Ticker

6/recent/ticker-posts

Merekam Wajah Filsafat Tua yang Remang-remang

 

Dok. Pribadi

Judul              : Filsafat Periode Socrates

Penulis            : Frederick Copleston

Judul Asli       : A History Of Philosophy (volume I)

Penerjemah    : Atollah Renanda Yafi

Penerbit          : BASABASI

Cetakan          : I, Oktober 2020

Tebal              : 108 Halaman

ISBN               : 978-623-305-002-9

Peresensi        : Mohammad Azharudin

 

Buku yang ditulis Frederick Copleston ini cenderung cukup tipis karena hanya berjumlah 108 halaman. Tampaknya, mengurai filsafat Socrataes memang bukan pekerjaan mudah. Buktinya―selain dari jumlah halaman buku ini yang cukup sedikit―ialah judul (terjemah) buku ini. “Filsafat Periode Socrates”, judul demikian menjadi representasi bahwa isi buku ini bukan hanya soal filsafatnya Socrates, melainkan juga filsafat dari filsuf lain yang hidup seera dengan Socrates. Alasan dari tidak mudahnya mengurai filsafat Socrates mungkin karena pada zaman itu belum ada dokumentasi tertulis (atau barangkali dokumentasi tertulis sudah ada, tetapi tak banyak yang sampai di tangan generasi-generasi berikutnya).

Buku ini dibuka dengan uraian tentang para Sofis, di mana mereka disebut berbeda dengan filsafat Yunani sebelumnya yang lebih tua. Perbedaan tersebut utamanya dalam segi yang menyangkut manusia dengan peradaban serta tradisi manusia. Sofisme (istilah yang dipakai Frederick Copleston di buku ini untuk menyebut para Sofis) juga berbeda dengan filsafat Yunani sebelumnya dalam segi "metode”. Filsafat Yunani sebelumnya memang tak mengesampingkan pengamatan empiris, tetapi ia bersifat deduktif (hal. 9).

Adapun para Sofis, mereka mulanya mengumpulkan banyak fakta tertentu. Seusai itu mereka akan menarik kesimpulan―kadang teoritis, kadang praktis―dari akumulasi fakta-fakta tersebut. Artinya, metode yang diterapkan kaum Sofis dapat disebut “induktif-empirik”. Perbedaan lain dari Sofisme dan filsafat Yunani sebelumnya adalah “tujuan”. Para filsuf Yunani yang lebih tua cenderung ingin mengetahui kebenaran objektif tentang dunia. Sementara itu, para Sofis tujuan utamanya adalah “mengajar”, sehingga tak mengherankan bila keberadaan murid bagi mereka adalah sesuatu yang penting.

Salah satu filsuf yang merupakan bagian dari kaum Sofis adalah Protagoras. Sebagian besar penulis berpendapat bahwa Protagoras lahir sekitar 481 SM. Namun, menurut profesor Taylor dan Burnet, tahun lahir Protagoras sebenarnya lebih awal, yakni 500 SM. Pendapat mereka berdua ini didasarkan pada penggambaran Plato terhadap Protagoras. Plato menyebut Protagoras sebagai seorang lelaki tua, setidaknya mendekati usia 65 tahun pada sekitar 435 SM. Dalam perjalanan hidupnya, Protagoras tampak tidak berniat mendidik kaum revolusioner. Ia justru mengaku mendidik warga negara yang baik. Menurut Protagoras, warga negara yang baik adalah mereka yang mampu menyerap seluruh tradisi sosial masyarakat yang menjadi anggotanya (hal. 26).

Pembahasan tentang Socrates baru dimulai di bab III. Socrates wafat pada tahun 399 SM. Plato pernah menyatakan bahwa Socrates berusia 70 tahun (atau sedikit lebih tua) saat kematiannya. Mengacu pada hal ini, Frederick Copleston berasumsi bahwa kemungkinan Socrates lahir pada tahun 470 SM. Ayah Socrates bernama Sophroniscus, sebagian orang menyebut bahwa ia adalah tukang batu. Namun, A. E. Taylor dan Burnet mengatakan bahwa cerita tersebut merupakan buah kesalahpahaman dari isi karya Plato yang berjudul Euthyphro. Sementara itu, ibu Socrates merupakan seorang bidan (bukan bidan profesional dalam terminologi modern), ia bernama Phaenarete.

