Ticker

6/recent/ticker-posts

Toxic Parent Itu Benar-benar Menghancurkan Anak

 

Pexels.com

Ada banyak hal di dunia ini yang berada di luar ranah kuasa kita. Salah satunya adalah pasal kelahiran. Ya, di sini kita tak bisa memilih lahir dengan berat badan sekian, tanggal sekian, di tempat yang seperti apa, juga lahir dari rahim siapa. Manusia tak mampu dan tak ‘kan pernah mampu mencampuri perkara termaktub. Jadi, mensyukurinya adalah satu-satunya hal yang mesti dilakukan. Namun, sesuai dengan judul, fokus tulisan ini sudah tentu bukan ke sana. Apa yang diulas di sini adalah tentang seperti apa orang tua memperlakukan anak.

Beberapa orang tua terlampau memanjakan anaknya, sebagian lagi ada yang tega membuang bahkan membunuh anaknya sendiri kala ia masih belum bisa apa-apa. Di sisi lain, tak sedikit pula orang tua yang memperlakukan anaknya demi kesenangan mereka sendiri. Tulisan ini akan lebih berfokus pada tipikal yang terakhir disebut. Sungguh ironis! Mereka memperlakukan anak seenaknya sendiri demi mendulang ego mereka hingga kenyang―itu pun kalau memang bisa kenyang.

Mereka tak henti-hentinya menuntut kewajiban anak tapi tak pernah sekalipun memberi kasih sayang yang merupakan salah satu hak anak. Bahkan, tak jarang sebagian dari mereka menjadikan anak sekadar sebagai mesin pencetak uang. Menurut saya, hal tersebut tergolong dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Ya, manusia harusnya diperlakukan layaknya manusia. Bukan diperlakukan laiknya mesin yang tak berperasaan, bila rusak bisa seenaknya dibuang.

Memang benar tak ada larangan bagi oang tua yang meminta uang kepada anaknya. Tapi yang dipermasalahkan di sini adalah perlakukan orang tua terhadap anaknya ketika meminta uang. Jika anak dituntut untuk terus menghasilkan uang tanpa henti dan orang tua tak memberikan hak anak secuilpun, apakah hal tersebut merupakan definisi bakti anak terhadap orang tua?. Bisa jadi benar, tapi kemungkinan besar hal tersebut hanya ‘pembenaran’. Sebab, ketika anak berbakti kepada orang tua, bukankah harus ada timbal balik dari orang tua kepada anak?.

Faktanya, sering kali orang tua menunjukkan kepada anak dalil-dalil agama yang menjelaskan tentang urgensi berbakti kepada orang tua, juga tentang semengerikannya dosa yang didapat anak bila durhaka kepada orang tua. Namun, di sisi lain para orang tua tak mengimbanginya dengan belajar dari dalil-dalil atau penjelasan-penjelasan tentang bagaimana seharusnya orang tua memperlakukan anak. Hal inilah yang kemudian menjadikan orang tua mendidik anak secara otoriter.

Disadari atau tidak, didikan orang tua yang seenaknya sendiri bisa meluluhlantakkan semangat anak untuk menggapai apa yang ia cita-citakan. Lebih buruknya lagi, didikan orang tua yang tak baik bisa menyebabkan anaknya depresi, dan hal tersebut bisa saja menuntun si anak untuk bunuh diri. Sungguh miris!. Maka tak heran apabila ada sejumlah anak yang canggung bahkan enggan untuk curhat kepada orang tuanya sendiri. Penyebabnya tak lain karena perlakukan orang tua yang mungkin secara tidak langsung menganggap si anak bukan manusia. Ingat! Hukum kausalitas selalu berlaku.

Dengan demikian, maka penting (juga) bagi orang tua untuk belajar bagaimana mendidik anak yang baik. Para anak juga manusia layaknya para orang tua. Anak-anak punya impian dan cita-cita, maka jangan halangi mereka untuk meraihnya. Setiap anak memiliki kreativitas, jangan sampai orang tua mematikan kreativitas tersebut. Terakhir, mengutip kalimat yang sangat masyhur dari Ali ibn Abi Thalib, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya. Sebab, mereka hidup bukan di zamanmu.” Kawan! Kita mungkin tak bisa memilih lahir dari rahim siapa, tapi kita bisa memilih untuk menjadi orang tua yang seperti apa.

Post a Comment

0 Comments