![]() |
Dok. Pribadi |
Judul : Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan
Penulis : Syaiful Arif
Penerbit : Ar-Ruzz Media
Cetakan : II, 2020
Tebal : 342 Halaman
ISBN : 978-602-7874-61-9
Resensator : Mohammad Azharudin
Salah satu bukti pentingnya keberadaan individu dalam peradaban adalah ia senantiasa dibicarakan meski dirinya tak lagi berjalan di muka bumi. Buku yang ditulis Syaiful Arif ini menjadi―salah satu―bukti bahwa sosok Gus Dur memang tak dapat dikesampingkan kontribusinya dalam peradaban. Titik fokus buku ini adalah “Gus Dur muda” (periode 1970 hingga awal 1990). Pemisahan “Gus Dur muda” dengan “Gus Dur sepuh” ini hanya sebagai bagian dari kerja analitis. Menurut Syaiful Arif, “Gus Dur muda” adalah sosok “teoretis”, sementara “Gus Dur sepuh” adalah sosok “praktis”. Bukti dari hal ini adalah “Gus Dur muda” banyak menulis makalah panjang yang merupakan buah dari intelektualisme akademis. Sementara itu, “Gus Dur sepuh” lebih sering menulis opini koran sebagai refleksi terhadap aktualitas keadaan (hal. 31).
Pemikiran Gus Dur sendiri kerap kontroversial. Ia kerap menabrak sesuatu yang sudah lazim di kalangan masyarakat awam. Namun, sifat kontroversial itu sebenarnya lahir karena ketidakpahaman kita terhadap substansi dan tujuan normatif dari pemikiran Gus Dur. Bila ditelaah strukturnya, pemikiran Gus Dur merupakan pertemuan antara keislaman dan kemanusiaan. Unsur keislaman sendiri merupakan latar belakang kultural bagi seorang Gus Dur. Sementara itu, unsur kemanusiaan adalah buah dari dialektikanya dengan buku sekaligus perjalanan intelektualnya di Eropa.
Salah satu buah pemikiran Gus Dur yang paling populer adalah “Pribumisasi Islam”. Gus Dur menggagas Pribumisasi Islam sebab dilatarbelakangi oleh keprihatinannya terhadap aktivitas Arabisasi oleh sebagian kelompok pada kebudayaan Islam di Indonesia. Melalui Pribumisasi Islam-lah, Gus Dur membaca realitas keislaman di Nusantara. Terjadi relasi yang menarik dalam Pribumisasi Islam, yakni relasi antara Islam sebagai agama hukum dengan kebudayaan sebagai upaya manusia mengolah kehidupan. Menurut Gus Dur, agama (Islam) yang bersumber pada wahyu cenderung menjadi permanen. Sementara itu, budaya yang merupakan buatan manusia sifatnya berubah mengikuti perkembangan zaman. Perbedaan yang mencolok ini tidak menjadi penghalang bagi terwujudnya kehidupan beragama dalam bentuk budaya (hal. 102).
Gus Dur juga melemparkan kritik kepada sebagian umat Islam yang hanya memiliki keimanan individual. Padahal, semestinya keimanan itu menjadi dasar atas kepedulian sosial. Gus Dur lantas menggali “rukun sosial” yang terkandung dalam Rukun Islam sehingga menghasilkan perincian berikut ini.
a. Dimensi sosial pada syahadat terlihat dari pengucapannya yang harus di depan khalayak, khususnya dalam konteks akad nikah atau persaksian.
b. Shalat apabila dikerjakan secara berjamaah akan menghindarkan masyarakat dari ke-munkar-an.
c. Zakat sudah jelas mengandung dimensi sosial karena telah mendidik umat Islam bahwa di setiap harta yang dimiliki terdapat hak kaum lemah yang wajib ditunaikan.
d. Puasa dapat mengundang kesetiakawanan sosial sebab dalam praktiknya berpijak pada kelaparan.
e. Haji menjadi titik temu universal semua muslim dalam keadaan yang paling murni.
Apa yang Gus Dur lakukan ini didasarkan pada Surah al-Baqarah ayat 177 berikut.
لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Buku ini tak lupa mengulas hubungan antara agama (Islam) dengan negara dalam koridor pemikiran Gus Dur. Syaiful Arif menuliskan bahwa Gus Dur bukanlah sosok yang bercita-cita membentuk totalitas masyarakat Islami, bukan pula pribadi sekuler yang berusaha memisahkan Islam dengan negara. Gus Dur sendiri adalah individu yang tidak memisahkan Islam dari politik, tetapi wujud dari politik tersebut tidak harus negara Islam. Gus Dur justru kurang sepakat dengan wacana soal negara Islam. Menurutnya, konsepsi tentang negara Islam kerap kali berhenti pada aspek legal kenegaraan tanpa pernah mengaitkannya dengan sumber keabsahan pendirian negara―yakni rakyat (hal. 152).
Dalam konteks ini Gus Dur mempunyai pemikiran politiknya sendiri. Bagi Gus Dur, dalam negara harus terjadi keseimbangan antara kebebasan individu untuk berpartisipasi dalam politik dengan upaya penegakan pemerintahan yang kuat. Kebebasan individu dalam partisipasi politik merupakan implementasi dari perintah musyawarah (syura). Sementara itu, upaya pembentukan pemerintahan yang kuat berangkat dari perintah dalam al-Qur’an untuk menaati pemimpin―setelah taat terhadap Allah dan Rasul-Nya. Namun, Gus Dur mensyaratkan 3 hal dalam perkara ketaatan pada pemimpin ini, yaitu.
1. Pemimpin/pemerintah tersebut berkeadilan.
2. Pemimpin/pemerintah tersebut mengutamakan kemaslahatan rakyat.
3. Pemimpin/pemerintah tersebut mampu memenuhi batas minimal kebutuhan hidup rakyatnya.
Secara lebih spesifik, Gus Dur juga memiliki pandangan terhadap Pancasila. Gus Dur pernah memaparkan, “Pancasila ditempatkan kaum muslim sebagai landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam menjadi aqidah dalam kehidupan kaum muslim”. Sebagai landasan konstitusional, Pancasila tentu tidak akan mampu menggantikan akidah. Pancasila sendiri kaitannya adalah dengan kebutuhan kehidupan kolektif bernegara. Kehadiran Pancasila menjadi penjamin bagi keberlangsungan kehidupan keislaman―tentu dengan catatan nihil peraturan negara yang kontradiktif dengan akidah Islam (hal. 171).
Meski Islam tidak menjadi negara―dalam pandangan Gus Dur―tapi ia tetap memiliki peran yang bersifat non-struktural, yakni sebagai etika sosial. Ranah yang diambil Islam sebagai etika sosial di sini bukan ranah kenegaraan, melainkan ranah kemasyarakatan. Jadi, konklusinya adalah: “Ketika Islam tidak menjadi negara, ia tetap mampu mengatur kehidupan masyarakat”. Pihak-pihak yang mengimplementasikan peran Islam sebagai etika sosial dalam ranah kemasyarakatan itu bisa individu warga, pemuka agama, pemimpin gerakan sosial, maupun segenap elemen masyarakat sipil di luar negara.
0 Comments