Ticker

6/recent/ticker-posts

Tentang Sebuah Paham yang Tak Segampang Menjawab “Ya” atau “Tidak” pada Pertanyaan soal Keberadaan Tuhan

 

Dok. Pribadi

Judul              : Agnostisisme: Sebuah Pengantar Singkat

Penulis           : Robin Le Poidevin

Judul Asli      : Agnosticism: A Very Short Introduction

Penerjemah   : Hari Taqwan Santoso

Penerbit         : IRCiSoD

Cetakan          : I, Januari 2021

Tebal              : 204 Halaman

ISBN               : 978-623-6699-23-2

Peresensi        : Mohammad Azharudin

 

Dulu, waktu saya masih berada di bangku kuliah, salah satu dosen saya pernah menjelaskan perihal “ateis” dan “agnostik”. Sependek yang saya ingat, beliau dulu memaparkan begini, “Ateis itu tidak meyakini keberadaan Tuhan, tapi mengakui eksistensi tiap agama. Adapun agnostik, dia tidak memilih untuk memeluk agama mana pun, tapi meyakini bahwa Tuhan itu ada”. Namun, buku ini tidak berkata senada. Ia menyuguhkan uraian yang sedikit lebih kompleks.

Agnostisisme—dalam buku ini—didefinisikan sebagai kedudukan “tidak tahu” tentang keberadaan Tuhan. “Apakah Tuhan ada?”, kaum teis akan menjawab “YA”, sementara kaum ateis akan menjawab “TIDAK”. Bagaimana dengan “TIDAK TAHU”?. Menurut Robin Le Poidevin (sang penulis), ia tidak termasuk kategori jawaban. Ia lebih tepat disebut sebagai pengakuan bahwa seseorang tidak memiliki jawaban. Kaum agnostik tidak dapat ditempatkan di tengah-tengah. Mereka ada di sisi yang berlawanan dari para teis dan ateis yang berpikir bahwa seseorang dapat menetapkan apakah Tuhan itu ada atau tidak (hal. 22).

Agnostisisme kebanyakan bersifat “lokal” (diterapkan pada subjek tertentu). Ia bisa tentang Tuhan, tentang kehidupan alien, tentang kemungkinan Teori Penyatuan Agung dalam Fisika, dan semisalnya. Apa pun subjeknya, seseorang mungkin agnostik hanya terhadap aspek-aspek tertentu. Apabila agnostisisme itu ada hubungannya dengan Tuhan, ia tidak perlu secara khusus berkaitan dengan keberadaan-Nya. Bisa jadi, ada orang-orang yang meyakini keberadaan Tuhan, tetapi mereka mungkin agnostik terhadap beberapa sifat Tuhan.

Masuk ke bab 2 “Siapakah Para Agnostik Pertama?”. Buku ini menyebutkan bahwa terdapat 3 orang yang pertama kali menyebut diri mereka sendiri “agnostik” yaitu.

1.   Thomas Henry Huxley (1825-1895)

2.   Leslie Stephen (1832-1904)

3.   Herbert Spencer (1820-1903)

Huxley merupakan anggota sebuah kelompok yang bernama Masyarakat Metafisik. Kelompok ini merupakan kelompok teologis, yang tujuan awalnya ialah untuk membahas masalah-masalah keagamaan dengan ketidakberpihakan dan keterbukaan pikiran. Usul pembentukan Masyarakat Metafisik diinisiasi oleh James Knowles, seorang editor berkala Ninteenth Century (hal. 36).

Huxley menyadari bahwa tiap anggota Masyarakat Metafisik memiliki satu kata pasti—meski berbeda-beda—untuk menggambarkan dunia dalam sudut pandang mereka. Contohnya positivisme, materialisme, teisme, dan semacamnya. Namun, Huxley belum menemukan kata yang tepat untuk merepresentasikan kedudukan dirinya sendiri. Hingga akhirnya ia menemukan satu kata yang dapat mewakilinya, yakni “agnostisisme”. Robin Le Poidevin berasumsi bahwa Huxley mungkin mengingat kata “agnostik” di dalam sepucuk surat yang ditulis oleh Isabel Arundell, istri dari penjelajah Sir Richard Burton.

