![]() |
Dok. Pribadi |
Judul : Indonesia for Sale
Penulis : Dandhy Dwi Laksono
Penerbit : CV Jalan Baru
Cetakan : IV, November 2019
Tebal : xxxvi + 318 Halaman
ISBN : 978-602-51498-0-1
Resensator : Mohammad Azharudin
Buku ini pertama kali dicetak pada tahun 2009. Kala itu kursi kepresidenan tengah diduduki oleh SBY. Esensi dari buku ini adalah kritik—atau mungkin lebih tepatnya “sindiran”—terhadap berbagai problematika ekonomi yang terjadi selama rezim SBY. Dalam bagian “Pengantar Penerbit” dipaparkan bahwa analogi dari relasi antara nasionalisme dan kesejahteraan itu bagai sepasang mata. Kadang yang satu terpejam dan yang lain terbuka tajam. Kadang juga keduanya terpejam atau terbuka. Nasionalisme di era Soekarno merupakan harga mati, tak peduli meski itu harus memakan banyak korban (termasuk kesejahteraan).
Adapun di era Soeharto, kesejahteraan menjadi prioritas pembangunan, sementara nasionalisme justru dijadikan alat untuk mengabadikan tiran. Gus Dur mencoba mendamaikan nasionalisme dan kesejahteraan. Namun, Gus Dur kala itu dianggap terlalu nyeleneh. Nasionalisme dan kesejahteraan menjadi terlihat personal sehingga membingungkan banyak orang. Megawati? Lebih parah. Nasionalisme di era Megawati hanya berhenti pada teriakan “merdeka!”. Sisanya, banyak sumber kekayaan nasional berpindah ke negeri orang. SBY sendiri tak memberi perubahan yang signifikan selama menjabat. Masih ada hal-hal yang belum selesai kaitannya dengan nasionalisme dan kesejahteraan (hal. ix).
Masuk ke bab pertama yang berjudul “Orang Awam Menggugat”. Pada bab ini, harga bensin menjadi topik utama. Tanggal 1 Desember 2008, harga Premium yang awalnya Rp 6.000/liter diturunkan menjadi Rp 5.500/liter. Dua minggu setelahnya, tepatnya tanggal 15 Desember 2008, harga Premium diturunkan lagi menjadi Rp 5.000/liter. Tak berselang lama, pada Januari 2009 harga Premium kembali diturunkan menjadi Rp 4.500/liter. Hal ini diiringi oleh tren penurunan harga minyak dunia (dan mendekati pemilu 2009).
Namun, pada pertengahan tahun 2009, harga minyak dunia perlahan merangkak naik. Kendati demikian, pemerintah saat itu menyatakan bahwa mereka tidak akan menaikkan harga BBM. Sri Mulyani yang kala itu duduk di kursi Menteri Keuangan mengungkapkan bahwa ketika pemerintah tidak menaikkan harga BBM (meski harga minyak mentah naik) menjadi bukti bahwa “pemerintah Indonesia tak pernah bisa menjadi neolib”. Sri Mulyani melanjutkan, “Kalau neolib, itu berarti biarkan harga mengikuti pasar dan biarkan masyarakat berdarah-darah”. Padahal, keengganan pemerintah untuk tidak mengikuti harga pasar dalam konteks ini berkaitan erat dengan pemilu. Buktinya dalam iklan SBY menjelang pemilu, harga bensin yang tak naik selalu dibawa-bawa (hal. 23).
Lanjut ke bab kedua dengan judul “Komersialisasi Sampai Mati”. Salah satu masalah yang disinggung dalam bab ini adalah “parkir”. Saat ini konsep “bayar parkir” tak hanya ada di kota-kota besar, malah sudah merambah sampai di tingkat desa. Masuk toko, bayar parkir; masuk kantor, bayar parkir; mampir ke ATM, bayar parkir; bahkan taksi yang masuk untuk sekadar menurunkan penumpang juga harus bayar parkir. Padahal, kita semua tahu bahwa konsekuensi logis dari membuka usaha toko adalah menyediakan fasilitas lahan parkir. Artinya, permasalahan “bayar parkir” ini bukan tentang tarifnya, melainkan filosofinya. Kini semua kalangan telah mengomersialkan sesuatu yang sejatinya menjadi bagian dari pelayanan. Manusia kini punya perspektif, “Kalau bisa mendatangkan uang, kenapa harus gratis!?”.
Problematika lain yang disentil di bab kedua adalah “toilet”. Stasiun kereta di negara Amerika atau Inggris toiletnya selalu terkunci. Jika kebelet buang air, harus minta izin ke penjaga dulu, selepas itu baru diberi kunci. Apabila sudah selesai menggunakan toilet, kunci harus dikembalikan ke penjaga. Kendati demikian, toilet di sana gratis. Berbanding terbalik dengan di negeri kita. Toilet di Taman Monas—yang merupakan fasilitas ruang terbuka untuk publik—harus bayar Rp 1.000 bila menggunakannya (tarif ini merupakan tarif di tahun 2009). Akibat konsep toilet berbayar ini, tak sedikit orang (pengunjung) yang justru lebih memilih kencing di bawah pohon rindang (hal. 96).
Masuk ke bab ketiga dengan judul “Neoliberal yang Saya Kenal”. Dandhy (si penulis) mengutip penjelasan dari Herry yang menyatakan bahwa neoliberalisme itu bukan perkara ilmu ekonomi, melainkan filsafat politik. Neoliberal adalah cara berpikir yang menganggap bahwa mekanisme pasar—dan bukan intervensi negara—adalah pilihan terbaik untuk menata seluruh sendi kehidupan sosial. Istilah neoliberal digunakan oleh Herry untuk menyebut watak rezim Augusto Pinochet di Chili (yang memerintah 1973-1990). Watak utama rezim ini ada 2 yakni kebijakan politik yang otoriter dan pilihan ekonomi pasar bebas.
Neoliberalisme menganjurkan pemerintah untuk absen dalam kehidupan sosial-ekonomi. Namun, perlu dicatat bahwa neoliberal bukanlah aktor, melainkan substansi. Maknanya, bila ada kebijakan pemerintah yang muncul, tak berarti ia bukan agenda neoliberal. Pemerintah sendiri sebenarnya tidak diharamkan mengelola bisnis atas nama kesejahteraan umum. Apabila BUMN tidak mampu menghasilkan uang, setidaknya ia bisa meminimalkan pengeluaran rakyat dengan service setengah kerja sosial yang disuguhkannya. Tentu dengan catatan dalam tubuh BUMN tersebut tidak ada korupsi dan ia tak menjadi sapi perah para politisi (hal. 166).
Sayangnya, yang terjadi di negeri ini tidak seindah kalimat di atas. BUMN di sini justru mengalami swastanisasi. Hotel Indonesia yang bersejarah berakhir menjadi bangunan tua dan ditinggalkan tamu saat menyandang status BUMN. Namun, saat dipinjamkan ke grup Djarum dan namanya berubah menjadi Hotel Indonesia Kempinski, ia menjadi berkilau dan naik kelas. Menurut Forum Masyarakat Peduli Aset Negara, perjanjian Hotel Indonesia ini mulanya sekadar BOT (Built, Operate, Transfer), tapi kemudian berubah menjadi pengalihan hak. Seorang blogger bernama Heriyadi berkomentar, “Sudah habiskah orang pintar bangsa ini sehingga hotel yang penuh sejarah itu harus digandengkan dengan Kempinski?. Inikah Indonesia yang harus dibanggakan, saat situs sejarah pun harus dikontrol dan dikelola asing?. Tampaknya kita belum sepenuhnya merdeka!”.
0 Comments