Ticker

6/recent/ticker-posts

Generasi Sandwich: Maju Hancur, Mundur Babak Belur, Diam Jadi Beban

 

Unsplash.com

Ada satu pertanyaan yang cukup menyebalkan (dan tak berperasaan) terkait dengan pekerjaan. Pertanyaan itu yakni, “Udah lama kerja, kok belum bisa beli apa-apa?”, atau, “Udah lama kerja, tapi kok belum kaya?”. Hei, bro! Dunia tidak berjalan sesederhana itu. Jika kamu berpikir bahwa semua orang bekerja untuk dirinya sendiri, maka bisa dipastikan kamu adalah pribadi yang naif. Beberapa orang yang kamu kenal―tanpa sepengetahuan kamu―harus membanting tulang lebih keras demi menghidupi dirinya sendiri, orang tuanya, dan anak/adiknya. Ya! Merekalah yang disebut generasi sandwich.

Menjadi generasi sandwich bukan pilihan. Tak ada orang yang menginginkan dirinya menjadi generasi sandwich. Setiap dari kita pasti berharap bisa memiliki kestabilan finansial hingga akhir hayat. Tapi apa daya, kita tak memiliki kuasa untuk mengatur semesta sesuka hati. Akhirnya, beberapa dari kita harus menerima takdir untuk mencukupi kebutuhan hidup orang banyak. Konsekuensi yang harus diterima apa? Kita tak bisa membeli barang-barang yang kita inginkan dalam waktu dekat. Kita harus menyisihkan uang dalam jangka waktu yang relatif lama lebih dulu.

Namun, usaha “menabung” di atas belum tentu sesuai target. Ada kalanya orang tua maupun anak/adik kita mempunyai kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi hari itu juga. Sehingga, mau-tidak mau kita harus mencomot uang dari tabungan untuk memenuhinya. Imbasnya tentu saja adalah, lagi-lagi, kita mesti menekan keinginan kita untuk membeli sesuatu yang sudah lama kita dambakan. Kejadian semacam ini kadang terasa cukup melelahkan. Hidup seolah tak adil. Orang lain tampak dengan mudahnya membeli segala yang mereka inginkan, sementara kita harus berkali-kali menunda terhadapnya. Cukup menyiksa, tapi kita harus menahan air mata dan tetap bekerja.

Menjadi generasi sandwich tak pernah mudah. Tak ada pilihan yang benar-benar bisa membuat kehidupan kita aman. Jika kita terus maju, kemungkinan besar kita akan hancur. Kita terus bekerja, supaya tiap orang yang kita biayai tetap bisa makan. Mengatur keuangan tiap hari adalah keniscayaan bagi kita. Luput sedikit, kita bisa saja kelaparan. Pikiran kita dipenuhi pertanyaan tentang bagaimana esok hari kita bisa memperoleh pemasukan tambahan. Sulit rasanya membuat pikiran tenang saat orang tua butuh makan, kita harus menyisihkan uang untuk biaya pernikahan, dan adik punya tanggungan yang harus dilunasi dalam pendidikan. Saat kita bertekad menghadapi semua itu, maka kita akan mendapat imbalan dalam bentuk raga dan pikiran yang sangat lelah.

Pilihan berikutnya yang bisa kita ambil adalah mundur, memilih untuk tidak menghadapi beban-beban berat yang ada di depan mata. Kita berjalan tanpa perencanaan keuangan, seolah merasa tak peduli dengan kebutuhan orang lain yang harus kita penuhi. Hasilnya apa? Kita akan dicap sebagai individu yang tak punya rasa peduli. Hah! Rumit sekali hidup ini. Namun, mundur sepertinya tak akan kita pilih. Sebab, jelas kita tak akan tega melihat orang tua kita makan dengan porsi sedikit atau kebutuhan sekolah adik kita tak terpenuhi. Jadi, ya, tetap maju menghadapi semua adalah pilihan paling rasional bagi kita.

Selain maju atau mundur, kita juga bisa mengambil tindakan diam. Tak berusaha mencari penghasilan, sekadar memikirkan bagaimana menjalani hidup dalam himpitan seperti ini. Tentu, di sini kita akan menambah berat beban orang tua. Kita yang semestinya sudah menafkahi diri sendiri, malah masih bergantung di pundak orang tua. Dalam kasus ini, diam bukanlah emas. Diam di sini justru membuat citra diri kita semakin kehilangan arah. Menetap di rumah malu, keluar rumah tak punya sangu. Serba salah. Ujungnya tetap saja, pilihan paling realistis yang bisa kita ambil adalah terus maju. Kita sudah mafhum bahwa di depan sana air mata dan lelah menanti. Tetapi semua itu akan terasa berkali-kali lipat bila kita mengambil pilihan mundur maupun diam.

Kepada kalian yang bukan generasi sandwich, percayalah bahwa dalam tulisan ini tidak ada unsur “mendramatisir”. Memang demikianlah adanya. Saya tidak bermaksud mengatakan―secara tidak langsung―bahwa generasi sandwich adalah generasi yang paling menderita. Namun, menjadi generasi sandwich memang bukan hal yang menyenangkan. Siang bekerja, malam berusaha tidur nyenyak meski pikiran ke mana-mana. Saat menerima gaji di awal bulan, bukan self reward yang pertama kali dipikirkan, melainkan kompleksitas manajemen keuangan. Memang benar, manajemen keuangan adalah kewajiban tiap individu. Namun, manajemen keuangan generasi sandwich sangat tidak sederhana.

Membagi sama rata penghasilan kepada diri sendiri, orang tua, dan adik bukan sesuatu yang bijaksana. Memberi terlalu banyak sama saja bunuh diri, sementara memberi sedikit dikira tak punya nurani. Semua pilihan yang ada tampak punya risiko besar. Oleh sebab itu, generasi sandwich harus melakukan peninjauan berulang kali hingga bertemu dengan keputusan yang dirasa benar-benar tepat. Perihal semangat, generasi sandwich hampir setiap hari menyemangati diri sendiri. Pasalnya, jika generasi sandwich malas-malasan, akan ada banyak orang yang menjadi korban. Dan, tidak ada individu generasi sandwich yang mengharapkan hal itu.

Penyebab seseorang menjadi generasi sandwich rasanya cukup sulit untuk diurai. Ada beragam faktor yang saling berkelindan. Misalnya, seseorang bisa saja menjadi generasi sandwich lantaran orang tuanya yang memiliki pengetahuan minim terhadap manajemen finansial; atau bisa jadi disebabkan oleh kondisi perekonomian orang tuanya yang tak kunjung membaik, malah cenderung menurun; atau karena usia orang tuanya yang sudah melewati batas usia produktif pekerja; atau malah kemungkinan besar seseorang terjebak menjadi generasi sandwich itu berangkat dari pemikiran konservatif orang tuanya, di mana menurut mereka anak adalah investasi, sehingga anak dituntut wajib memberi uang kepada orang tua saat telah bekerja.

Sangat kompleks, dan kita tak bisa menyalahkan satu pihak tertentu secara tiba-tiba. Merasakan sendiri beban generasi sandwich yang begitu berat, kita mestinya tak melakukan balas dendam kepada generasi berikutnya. Apakah kita tega membuat beban mereka berlipat ganda ketika di masa depan persaingan untuk hidup jauh lebih keras dari sekarang?. Terakhir, saya doakan semoga teman-teman generasi sandwich selalu diselimuti kebaikan, supaya beban berat yang tengah dipikul terasa sedikit lebih ringan.

Post a Comment

0 Comments