Ticker

6/recent/ticker-posts

Menelaahh Ulang Pernyataan, "Perempuan Itu Mulia"

 

Unsplash.com

Pernyataan bahwa “Perempuan itu mulia” nampaknya sudah tak asing lagi di telinga kita. Mungkin redaksinya berbeda-beda, tetapi maksud maknanya sama. Faktanya dalam sejarah, Islam memiliki peran yang sangat penting dalam mengubah paradigma manusia terhadap perempuan. Pada era jahilian, posisi perempuan benar-benar direndahkan. Waktu itu, apabila bayi yang lahir perempuan, maka orang tuanya akan menguburnya hidup-hidup. Ada yang menginterpretasikan bahwa ‘mengubur hidup-hidup’ itu bermakna mengurung dalam kebodohan sehingga membuat perempuan tak tahu apa-apa pasal kehidupan.

Kala Muhammad ibn ‘Abdullah diangkat menjadi Rasulullah, terjadi perombakan sedikit demi sedikit terhadap tatanan paradigma sosial masyarakat jahiliah. Misalnya tradisi berjudi diganti dengan tradisi memberi, penipuan dalam perdagangan dirubah menjadi perdagangan yang penuh kejujuran, kebiasaan mabuk-mabukan diganti dengan kebiasaan menghadiri majelis keilmuan. Pun begitu dengan pandangan manusia terhadap perempuan. Perempuan yang awalnya tak dianggap keberadaannya di muka bumi, berubah derajatnya menjadi 3 kali lebih tinggi daripada laki-laki.

Berangkat dari situ, muncullah berbagai pendapat yang semuanya mengarah pada ‘perempuan itu mulia’. Lantas, dalam praktiknya sendiri seperti apa?. Mari lihat beberapa peristiwa berikut.

1.      Seorang Emak-Emak yang Menjatuhkan Dagangan.

Sebuah akun instagram―yang saya lupa namanya―membagikan sebuah video tentang kelakuan seorang emak-emak alay yang bikin geleng-geleng kepala. Dalam video tersebut, si emak hendak berfoto (bergaya) dengan menaiki sepeda motor seorang penjual es campur. Nahas, bukannya mendapat hasil foto yang aesthetic, si emak malah menjatuhkan sepeda motornya. Akibatnya, dagangan es si penjual pun tumpah, dan tumpahnya itu nggak sedikit.

Mirisnya, pelaku (si emak alay) malah hanya diam di atas sepeda sambil melihat penjual es yang meratapi dagangannya yang tumpah. Dia kelihatan sama sekali nggak ada niat buat minta maaf. Sayangnya, video tersebut hanya berhenti di situ karena orang yang merekam segera menolong si penjual. Jadi, ya...entah bagaimana kelanjutannya?. Apakah si emak alay tersebut akan meminta maaf lalu ganti rugi atau justru menyalahkan si penjual yang notabene laki-laki. Tahu sendiri lah kalau, “Perempuan itu selalu (merasa) benar dan laki-laki selalu salah.”

 

2.      Perempuan yang Menduakan Pacarnya, Tapi Justru Memfitnah Pacarnya yang Melakukannya.

Sebelumnya, mereka berdua sebenarnya sangat dekat. Ke mana-mana selalu bersama, bahkan yang masuk ke kelas paling pagi ya mereka berdua. Namun, semua berubah saat negara api menyerang masa kuliah tiba. Si perempuan harus kuliah di kabupaten sebelah, sementara si laki-laki tetap di kabupatennya sendiri. 3 bulan berjalan, si perempuan lalu kenal dengan seorang laki-laki (yang satu jurusan dengan dia) yang berasal dari Jakarta. Semakin lama, mereka semakin dekat dan kemudian menjalin hubungan tanpa pengetahuan pacarnya masing-masing.

Ironisnya, si perempuan tersebut meminta uang kepada pacarnya (yang lama) dengan alasan uang kiriman dari orang tuanya telat. Si perempuan kemudian (tanpa rasa malu) menggunakan uang tersebut untuk berfoya-foya bersama lelaki yang dari Jakarta tadi. Semua itu tanpa sepengetahuan pemilik uang. 2 bulan kemudian, si lelaki (pacar lama) tak lagi mentransfer uang kepada si perempuan karena ia sedang krisis finansial. Lantas, bagaimana respons si perempuan?. Dia malah menuduh bahwa pacarnya tersebut memberikan uang kepada perempuan lain. Saya―yang cuma jadi saksi mata saja―merasa geram banget, apalagi pacarnya yang jadi pelaku (seandainya ia tahu). Heran saya sama si perempuan! Sudah tak punya akal, tak ada nurani pula.

Dua contoh di atas menunjukkan bahwa dalam praktiknya yang terjadi bukan “Perempuan itu mulia”, tapi yang terjadi adalah “Aku itu perempuan, posisimu lebih hina dariku, maka kamu harus memuliakan aku”. Bukankah ini sangat kontradiktif dengan fitrah manusia itu sendiri. Dalam contoh di atas, apa yang terjadi justru menjadikan perempuan dianggap (maaf) rendahan. Tapi, apakah hal tersebut bisa digeneralisasikan kepada semua perempuan bahwa mereka (sekali lagi, maaf) rendahan?. Tidak! Mari lihat Khadijah, ‘Aisyah, Fatimah, dan masih banyak lagi. Apakah mereka rendahan? 

Tidak! Mereka justru sangat disegani dan dimuliakan. Bukan semata karena kedekatan mereka dengan Rasulullah saw, melainkan apa yang ada pada diri mereka membuat orang menghormati dan memuliakan mereka. Maka, dari sini bisa kita ketahui bahwa perempuan mulia itu bukan perempuan yang memaksa dan merendahkan orang lain dengan tujuan memuliakan dirinya sendiri. Perempuan mulia itu perempuan yang dengan kepribadiannya (akhlaknya) menjadikan orang lain pasti segan dan memuliakan dirinya. Hal ini juga berlaku bagi kaum Adam. Jadi, pernyatannya semestinya begini, “Perempuan/laki-laki itu mulia apabila ia menjadikan dirinya mulia”, agar tak terjadi salah tafsir kedepannya.

Post a Comment

0 Comments