk penjara yang penuh siksaan. Bukan hanya itu, keadaan mental para korban juga sangat mengkhawatirkan. Tak sedikit dari mereka yang merasa depresi, kehilangan semangat hidup, bahkan kemudian memilih mengakhiri kehidupannya. Sangat ironis!.

Melalui pembelajaran yang dilakasanakan secara daring, hal tersebut tentu tidak akan terjadi. Mereka yang mulanya tiap hari menjadi korban, kini bisa merasa lebih aman dari penindasan. Mereka bisa lebih fokus belajar dan punya harapan hidup yang lebih baik. Selanjutnya, dampak positif pembelajaran daring yang lain adalah orang tua bisa memantau secara langsung proses belajar anak-anaknya.

Mereka bisa melihat sendiri seperti apa performa anak-anak mereka dan apa yang harus dilakukan untuk meningkatkannya. Selain itu, hal tersebut juga bisa mengubah perspektif para orang tua terhadap teguran guru kepada murid-muridnya―khususnya para orang tua yang sebelumnya pernah mempolisikan guru hanya karena mencubit anaknya atau hal-hal (yang sebenarnya) tak berbau kekerasan lainnya. Semoga mereka (juga kita) bisa lebih menghargai perjuangan para guru kedepannya, Aamiin!.

Melihat beberapa hal yang telah dipaparkan di atas, sebenarnya pembelajaran daring tak hanya membawa dampak negatif. Ia juga memiliki dampak positif―seperti yang telah disebutkan―dan mungkin masih banyak dampak positif lainnya yang belum kita ketahui. Artinya apa?. Kita mungkin banyak mengeluh dengan pembelajaran daring yang telah dilaksanakan hampir 1 tahun ini. Namun, bila kita melihat dengan sudut pandang yang lebih luas, kita akan menemukan alasan untuk mensyukuri pelaksanaan belajar daring.

Kita boleh saja mengeluh dengan berbagai alasan negatif, tapi kita juga bisa bersyukur dengan berbagai alasan positif.

فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا...

“...Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS al-Nisā’/4: 19)

 

Semoga kita bisa menjadi pribadi yang bisa mengambil hikmah dari apa yang sedang terjadi dan semoga selepas pandemi usai kita menjadi orang yang lebih kreatif dan bisa beradaptasi dengan keadaan semesta yang tak menentu, Aamiin!. Jadi, mari mengeluh sekadarnya dan bersyukur sebanyak-banyaknya.

Post a Comment

0 Comments