![]() |
Pexels.com |
Dalam suatu kampus yang (kata banyak orang) merupakan miniatur negara, pastinya ada berbagai tipikal manusia. Tak hanya mahasiswanya tapi juga pegawai hingga staf pengajarnya. Sebagian tipikal serasa menyenangkan, tapi beberapa ada juga yang cukup menjengkelkan. Kategori yang termasuk dalam tipikal kedua tersebut adalah orang yang ‘merasa’ paling benar, khususnya dosen.
Percaya atau tidak, dosen yang selalu ‘merasa’ paling benar membuat saya kian malas untuk mengikuti kuliahnya. Bagaimana tidak!? Dosen seperti ini selalu saja menganggap salah pendapat mahasiswa. Ia menuntut semua mahasiswa tanpa terkecuali untuk selalu sepakat dengan apa yang ia katakan. Ketika ia bertanya pada salah seorang mahasiswa, maka mahasiswa tersebut harus menjawab sama persis dengan apa yang pernah dijelaskan sang dosen. Pun demikian saat ulangan. Bila jawaban kami tak sama persis dengan apa yang pernah dituturkannya, maka jangan harap dapat nilai A!.
Menurut saya, metode yang digunakan dosen termaktub justru membunuh kreativitas berpikir mahasiswa―dalam hal ini mahasiswa yang diajarnya. Hal tersebut nantinya bisa berdampak pada stagnasi kualitas SDM negeri. Dan, yah...kalau kualitas SDM-nya tak pernah meningkat, kapan negara bisa bergerak menuju peradaban yang lebih maju?. Selain itu, apa yang dilakukan dosen tadi bertentangan dengan pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Bukan hanya konstitusi negara yang mengatur hal tersebut, dalam al-Qur’an pun kita sudah tahu banyak ayat-ayat yang tak mengekang manusia dalam berpikir. Justru al-Qur’an memerintahkan manusia untuk memaksimalkan potensi akalnya. Hal ini terbukti dari ayat-ayat seperti (أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ), (أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ), (أَفَلَا تَعْقِلُونَ). Lalu, kenapa dosen tadi justru menggunakan metode yang kontradiktif dengan apa yang ada dalam al-Qur’an dan UUD 1945?. (Ambil napas berat) Entahlah! Saya sendiri kurang paham. Angel wes, angel!.
“Keunikan” cara mengajar dosen tersebut tak berhenti sampai di situ saja. Ada yang (menurut saya) lebih ‘unik’ lagi. Suatu ketika, dosen tadi mengirim pesan di Group Whatsapp mata kuliah yang diampunya. Pesan tersebut dibuka dengan kalimat, “Copas dari WAG sebelah”, dan kalimat itu di-bold. Saya curiga, benarkah isi pesan termaktub fakta? Atau malah sekadar hoax belaka?.
Sebenarnya, saya tipikal orang yang acuh tak acuh dengan model pesan Whatsapp seperti itu. Namun, yang membuat saya tercengang sekaligus geleng-geleng kepala adalah tambahan pesan dari sang dosen selaku pengirim. Dosen tersebut menambahkan bagi siapa saja yang memasukkan pesan yang ia kirim tadi ke dalam artikelnya, dengan catatan hal itu nyambung dengan isi artikel, maka ia akan diberi nilai A+.
Lah! Ini gimana sih?. Tak habis pikir saya dibuatnya. Ketika dosen-dosen pada umumnya menyuruh mahasiswa untuk mengambil referensi dari skripsi, thesis, disertasi, buku, juga jurnal-jurnal ilmiah, dosen tadi malah memberi referensi dari sumber yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Bukankah hal itu justru menyalahi etika ilmiah?. Ya...kalau isinya fakta sih nggak masalah, tapi kalau hoax? Siapa yang mau menanggung risikonya?.
Saya sebenarnya ingin menanyakan terkait pesan yang dikirim dosen tadi, apakah itu kredibel atau tidak. Namun, setelah saya pikir-pikir lagi nampaknya nggak perlu deh. Mending diam, cari aman, daripada nanti nilai saya tak sesuai dengan yang saya harapkan gara-gara bertanya seperti tadi. Yah...begitulah ketika dosen yang mengajar selalu merasa paling benar dan tak mau menerima pendapat orang lain. Wes angel-angel!.
0 Comments