![]() |
Dok. Pribadi |
Judul : Melawan Nafsu Merusak Bumi: Prinsip Etika Lingkungan Hidup Islami
Penulis : AS Rosyid
Penerbit : EA Books
Cetakan : II, Maret 2023
Tebal : xvi + 139 Halaman
ISBN : 978-623-5280-03-5
Resensator : Mohammad Azharudin
Salah satu kepingan kehidupan yang hilang hari ini adalah kepedulian kita—selaku manusia—terhadap lingkungan. Mulai dari forum-forum pengajian di desa hingga visi dan misi capres-cawapres saat ini, isu lingkungan tampaknya masih tidak menjadi perhatian utama. Jika kita sudah tahu tentang kepingan yang hilang tersebut, mestinya kita mencarinya, bukan malah ikut-ikutan membiarkannya tetap hilang. Kehadiran buku yang ditulis oleh AS Rosyid ini saya rasa—setidaknya—akan membuat kita melihat kehidupan yang telah kita jalani hingga hari ini melalui kacamata yang benar-benar berbeda.
AS Rosyid membuka bab I dengan mengemukakan rasa kecewa dari para teman aktivis lingkungannya. Hal itu disebabkan oleh elite agama (sayangnya, kebanyakan dari agama Islam) yang tidak turut serta dalam perjuangan hijau. Apabila dicermati, elite agama memang memiliki kesadaran ekologis yang cenderung rendah. Ini, salah satunya, terbukti dari absennya mereka dalam gerakan manajemen sampah. Islam sebenarnya memberi perhatian cukup besar terhadap isu-isu lingkungan hidup. Namun, memang harus diakui bahwa di sepanjang sejarah umat Islam lebih banyak berinteraksi dengan wacana kemanusiaan dan keagamaan (hal. 3).
Ada banyak keteladanan dari Nabi Muhammad saw terkait kepedulian beliau terhadap lingkungan. Misalnya, Nabi saw selalu mematikan api penerang atau bara api di tungku dapur sebelum tidur. Nabi saw juga pernah menegur Sa‘ad lantaran ia berlebih-lebihan dalam menggunakan air ketika berwudu. Dua contoh ini menjadi bukti bahwa Nabi saw merupakan pribadi yang hemat energi. Tak berhenti di situ. Kepedulian Nabi saw terhadap lingkungan juga dapat dilihat dari semangat beliau dalam penghijauan. Hal ini terekam dalam salah satu hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad berikut.
عن أنس بن مالك رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إنْ قَامَت السَّاعةُ وَفِي يَد أَحَدِكُم فَسِيلةٌ فَإنْ استَطاعَ أنْ لَا تقُومَ حَتى يَغرِسَهَا فَليَغِرسْهَا)
Dari Anas ibn Malik ra., dari Nabi saw, beliau bersabda: “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas kurma, maka bila ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya, maka tanamlah!” (HR. al-Bukhari)
Kendati sudah banyak yang mafhum bahwa penebangan pohon secara liar itu kontradiktif dengan hadis di atas, tapi tetap saja perusakan lingkungan masih terjadi secara masif. Para pemegang jabatan kerap kali melegalisasi aktivitas perusakan lingkungan tersebut dengan dalih agenda pembangunan. Padahal, dalam Islam diajarkan bahwa agenda pembangunan yang digagas oleh para pemegang jabatan harus memperhatikan kemaslahatan rakyat. Amr ibn Ash pernah ditegur keras oleh Umar ibn Khattab ketika ia menjabat sebagai gubernur Mesir. Hal tersebut lantaran Amr ibn Ash melakukan penggusuran paksa terhadap rumah seorang Yahudi tua untuk pembangunan masjid (hal. 18).
Dalam al-Qur’an terdapat ayat yang secara tersurat mengungkapkan bahwa bumi dan seisinya telah ditundukkan oleh Allah swt untuk manusia. Ayat yang dimaksud adalah berikut ini.
أَلَمْ ترَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ
“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu!?. Dia (juga) menyempurnakan nikmat-nikmat-Nya yang lahir dan batin untukmu. Akan tetapi, di antara manusia ada yang membantah (keesaan) Allah tanpa (berdasarkan) ilmu, petunjuk, dan kitab suci yang menerangi.” (QS. Luqman/31: 20)
Membaca ayat termaktub—secara sekilas—mungkin akan kian menguatkan pandangan umum bahwa tugas manusia sebagai khalifah di bumi adalah “penguasa”, alih-alih merenung bahwa makna lain dari khalifah adalah “pemelihara”. Ketundukan bumi dan seisinya itu hakikatnya hanya pada Allah swt. Penundukan bumi dan seisinya pada manusia bermaksud; pertama, penyempurna nikmat Allah; kedua, ekspresi kasih sayang Allah; ketiga, fenomena untuk direnungkan manusia.
