![]() |
Dok. Pribadi |
Judul : Metode Kritik Ad-Dakhil fit-Tafsir: Cara Mendeteksi Adanya Infiltrasi
dan Kontaminasi dalam Penafsiran Al-Qur’an
Penulis : Dr. Muhammad Ulinnuha
Penerbit : QAF
Cetakan : I, Februari 2019
Tebal : 216 Halaman
ISBN : 978-602-5547-39-3
Peresensi : Mohammad Azharudin
Kita tahu bahwa tafsir al-Qur’an hari ini telah sangat beragam. Bahkan, tiap kelompok (seolah) punya imam mufassir-nya masing-masing. Namun, perlu dicatat bahwa mufassir merupakan manusia biasa, bukan seorang individu yang ma‘shum (terpelihara dari dosa/kesalahan). Dalam segmen “Pengantar” buku ini, Dr. Muhammad Ulinnuha memaparkan bahwa para mufassir kadang terbelenggu oleh latar belakang keilmuan dan ideologinya. Hal ini kemudian menyebabkan sebagian hasil tafsir mereka tidak objektif. Buku ini sendiri bukan mencoba mengupas satu per satu hasil tafsir al-Qur’an yang tampak tidak objektif. Buku ini berfokus menyuguhkan gagasan Abdul Wahab Fayed dalam kitabnya yang berjudul al-Dakhil fi Tafsir al-Qur’an al-Karim.
Isi buku ini dimulai dengan pengenalan sosok Abdul Wahab Fayed. Ia dilahirkan pada tahun 1355 H/1936 M di desa Damnakah dengan nama lengkap ‘Abd al-Wahhab Mabruk Fayed. Selama hidup, Fayed merupakan seorang aktivis Islam yang berjuang dengan 2 jalan, yakni “jalan tulisan” dan “jalan gerakan”. Bukti dari hal ini bisa dilihat dari keaktifan Fayed menulis dan mengajar di Universitas al-Azhar di satu sisi. Sementara itu, di sisi lain Fayed juga menjadi bagian dari banyak organisasi seperti Ikhwanul Muslimin, Anshar al-Sunnah, Ikatan Sastrawan Modern, dan Majma’ Fiqh Mekkah (hal. 15).
Karya Abdul Wahab Fayed yang dijadikan objek fokus pada buku ini adalah kitab al-Dakhil fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (selanjutnya ditulis “al-Dakhil”). Melalui kitabnya tersebut, Abdul Wahab Fayed berupaya untuk memantik kritisisme terhadap hasil penafsiran al-Qur’an. Ia terdorong menulis kitab al-Dakhil lantaran menemukan beberapa kitab tafsir―baik klasik maupun kontemporer―yang mengandung data penafsiran yang tidak berbasis pada metodologi kajian dan ajaran Islam. Dalam menyusun kitabnya tersebut pun Abdul Wahab Fayed tidak sembarangan. Ia mengambil referensi dari berbagai bidang keilmuan; mulai dari tafsir dan ‘ulum al-qur’an, hadis dan ‘ulum al-hadits, fiqh dan ushul fiqh, bahasa, sejarah (tarikh), hingga tasawuf.
Bab 2 dalam buku ini memotret genealogi al-dakhil (infiltrasi penafsiran). Dr. Muhammad Ulinnuha, pada konteks ini, mengklasifikasikannya menjadi 2, yaitu.
1. al-Dakhil bi al-Ma’tsur
Proses masuknya al-dakhil di sini melalui 2 jalur. Pertama, terjadinya persinggungan intelektual antara Ahli Kitab dengan Rasulullah saw bersama sahabat dalam fase dakwah Islam di Madinah. Kedua, beberapa orang Yahudi yang masuk Islam, misalnya Mukhayriq ibn al-Nadhir (w. 3 H), Ka‘b al-Ahbar (w. 32 H), dan ‘Abdullah ibn Salam (w. 43 H). Mereka lantas menjadi tempat bertanya sebagian sahabat tentang kisah umat terdahulu dalam Taurat dan Injil―di mana kisah-kisah tersebut hanya disebutkan secara global dalam al-Qur’an.
2. al-Dakhil bi al-Ra‘y
Gerbang paling utama yang menjadi jalan masuk bagi al-dakhil bi al-ra‘y adalah pemahaman subjektif dari mufasir. Subjektivitas tersebut lahir karena 2 hal. Pertama, individu tidak memenuhi syarat-syarat sebagai mufasir. Kedua, penafsiran al-Qur’an dengan tujuan melegitimasi pandangan kelompok tertentu. Salah satu contohnya bisa dilihat dari penafsiran kaum Ahmadiyah terhadap surat al-Hajj ayat 75 ini.
ٱللَّهُ يَصْطَفِى مِنَ ٱلْمَلَٰٓئِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ ٱلنَّاسِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌۢ بَصِيرٌ
Allah memilih para utusan dari malaikat dan manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. al-Hajj/22: 75)
Basyir al-Din Mahmud (bagian dari kaum Ahmadiyah) memaparkan bahwa kata (يَصْطَفِى) dalam ayat tersebut merupakan fi‘l al-mudhari‘, di mana kaidah waktu yang berlaku padanya adalah “sedang” atau “akan” melakukan sesuatu. Hal ini lantas digunakan untuk melempar klaim kebenaran pada kenabian Mirza Ghulam Ahmad (hal. 61).
