![]() |
Dok. Pribadi |
Judul : Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital
Penulis : Ross Tapsell
Judul Asli : Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution
Penerjemah : Wisnu Prasetya Utomo
Penerbit : CV. Marjin Kiri
Cetakan : III, Juni 2021
Tebal : x + 298 Halaman
ISBN : 978-979-1260-81-7
Resensator : Mohammad Azharudin
Apa yang kita kenal sebagai media sosial nyatanya bukan sekadar sebuah aplikasi smartphone yang dapat menghubungkan kita dengan banyak orang tanpa sekat wilayah. Buku ini menjelaskan bahwa media sosial merupakan sebuah media digital yang memiliki dampak besar. Henry Jenkins, seorang sarjana Amerika, menuliskan bahwa fenomena munculnya berbagai platform digital baru hari ini lebih dari sekadar pergeseran teknologi, ia lebih sebagai satu bentuk revolusi yang mengubah relasi antara teknologi yang sudah ada, industri, pasar, genre, dan khalayak.
Ross Tapsell (sang penulis buku ini) mengakui dengan jujur bahwa aktivitas mengkaji topik media digital di Indonesia bukan perkara gampang. Ini tak lepas dari kondisi Indonesia yang heterogen, kompleks, dan luas secara geografis. Masih menurut Ross Tapsell, keberadaan teknologi digital baru membawa Indonesia ke 2 arah. Pertama, kaum oligark—melalui digitalisasi—mengontrol ranah media arus utama dan mendorong struktur kekuasaan elite tersentralisasi di sekitar politik dan media. Kedua, warga menggunakan berbagai platform media digital untuk tujuan-tujuan aktivisme dan pembebasan, juga warga dapat menantang struktur kekuasaan elite dengannya (hal. 8).
Saat rezim Orde Baru memegang kekuasaan, sebuah media harus memiliki izin khusus dari pemerintah yang disebut SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Pasca-jatuhnya Soeharto, lahir UU Pers No. 40 Tahun 1999 yang dianggap sebagai “mahkota reformasi” lantaran ia tidak lagi mengharuskan adanya SIUPP. Sebab hal tersebutlah kemudian terjadi ledakan media cetak baru dengan jumlah sekitar 1.500 pada periode antara 1998 hingga 2002. Meski tidak semuanya memproduksi jurnalisme berkualitas, fenomena ini menjadi bukti pertumbuhan menakjubkan pasar media di Indonesia dengan pemain dan konten yang jauh lebih beragam.
Pada tahun-tahun sesudah reformasi, perusahaan-perusahaan media tengah berjuang secara finansial (mengingat saat itu Indonesia memang masih berada dalam krisis ekonomi). Para ahli skeptis apakah industri media yang seperti ini akan tetap mendominasi penyiaran berita, sementara di sisi lain internet memungkinkan penyebaran informasi tanpa butuh modal besar dan infrastruktur yang mahal. Kehadiran situs berita daring detik.com pada 1998 telah menunjukkan bagaimana model baru bisnis media bisa muncul. Jika jurnalisme adalah tentang “apa/siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana?”, detik.com tanpa malu-malu memproduksi konten yang hanya berkutat seputar “apa/siapa, kapan, dan di mana?” (hal. 58).
Melompat jauh ke periode kedua SBY memerintah (tahun 2009-2014). Pada masa ini, media kian menjadi alat strategis untuk meraup pengaruh maupun dukungan politik. Ada 3 faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, SBY menarik para pemilik media yang dekat dengannya untuk terlibat dalam pemerintahan. Kedua, sebagian pemilik media yang melihat SBY sebagai rival politik mulai sering menyerangnya. Ketiga, perusahaan media mulai mewujud sebagai sebuah dinasti di mana para pemilik media memberikan posisi berkuasa untuk anak-anak mereka di dalamnya.
Ada beberapa orang dekat SBY yang terlibat dalam perusahaan media yang mendapat “imbalan” karena SBY terpilih kembali pada 2009. Ramadhan Pohan, pemimpin redaksi Jurnal Nasional, menjadi anggota DPR. Sementara itu, Andi Mallarangeng diangkat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Chairul Tanjung sendiri ditunjuk SBY untuk mengepalai Komite Ekonomi Nasional (KEN) pada 2010 dan pada Mei 2014 SBY mengangkatnya sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian seusai Hatta Rajasa mengundurkan diri. Nasib Dahlan Iskan tak berbeda jauh dengan Chairul Tanjung. Ia dipilih SBY untuk menjadi direktur utama Perusahaan Listrik Negara (PLN), tak berselang lama Dahlan Iskan lantas diangkat menjadi Menteri BUMN sejak tahun 2011 hingga 2014 (hal. 144). Kaitannya dengan nasibnya ini, Dahlan Iskan pernah menguraikan.