AS Rosyid sendiri menyadari penuh bahwa pemahaman ekologis dalam beragama mengalami kesulitan untuk berkembang. Alasan utamanya ada 2.
1. Textualism-oriented. Disadari atau tidak, kita kerap mengambil sikap terhadap sesuatu berdasarkan bagaimana teks keagamaan menyebutnya. Contoh, babi dan anjing terkesan negatif dalam teks keagamaan. Akibatnya, kita kerap memperlakukan kedua hewan itu secara buruk. Adapun terhadap hal-hal lain yang tidak tercantum dalam teks keagamaan, sering kali kita mengabaikan mereka dalam realitas.
2. Individual-morality-oriented. Fikih berbicara moralitas di level individu. Sementara itu, refleksi ekologis mengharuskan perbincangan moralitas di level komunitas. Perbedaan level perbincangan inilah yang kerap membuat refleksi ekologis gagal (hal. 32).
Terkait etika lingkungan hidup, ada beberapa realitas keberagamaan yang perlu direnungkan kembali. Misalnya, pembangunan masjid di sekitar kita. Harus diakui, izin pembangunan masjid memang lebih mudah ketimbang tempat ibadah agama lainnya. Jadi, tak heran bila kita punya masjid yang sangat banyak. Hal yang kerap luput di ulas dalam konteks ini adalah “konsumerisme beragama”. Pembangunan masjid memang kerap dilatarbelakangi oleh motif-motif religius. Ini tak lepas dari banyaknya nash agama yang menguraikan betapa besarnya pahala membangun masjid. Relasi umat dengan masjid dianalogikan seperti relasi ikan dengan air.
Namun, benarkah hanya motif-motif religius yang mendorong semaraknya pembangunan masjid?. Bila dipikir-pikir, di jalan kita sering menemukan penggalangan dana untuk renovasi masjid. Tak jauh dari lokasi renovasi masjid tersebut, ternyata telah berdiri masjid yang cukup megah. Hal ini membuat bertumpuknya masjid-masjid di satu “desa” (atau mungkin malah “dusun”) yang—sayangnya—hanya terisi setiap hari Jumat saja. Walau pembangunan masjid dilatarbelakangi oleh motif religius, tapi beberapa pembangunan masjid baru justru kadang memantik konflik di tengah masyarakat. Tampaknya ini menjadi salah satu bukti bahwa pembangunan masjid hari ini lebih mengedepankan motif politik-kebudayaan daripada motif religius (hal. 94).
Realitas keberagamaan lain yang juga perlu direnungkan adalah childfree. Pertanyaan yang kerap dilempar di sini tentu saja, “Apakah Islam mendukung/memperbolehkan ide childfree?”. Jika diperhatikan secara saksama, jangankan childfree, menikah bisa berubah hukumnya sesuai kondisi yang tengah terjadi. Hukum menikah bisa saja wajib, sunnah, atau mubah. Baik menikah maupun childfree merupakan bagian dari dinamika sosial yang wajar. Agama memang mengandung ajaran, tapi ajaran tersebut bercampur dengan konstruk sosial-budaya setempat. Kita merasa gelisah saat tak kunjung menikah bukan karena khawatir tidak dapat menjalankan ajaran agama, melainkan karena “tuntutan masyarakat”.
Hal yang sama juga bisa berlaku pada childfree. Bagi yang telah menikah, memiliki anak tidak selalu menjadi misi religius. Ia justru lebih kerap tampil sebagai fenomena “kewajiban sepasang individu untuk memuaskan hasrat sekelompok masyarakat”. Ide childfree sering ditentang dengan argumen yang berlandaskan dalil “kepastian rizki”. Padahal, Imam al-Ghazali justru membolehkan suami-istri untuk menolak mempunyai anak—sepanjang sperma belum masuk ke dalam rahim sang istri. Pendapat lain yang senada diutarakan oleh Syaikh Syauqi Ibrahim Abd al-Karim ‘Allam, mufti agung Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah, yang menegaskan 2 hal berikut ini.
1. Syariat tidak mewajibkan setiap orang yang menikah untuk mengupayakan keturunan.
2. Suami-istri boleh bersepakat untuk tidak mengupayakan keturunan karena alasan yang sahih. Misalnya, beratnya tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak, pertimbangan ledakan populasi, atau krisis iklim (hal. 126).
0 Comments