Bab terakhir buku ini menyajikan contoh-contoh dari penerapan kritik tafsir infiltratif. Beberapa di antaranya yakni.
a. Kritik terhadap Isra’iliyat sebagai Sumber Penafsiran
Contoh dari hal ini adalah penafsiran al-Baghawi (w. 516 H) terhadap surat Shad ayat 34 berikut.
وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَٰنَ وَأَلْقَيْنَا عَلَىٰ كُرْسِيِّهِۦ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ
Sungguh, Kami benar-benar telah menguji Sulaiman dan Kami menggeletakan(nya) di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian dia bertobat. (QS. Shad/38: 34)
Berkaitan dengan ayat di atas, al-Baghawi mengutip cerita tentang hilangnya cincin nabi Sulaiman. Saat nabi Sulaiman hendak shalat, ia menitipkan cincinnya pada sang istri. Lalu, setan menyamar sebagai nabi Sulaiman dan meminta cincin tadi dari istri nabi Sulaiman. Seusai cincin tersebut diberikan pada setan yang menyamar itu, nabi Sulaiman kemudian kehilangan identitas, kekuatan, dan kerajaannya. Ia sama sekali tak dikenali oleh rakyat, sahabat, bahkan keluarganya. Nabi Sulaiman pun lantas menjalani hidup sebagai rakyat jelata dan bekerja sebagai pembantu nelayan.
Ketika peristiwa ini genap terjadi selama 40 hari, keluarga nabi Sulaiman pun sadar bahwa sosok nabi Sulaiman yang mereka lihat selama ini ternyata merupakan setan yang menyamar. Setan tersebut pun kabur dari kerajaan dan melempar cincin nabi Sulaiman ke laut. Keesokan harinya, seorang nelayan yang baru pulang dari melaut memberikan sebagian kecil hasil tangkapannya kepada nabi Sulaiman. Saat nabi Sulaiman membelah salah satu ikan tersebut, ia menemukan cincin miliknya yang sudah lama ia cari. Nabi Sulaiman pun mengenakan cincin itu dan ia kembali mendapat semua yang telah hilang darinya.
Menurut Abdul Wahab Fayed, cerita di atas sama sekali tak sesuai dengan ajaran agama yang menyatakan bahwa seluruh nabi Allah―termasuk nabi Sulaiman―itu mendapat penjagaan dari-Nya (ma‘shum). Oleh sebab itu, ketika mengutip riwayat di atas, harus disertakan penjelasan tentang status kebenarannya. Bahkan, bila perlu riwayat tersebut tidak dikutip supaya umat tidak menganggapnya sebagai sebuah kebenaran dalam agama yang mesti diterima (hal. 142).
b. Kritik terhadap Penafsiran yang Menggunakan Hadis Maudhu‘ sebagai Sumbernya
Metodologi yang digunakan Abdul Wahab Fayed dalam kritik ini mengacu pada metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama hadis, yakni kritik sanad dan kritik matan. Ada cukup banyak penafsiran yang menggunakan hadis maudhu‘ sebagai sumbernya, salah satu contohnya adalah penafsiran kaum Syi‘ah terhadap surat Qaf ayat 24 berikut.
أَلْقِيَا فِى جَهَنَّمَ كُلَّ كَفَّارٍ عَنِيدٍ
(Allah berfirman), “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam (neraka) Jahanam semua orang yang sangat ingkar, keras kepala”. (QS. Qaf/50: 24)
Berkaitan dengan ayat di atas, kaum Syi‘ah mengutip hadis palsu yang terjemahnya, “Ketika kiamat tiba, Allah berkata kepadaku dan Ali ibn Abi Thalib: “Masukkanlah oleh kalian berdua, orang-orang yang kalian cintai ke dalam surga dan masukkanlah orang-orang yang kalian benci ke dalam neraka!””. Menurut Abdul Wahab Fayed, hadis-hadis palsu semacam ini muncul lantaran fanatisme yang melebihi batas wajar (hal. 151).
c. Kritik terhadap Tafsir Linguistik yang Tidak Selaras dengan Kaidah Bahasa dan Sastra Arab
Salah satu contoh dari perkara ini adalah penafsiran sebagian kelompok terhadap surat al-A‘raf ayat 16, di mana mereka menjadikan huruf ma pada ayat ini sebagai ma istifhamiyah (pertanyaan), bukan sebagai ma mashdariyah.
قَالَ فَبِمَآ أَغْوَيْتَنِى لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَٰطَكَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
Ia (Iblis) menjawab: “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus”. (QS. al-A‘raf/7: 16)
Apabila ma pada ayat di atas dijadikan sebagai ma istifhamiyah, maka makna ayat di atas seolah-olah berbunyi, “Iblis bertanya kepada Allah: “Dengan apa Engkau menghukum aku?””. Lalu, Iblis melanjutkan perkataannya, “Aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus”.
Abdul Wahab Fayed merespons penafsiran ini dengan 2 argumentasi. Pertama, Iblis tidak mungkin bertanya kepada Allah swt tentang kemampuan-Nya dalam memberi hukuman. Kedua, berdasarkan kaidah umum gramatikal Arab yang berlaku, apabila ma istifhamiyah terletak setelah huruf jar, maka huruf alif-nya harus dibuang―contoh dari hal ini bisa dilihat, salah satunya, dalam surat al-Nazi‘at ayat 43 (hal. 161).
فِيمَ أَنتَ مِن ذِكْرَىٰهَآ
Untuk apa engkau perlu menyebutkan (waktu)nya?. (QS. al-Nazi‘at/79: 43)
0 Comments