Seorang teman setia Socrates yang bernama Chaerephon pernah bertanya kepada Oracle, “Apakah ada orang hidup yang lebih bijak dari Socrates?”. Jawaban yang diperoleh adalah, “Tidak!”. Lantaran hal ini Socrates pun berpikir hingga mendapat kesimpulan bahwa orang paling bijaksana adalah orang yang mengetahui ketidaktahuannya sendiri. Ia lalu paham bahwa misinya sekarang adalah untuk mencari kebenaran yang stabil dan pasti, kebijaksanaan sejati, dan untuk meminta bantuan pada siapa saja yang berkenan mendengarkannya. Socrates diceritakan memiliki istri yang sifatnya cerewet, ia bernama Xanthippe. Pernikahan mereka berdua kemungkinan terjadi dalam 10 tahun awal perang Peloponnesia―perang ini pecah pada 431-404 SM (hal. 43).

Frederick Copleston mengakui betapa sulitnya memastikan apa tepatnya ajaran filosofis Socrates. Jika mengacu pada penggambaran Xenophon, kita akan mendapati bahwa Socrates adalah seorang pria yang memiliki kepentingan utama untuk mewujudkan warga negara yang baik, ia tak menyibukkan diri dengan masalah logika dan metafisika. Apabila melihat pada dialog-dialog Plato, kita akan melihat Socrates sebagai seorang ahli metafisika pada tataran tertinggi, ia tak puas dengan pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku sehari-hari.

Socrates mempunyai metode praktis yang mengambil bentuk dialektika/percakapan. Melalui metode ini, Socrates akan berbincang dengan seseorang lalu berupaya untuk memunculkan gagasan-gagasan lawan bicaranya tersebut tentang suatu subjek. Socrates membiarkan lawan bicaranya mengisi sebagian besar perbincangan, di sisi lain ia tetap menjaga jalan pembicaraan berada di bawah kendalinya. Oleh sebab itulah, dialektika Socrates berkembang dari definisi yang kurang memadai ke definisi yang lebih memadai, atau dari pertimbangan atas contoh-contoh partikular ke definisi universal (hal. 59).

Aristoteles pernah menyebutkan bahwa Socrates adalah individu yang menyibukkan diri dengan masalah etika dan keunggulan karakter. Pendapat Aristoteles ini telah diafirmasi oleh penggambaran Socrates yang disuguhkan oleh Xenophon di atas tadi. Dalam karyanya yang berjudul Apologia, Plato menceritakan aktivitas Socrates yang mana ketika ia pergi ke suatu tempat, ia akan melakukan kebaikan terbesar bagi siapa saja yang ditemuinya.

Socrates berusaha membujuk setiap orang supaya mereka memandang dirinya sendiri, mencari kebajikan serta kebijaksanaan sebelum memperhatikan kepentingan pribadi. Socrates berpikir bahwa ini adalah tugasnya untuk membuat manusia menjaga kemuliaan yang dimiliki melalui pencapaian atas kebijakan serta kebajikan. Ketika Socrates mengkritik pandangan dangkal atau asumsi tanpa pertimbangan, ini bukan dalam rangka menunjukkan kecerdasan dialektik superiornya. Apa yang dilakukan Socrates tersebut lebih sebagai pembelajaran bagi dirinya dan perbaikan bagi lawan bicaranya. Akhirnya, dari sini kita pun mafhum bahwa Socrates bukan sekadar ahli logika, bukan pula kritikus yang merusak, melainkan seorang pria dengan sebuah “tugas” (hal. 62).

Post a Comment

0 Comments