Ticker

6/recent/ticker-posts

Urgensi Berserikat di Era Eksploitasi yang (Dibuat) Tak Terlihat

 

Dok. Pribadi

Judul              : Rezim Kerja Keras dan Masa Depan Kita

Penulis           : Jafar Suryomenggolo

Penerbit         : EA Books

Cetakan          : I, Mei 2022

Tebal              : xiv + 256 Halaman

ISBN               : 978-623-5280-02-8

Resensator     : Mohammad Azharudin

 

“Buruh harus membaca!”, itulah kesimpulan yang saya dapat di bagian Pendahuluan buku ini. Ya! Buku yang ditulis Jafar Suryomenggolo ini dibuka dengan kisah pemogokan buruh Tionghoa juru ketik koran Java-bode pada 1914. Pemogokan ini dianggap sebagai pemogokan yang pertama kali terjadi di dunia industri koran di Hindia Belanda. Koran merupakan media massa utama kala itu. Industri koran mengalami perkembangan seiring dengan banyaknya orang yang melek huruf di Hindia Belanda. Dalam perjalanannya, koran tak lagi hanya berisi pengumuman resmi pemerintah. Keluh kesah masyarakat kemudian mendapat porsi yang lebih banyak daripada sebelumnya (hal. 4).

Koran bukan sekadar sumber berita. Pada tahap yang lebih lanjut, koran dapat membuat para pembacanya kian sadar akan perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya. Buruh koran di Surabaya dapat mengetahui kondisi kerja buruh koran di Batavia. Masyarakat umum juga dapat melihat persoalan-persoalan—entah itu sosial, ekonomi, maupun politik—di balik kasus pemogokan buruh koran Java-bode. Semaoen, di usianya yang ke-21 mampu memimpin para buruh kereta api untuk menuntut tunjangan dan upah layak pada 1920. Salah satu faktor pendorongnya ialah Semaoen rajin membaca koran.

Masuk ke bab I “Rezim Kerja Keras”. Guna mencapai kemajuan ekonomi, banyak negara Asia (termasuk Indonesia) menerapkan pola pembangunan berorientasi ekspor. Akibat tekanan permintaan pasar ekspor, para buruh dipaksa untuk bekerja lembur secara tidak manusiawi. Paradigma buruh didikte dan diotak-atik sedemikian rupa, sehingga mereka akan berpikir bahwa bekerja dengan jam kerja panjang adalah hal yang lumrah untuk membuktikan diri mereka mampu bekerja keras. Buruh muda juga akan merasa bahwa tubuh mereka mampu menanggung beban kerja dan jam kerja panjang demi sukses yang diharapkannya (hal. 14).

Ambisi terhadap kemajuan ekonomi yang hendak digapai pemerintah Indonesia, nyatanya membawa persoalan pada dunia perburuhan (dan itu tidak sepenuhnya tertangani). Pemerintah Indonesia justru lebih nyaring meneriakkan slogan “kerja keras” sebagai bagian dari proses pembangunan ekonomi, alih-alih menyiapkan jaring perlindungan hukum bagi buruh dari kelelahan kerja dan ancaman kematian akibat kelelahan kerja. Muncul sebuah pandangan bahwa persoalan kelelahan kerja dan ancaman kematian darinya bukan perkara yang serius dan tidak akan berlangsung selamanya. Rezim negara ini seolah memvalidasi penindasan atas buruh, alih-alih membawa perbaikan bagi nasib buruh.

Lanjut ke bab II “Ogah Jadi Prekariat”. Buruh ada banyak macamnya, 2 di antaranya yakni buruh tetap dan buruh kontrak. Sering kali buruh kontrak memiliki jam kerja yang lebih panjang daripada buruh tetap. Selain itu, buruh kontrak juga tak mudah dalam mengajukan cuti sakit. Perkara ini menyebabkan banyak orang menjadikan status buruh tetap sebagai puncak/tujuan. Sebenarnya, menurut Hukum Perburuhan, hak dan kesejahteraan buruh tetap dan buruh kontrak itu sama. Namun, begitulah ironi, aturan kerap kontradiktif dengan kenyataan. Bahkan celakanya, perbedaan hak dan kesejahteraan antara buruh tetap dan buruh kontrak dianggap hal yang lumrah (hal. 60).

