Ticker

6/recent/ticker-posts

Indonesia Harus Berkaca pada Metode Perekrutan Anggota Akatsuki

 

wallpaperflare.com

Para menteri (baru) telah ditunjuk, rakyat tengah menunggu seperti apa kinerja mereka. Banyak harapan beterbangan, tapi sebagian orang lebih memilih menurunkan ekspektasi. Saya sendiri termasuk tipikal golongan pertama. Ya! Menaruh harap. Saya sangat ingin negeri yang selalu dinarasikan wonderful ini benar-benar menjadi wonderful (tidak sekadar pemandangan alamnya, melainkan juga tata pemerintahannya). Terkait para menteri baru yang memikul harapan tersebut (itu pun kalau mereka merasa), saya yakin mereka sangat mafhum dengan probabilitas reshuffle yang bisa terjadi kapan pun. Entah kapan reshuffle itu dilakukan, saya harap “para pemangku kepentingan” bisa meneladani prinsip yang dipegang oleh akatsuki dalam merekrut anggota.

Pertanyannya, mengapa harus Akatsuki?. Menurut perspektif saya, Akatsuki adalah villain dengan kesan paling intimidatif di universe Naruto sampai saat ini. Para anggotanya tidak ada yang berasal dari golongan lemah. Setiap kali bertarung, mereka akan memaksa lawannya untuk mengeluarkan potensi kekuatan maksimalnya. Asuma sampai terbunuh oleh Hidan; Sakura andai tak bersama nenek Chiyo, mungkin akan kalah oleh Sasori; Pain mampu memporak-porandakan Konoha. Bukti-bukti tersebut tentu membuat Akatsuki tak dapat dipandang sebelah mata. Lantas, apa yang membuat Akatsuki bisa mencapai level tersebut?. Padahal, kita tahu bahwa tiap member Akatsuki itu berasal dari desa yang berbeda.

Bagi yang memperhatikan, pasti akan sadar bahwa Akatasuki merekrut anggota tidak sembarangan. Setidaknya ada 2 syarat yang harus dipenuhi sebelum menjadi anggota Akatsuki, yaitu memenuhi standar kemampuan yang telah ditetapkan dan memiliki loyalitas penuh. Bagaimana dengan Itachi? Bukankah ia seorang double agent?. Ya, benar. Namun, yang harus dicatat di sini ialah loyalitas Itachi terhadap Akatsuki tidak setengah-setengah. Itachi memang ingin supaya desa (dan adiknya) tidak diusik. Kendati demikian, ia masih tetap menjalankan tugasnya sebagai member Akatsuki secara profesional. Hal ini dapat kita lihat dari penangkapan Yonbi.

Man management dalam Akatsuki juga sangat bagus. Ini terbukti dari 3 pasangan yang sangat selaras. Pertama, Deidara-Sasori. Dua orang yang sama-sama menyukai seni. Kesamaan ini tentu akan mempermudah mereka untuk saling memahami. Kedua, Kakuzu-Hidan. Dua orang yang sama-sama “abadi” dan punya hasrat tinggi untuk membunuh. Jadi, apabila keduanya berseteru, Akatsuki tidak akan takut kehilangan member-nya sebab keduanya sulit untuk mati. Ketiga, Kisame-Itachi. Dua orang yang sama-sama berangkat dari dunia yang penuh pengkhianatan. Selain itu, Kisame yang model bertarungnya frontal, sangat terbantu dengan kehadiran Itachi yang lebih mengedepankan strategi dalam bertarung.

Saya sangat tahu bahwa Akatsuki hanyalah organisasi fiksi. Tetapi, jika terdapat profesionalisme di dalamnya, tak ada salahnya untuk menerapkannya di dunia nyata. Meritokrasi yang dipegang teguh oleh Akatsuki rasanya perlu untuk dipraktikkan di Indonesia. Kita sudah menyaksikan sendiri beberapa waktu yang lalu. Jokowi memilih dan me-reshuffle para menterinya berdasarkan asas politik balas budi. Lebih jauh lagi, Jokowi berupaya melanggengkan praktik nepotisme. Nah, puncak kelucuan dari semua ini adalah pemberian Anugerah Bintang Mahaputra Pratama oleh Jokowi (selaku presiden saat itu) kepada Budi Arie (Menkominfo). Kenapa lucu?. Bayangkan saja! Pusat Data Nasional (PDN) diretas, Menkominfo malah dapat anugerah. Kalau kata mahasiswa semester I prodi filsafat, ini disebut “cacat logika”.

"Eh, enggak sih! Kan Budi Arie itu ketua umum PROJO. Jadi, ya, make sense sih kalau Jokowi memberinya penghargaan. Oleh sebab itu, buat teman-teman yang mau dapat penghargaan juga, bergabunglah dengan oligarki. Hiya-hiya-hiya"

Bagaimana dengan Prabowo?. Ya.....kita belum tahu pasti. Semoga saja Prabowo tidak terlena dengan politik balas budi. Semoga Prabowo selalu mengedepankan meritokrasi. Saya mafhum, saya terlalu naif di sini. Menaruh harap pada pejabat sama saja dengan berjudi. Tapi, dunia ini tidak sekadar hitam dan putih saja, bukan?. Pejabat tidak sepenuhnya “hitam”. Pasti ada sisi “putih” pada dirinya, seberapa kecil pun itu. Dan.....ya, saya harap sisi “putih” dari sosok Prabowo adalah mengedepankan meritokrasi demi perbaikan negeri ini. Jika CPNS saja ada seleksi kompentensi, masa perekrutan menteri malah didasarkan pada kedekatan personal dan balas budi!?.

Negara ini telah terperosok dalam nepotisme, bahkan hampir 2 kali konstitusi dikencingi untuknya. Kalau ada yang teriak-teriak “Indonesia baik-baik saja”, saya sarankan untuk diam daripada kebodohan kalian terpampang di mana-mana. Kini, pemimpin baru telah duduk di kursi. Saat kampanye kemarin, salah satu tagline yang saya tangkap dari Prabowo adalah “melanjutkan”. Semoga yang dilanjutkan itu bukan nepotisme dan normalisasi korupsi. Semoga yang dilanjutkan itu adalah semua yang membawa kemaslahatan untuk rakyat. Penguatan KPK dan kepatuhan atas konstitusi adalah 2 hal yang wajib dilakukan. Ingat! Jangan meminta rakyat patuh pada peraturan bila para wakilnya saja justru mengencingi peraturan.

 Terakhir, kita masih punya PR untuk mewujudkan “Indonesia Emas 2045”. PR ini tidak bisa dibebankan hanya pada rakyat. Enak saja kalian! Rakyat disuruh melakukan perbaikan di segala lini, kalian leha-leha menikmati kemewahan tiap hari. “Indonesia Emas 2045” bagaimana pun adalah misi bersama. Para pemangku kepentingan wajib hukumnya memberi kontribusi untuk mewujudkannya, bahkan harus memberi kontribusi lebih besar daripada rakyat. Oleh sebab itu, tolong negara ini dijaga, bukan malah dibuat bancakan sekeluarga dan sekolega. Tolong ciptakan ekosistem pemerintahan yang diisi oleh para profesionalis di bidangnya masing-masing. Tolong jangan jadikan lulusan Ekonomi untuk mengurusi kementerian yang bergerak di bidang teknologi dan informasi. Sebab, kalau itu dilakukan, nanti akan lahir Johnny G. Plate part 2.

Post a Comment

0 Comments