“Saya direkomendasikan sebagai direktur utama PLN oleh Chairul Tanjung. SBY meminta Chairul untuk meyakinkan saya agar mau menerima pekerjaan itu. Awalnya saya tidak ingin menerima posisi sebagai direktur utama PLN, namun Pak Chairul berkata, “Pak Dahlan! Kita berdua pengusaha. Jika listrik penuh dengan masalah, maka akan menghancurkan bisnis kita, dan negara akan berada dalam masalah”. Jadi, saat itu saya kemudian memutuskan menerimanya. Ketika saya bertemu SBY, saya bilang, “Saya tidak tahu apa-apa tentang listrik”. SBY menjawab, “Anda memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan”. Saya merencanakan 3 tahun di PLN, tetapi setelah 2 tahun SBY meminta saya menjadi menteri”.
Raja-raja media lainnya (seperti Aburizal Bakrie dan Surya Paloh) mulai memperkeras liputan tentang SBY. Pemberitaan negatif terhadap SBY nyatanya memberi dampak pada popularitasnya. SBY kerap diilustrasikan di media arus utama sebagai kerbau, sebuah gambaran bahwa ia adalah sosok yang lamban, besar, dan bodoh. SBY sendiri justru kian terobsesi dengan citra dirinya, alih-alih berfokus pada agenda-agenda reformasi yang berarti. Ini terbukti dari betapa fokusnya SBY terhadap apa kata media tentang dirinya. Greg Fealy menuliskan.
“Setiap pagi dia dan istrinya, Ani, konon membaca surat kabar dengan teliti pada saat sarapan dengan memberikan perhatian khusus pada liputan kritis terhadap istana atau pemerintah. Serangan personal terhadap SBY akan menggelisahkannya selama berjam-jam, jika bukan berhari-hari”.
Terkait dengan kritik media terhadap dirinya, SBY merasa bahwa ia tidak mendapatkan liputan yang adil di media arus utama lantaran pemilik media yang mempunyai ambisi politiknya sendiri. Menurutnya, masalah terbesarnya adalah kebijakannya sering tidak diberitakan secara akurat dan media sendiri sekadar mengkritik tanpa memberitakan dari sisi pemerintah.
Kembali beralih ke ulasan soal media sosial. Bagi sebagian besar elite, platform media baru ini hanyalah cara lain untuk menyebarkan konten dan menjangkau audiens yang lebih muda. Sifat partisipatif dari platform baru ini lamban mereka pahami. Sebagai contoh, banyak politisi sekadar menggunakan media sosial untuk memproduksi konten mereka sendiri dan/atau untuk mengklarifikasi berita-berita yang kritis atau keliru. Mereka sangat jarang menggunakannya untuk menghadapi pertanyaan langsung dari warga maupun praktisi media (hal. 195).
Media sosial pada akhirnya menemukan momentumnya pada pemilihan Gubernur DKI tahun 2012, di mana ia punya pengaruh yang semakin besar dalam kampanye politik di Indonesia. Keberadaan media digital memungkinkan lahirnya gaya kampanye yang memadukan kreativitas anak muda Indonesia dengan minat mereka untuk memproduksi konten secara amatir untuk bahan-bahan kampanye bayangan. Salah satu contoh nyata dari hal ini adalah video musik yang diproduksi oleh CAMEO (sebuah perusahaan pemasaran kecil), yang mengadaptasi lagu “What Makes You Beautiful” dari One Direction menjadi pesan politik Jokowi mengenai perubahan dan pemerintahan yang bersih. Dalam jangka waktu beberapa minggu, video musik tersebut telah disaksikan oleh lebih dari 1 juta penonton di Youtube.
Meski model kampanye pasangan Jokowi-Ahok menggunakan konten-konten semacam itu terbilang berhasil, media arus utama masih tetap memegang peran penting dalam mendongkrak popularitas Jokowi secara nasional. Saat telah menjadi gubernur, aktivitas Jokowi dipandang ramah media sehingga banyak dari mereka yang berebut memburu berita tentang kegiatan kesehariannya. Bahkan, blusukan yang dilakukan Jokowi segera menjadi tayangan harian dalam berita nasional di Indonesia. Melalui blusukan artinya wartawanlah yang mencari Jokowi demi mendapatkan berita, bukan Jokowi yang datang ke pemilik media untuk meminta liputan yang lebih berpihak kepadanya (hal. 204). Mengenai hal ini, Jokowi pernah menuturkan.
“Kalau saya di kantor setiap hari, apakah menurut Anda media akan meliput saya?. Kalau Anda melakukan wawancara di kantor atau rekaman televisi di kantor, itu tidak seksi. Tapi kalau Anda pergi ke daerah kumuh, si pembaca berita [reporter] dan rekamannya akan jadi lebih seksi”.
0 Comments