Lompat ke bab 4 “Mengapa Menjadi Agnostik?”. Dalam Perjanjian Lama diceritakan bahwa pada zaman nabi Elia, terdapat banyak orang Israel yang menyembah dewa yang dikenal sebagai Baal. Guna mengembalikan iman orang-orang tersebut, nabi Elia mengusulkan sebuah ujian. Dua tumpukan makanan harus dibuat, satu dipersembahkan untuk Baal dan satu lagi untuk Tuhan nabi Elia (Allah). Tumpukan makanan tersebut diletakkan di atas kayu, tetapi ia tak dinyalakan. Para penyembah Baal dipersilakan untuk memohon pada sesembahannya supaya mengirim api untuk menyalakan tumpukan mereka. Namun, tak ada apa pun yang terjadi. Kini tiba giliran nabi Elia, ia pun berdoa (hal. 88).

 

“Dengarlah aku, ya Tuhan! Dengarkan aku, supaya orang-orang ini tahu bahwa Engkau adalah Tuhan, Allah. Dan bahwa Engkau telah memalingkan hati mereka kembali”.

Kemudian api Tuhan turun, dan memakan korban bakaran, kayu, batu, dan debu, dan menjilat air yang ada di parit.

Dan, ketika semua orang melihat itu, wajah mereka jatuh ke bumi. Dan mereka berkata: “Tuhan! Dialah Allah”.

 

Tes semacam itu tampaknya sulit dilakukan hari ini. Sebab, hasilnya belum tentu positif. Robin Le Poidevin lantas menawarkan serangkaian pengamatan sebagai gantinya. Salah satunya adalah pengamatan terhadap “kecerdasan”. Pikiran, entah bagaimana ia dapat merepresentasikan keadaan-keadaan yang sebenarnya di dunia luar, menerka tentang apa yang mungkin terjadi, dan memulai tindakan untuk menghasilkan apa yang diinginkan. Pikiran adalah sesuatu yang sadar, ia membawa rasa mawas diri. Pengamatan sederhana terhadap pikiran dianggap cukup untuk membuktikan bahwa alam telah diciptakan oleh Pencipta Ilahiah.

Adalah sesuatu yang tidak mungkin apabila perilaku acak atom akan berimplikasi pada munculnya sesuatu yang begitu rumit dan terarah. Akan lebih tepat apabila ia (pikiran) merupakan hasil tak terhindarkan dari intervensi Tuhan. Namun, ada penjelasan yang lebih naturalistik tentang “kecerdasan” di sini. Pada satu titik tertentu dalam sejarah, kecerdasan tidak sekadar muncul secara ajaib. Kecerdasan secara bertahap lahir melalui serangkaian langkah kecil, peningkatan bertahap dalam kompleksitas sistem kehidupan, dan kapasitas mereka untuk beradaptasi dan bertahan hidup. Sampai sini kita akan menyadari bahwa pada satu penjelasan, “kecerdasan” menawarkan dukungan besar terhadap teisme. Tetapi, melalui penjelasan lain, ia justru seolah menafikan intervensi Tuhan (hal. 91).

Berikutnya bab 5 “Apakah Agnostisisme Didasarkan pada Kesalahan?”. Menjadi seorang agnostik (terhadap Tuhan) berarti mengandaikan hal-hal tertentu tentang kepercayaan kepada Tuhan. Walau pengandaian-pengandaian itu mulanya tampak sepenuhnya masuk akal, tapi ia tetap memiliki kemungkinan salah. Ada 4 praanggapan penting tentang hipotesis Tuhan, sebagai berikut.

a.    Ia, entah benar atau salah.

b.   Ia harus dipahami secara harfiah.

c.  Kepercayaan pada kebenaran-Nya hanya rasional bila didasarkan pada alasan-alasan yang tidak hanya menganggap bahwa Tuhan itu ada.

d.   Alasan-alasan itu harus menarik bukti yang cukup untuk hipotesis tersebut.

Praanggapan pertama: jika ada sesuatu yang tidak seseorang ketahui, maka ada sesuatu yang benar (contoh: “Tuhan itu ada, atau Dia tidak ada). Tetapi, sesuatu yang benar tersebut tidak ia ketahui. Praanggapan kedua: adalah pertanyaan tentang apakah benar-benar ada entitas transenden yang bertanggung jawab atas alam semesta. Kaum ateis memberi jawaban negatif, sementara kaum agnostik menyatakan bahwa pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab. Praanggapan ketiga: sepertinya hanya kosong belaka untuk tidak mengizinkan argumen-argumen bagi keberadaan Tuhan yang mengajukan pertanyaan tersebut, jika kita hendak menerapkan prinsip ini untuk debat-debat lain. Pranggapan keempat: kaum agnostik berpikir bahwa bukti yang mereka miliki untuk Tuhan meragukan, maka mereka pun menjadi agnostik (hal. 121).

Post a Comment

0 Comments