Buku ini menyebutkan bahwa perbedaan perlakuan terhadap buruh kontrak dan buruh tetap di atas merupakan siasat ciptaan pengusaha. Pertanyaannya, apa dalih yang mendasari para pengusaha menciptakan siasat tersebut?. Jawaban paling sederhananya, mereka ingin supaya buruh tetap tidak bersatu dengan buruh kontrak. Buruh tetap dibuat terlena sehingga mereka akan merasa beruntung dan nyaman. Adapun buruh kontrak, mereka dipacu supaya fokus mengejar satu impian, yaitu menjadi buruh tetap.

Ketidakadilan juga dialami oleh buruh perempuan. Dalam UU No. 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan bahwa buruh perempuan memiliki hak cuti haid sebanyak 2 hari. Namun, lagi-lagi kenyataan berseberangan dengan aturan. Beberapa laporan menyebut bahwa buruh perempuan yang hendak mengambil hak cuti haid diminta untuk memperlihatkan pembalut mereka sebagai bukti. Padahal, di dalam aturan hukum tertulis sama sekali tidak tercantum syarat tersebut. Para pengusaha dan manajer pabrik membuat-buat syarat konyol semacam itu dengan tujuan memperkecil jumlah buruh perempuan yang mengambil hak cuti haid (hal. 67).

Beralih ke bab IV “Tantangan Berserikat”. Dalam sebuah negara yang mengaku demokratis, serikat buruh adalah salah satu organisasi yang harus ada. Bagaimana pun, serikat buruh punya hak penuh untuk menyuarakan kepentingan dan tuntutan para buruh. Para buruh tidak dapat berjuang sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, dibutuhkan sebuah organisasi sebagai wadah perjuangan bersama. Orang-orang yang bekerja di rumah sakit, para pekerja di sekitar penerbangan, buruh pertanian, buruh perkebunan, buruh digital, buruh maritim, buruh di kawasan-kawasan industri; semua punya hak yang sama untuk berserikat. Setiap buruh memiliki kebebasan untuk bergabung dalam serikat buruh pilihannya sendiri.

Sekitar tahun 1945-1946, berdiri Partai Buruh Indonesia (PBI). Sayangnya, PBI bukan merupakan kebutuhan politik buruh kala itu. PBI justru merupakan permainan di kalangan elite politik nasional. PBI sekadar ambisi perorangan belaka. Akibatnya, ia tak mendapat sambutan hangat dari para buruh di tingkat basis. Embrio dari PBI adalah BBI (Barisan Buruh Indonesia) yang terbentuk pada 15 September 1945. Sementara PBI sendiri resmi dibentuk pada 15 Desember 1945 dengan Sjamsu Harja Udaja sebagai ketua umum (hal. 172).

 Dalam era persaingan ekonomi global saat ini, perjuangan mempertahankan hak-hak serikat buruh kian bertambah berat. Ini disebabkan karena semua perusahaan berkompetisi memproduksi barang dan jasa semurah mungkin. Inilah yang kemudian mentransformasi hubungan kerja yang bersifat tetap menjadi kontrak atau bentuk tidak tetap lainnya. Kawula muda yang baru menyelami dunia kerja perlu melihat urgensi berkumpul dan berjuang bersama dalam serikat buruh. Serikat buruh sendiri harus aktif tanggap terhadap kondisi masyarakat umum. Tidak sepatutnya serikat buruh membatasi diri seolah problematikanya hanya terbatas sampai di pintu gerbang pabrik.

Post a Comment

0 Comments