Ticker

6/recent/ticker-posts

Mengatur Ulang Orientasi Keberagamaan: Antara Ego Individual vs Teologi Humanitarian

Dok. Pribadi

 
 

Judul              : Teologi Kiri

Penulis           : Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, S.U.

Penerbit         : IRCiSoD

Cetakan          : I, November 2020

Tebal              : 436 Halaman

ISBN               : 978-623-6699-07-2

Peresensi        : Mohammad Azharudin

 

Kata “kiri” kerap kali memunculkan kesan negatif. Buku ini pun mengakuinya. Tak jarang labelisasi “kiri” ini disematkan pada pemikiran dan/atau aktivitas kelompok yang anti-Tuhan atau komunis. Ironisnya, “kelompok kiri” tersebut memiliki keberpihakan pada kaum tertindas, miskin, dan yang diperlakukan tidak adil. Tujuan pokok pewahyuan Islam sebenarnya ialah membebaskan individu atau sekelompok orang dari derita kemiskinan, kebodohan, ancaman ketertindasan, serta perlakuan tidak adil. Ini dapat disaksikan dari ibadah serupa zakat fitrah, kurban, dan sedekah lainnya.

Abdul Munir Mulkhan (sang penulis) memaparkan bahwa penggunaan istilah “Teologi Kiri” dalam buku ini bermaksud untuk melawan labelisasi yang sudah terlampau melekat di banyak kalangan. Aktivitas pemihakan kaum proletar tidak selamanya merupakan aksi komunis atau kaum Marxis. Teologi Kiri bermakna bahwa praktik beribadah, praksis berteologi, dan jalan mencari Tuhan dapat diwujudkan dengan kegiatan membela kaum proletar (mustadh‘afin). Teologi Kiri mengharuskan praktik-praktik ibadah, iman/tauhid, dan amal saleh terlibat aktif dalam persoalan riil yang dihadapi umat Islam dan umat manusia pada umumnya (hal. 24).

Harus diakui, buku ini benar-benar berani. Ia tak ragu untuk melempar kritik secara keras dan lugas pada Teologi Sunni atau ahl al-sunnah wa al-jama‘ah yang disebutnya sudah usang. Teologi Sunni terlalu banyak menarasikan tentang bagaimana umat manusia “memanjakan” atau “ngurusi” Tuhan melalui berbagai ritus yang suci. Semua ibadah sosial semacam zakat fitrah, sedekah, dan kurban selalu dinyatakan dilakukan atas nama dan demi Tuhan. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar umat Islam tidak peduli apakah ibadah-ibadah tadi secara fungsional memang membebaskan individu atau sekelompok orang dari kondisi terpuruk.

Masuk ke bab 3 “Pudarnya Solidaritas Ideologis”. Diuraikan dalam bab ini bahwa meletakkan agama yang sakral dan kebudayaan yang profan dalam hubungan yang sistematis bukanlah perkara mudah. Harus ada klarifikasi kapan agama sebagai representasi Tuhan dan kapan agama sebagai kebudayaan. Ketidakjelasan hubungan antara agama dan kebudayaan ini berdampak pada berbagai bidang ilmu keislaman.

Ilmu kalam, fikh, tafsir, hadis, dan sejenisnya yang lahir dari pemikiran Islam, dianggap sebagai personifikasi wahyu secara tekstual dan skriptural. Teks wahyu yang skriptural dianggap sebagai satu-satunya sumber ilmu dan kebudayaan. Padahal teks wahyu skriptural tersebut secara lugas menyebutkan bahwa realitas alam, wujud, dan dinamika hidup juga merupakan ayat atau tanda eksistensi Tuhan (hal. 195).

Sudut pandang seperti di atas kemudian menyebabkan kesadaran sejarah direduksi. Muncullah keyakinan bahwa ilmu atau kebudayaan yang lahir dari generasi yang paling dekat dengan peristiwa penurunan wahyu adalah yang benar dan paling benar. Ulama salaf (yang masa hidupnya dekat dengan generasi Nabi saw) dipandang mempunyai otoritas kewahyuan tertinggi. Setiap perbedaan atas pemikiran mereka dinilai menabrak agama dan melanggar aturan Tuhan. Akibatnya pemikiran Islam mengalami kesulitan perkembangan, khususnya di bidang ilmu kealaman, sejarah, dan kemanusiaan. Ilmu-ilmu semacam itu dianggap di luar tugas keagamaan. Bahkan yang lebih ekstrem, dianggap menyimpang dari doktrin.

Teks wahyu skriptural dilihat sebagai formula positivis, di mana seluruh lapisan kehidupan manusia diletakkan dalam perspektif kaidah hukum fikih yang tingkat kebenarannya berhubungan dengan masa lampau. Positivisasi Islam dalam fikih ini menjadikan hampir tak ada produk budaya yang sesuai Islam. Oleh sebab itu, keberagamaan harus diletakkan sebagai aksi kebudayaan yang terus mengalir. Jika tidak, maka keberagamaan akan mudah terjatuh ke dalam konflik dan sikap antikemanusiaan hanya sebab perbedaan interpretasi dan perbedaan agama (hal. 198).

Berlanjut ke bab 5 “Teologi Kiri: Dari Ritus ke Aksi”. Konflik dan kekerasan yang dibungkus dengan simbol keagamaan pernah terjadi di semua peradaban. Mengingat Tuhan (dalam semua agama) ditempatkan sebagai kemutlakan, sumber kebenaran abadi, Maha Gaib, dan Maha Kuasa; tak heran bila setiap orang bisa bertindak atas nama-Nya demi kekuasaan untuk dirinya sendiri. Dinamika keagamaan pun lantas penuh dengan konspirasi politik dari mereka yang menyatakan membela agama dan Tuhan yang diyakininya.

Keagamaan lalu menjauh dari kemanusiaan lantaran Tuhan dipahami sebagai ekstrem kemanusiaan. Aksi-aksi kemanusiaan atas nama agama dan/atau Tuhan terbelenggu dalam aksi sepihak (hanya diperuntukkan bagi yang sepaham, seagama, dan golongannya sendiri). Tuhan dan agama direduksi sehingga hanya selaras dengan visi eksklusif golongan tertentu. Ketika semua golongan mengambil sikap demikian, praktik keberagamaan pun cenderung bertransformasi menjadi aksi penindasan dan kekerasan. Ironisnya, para intelektual agama—khususnya yang berkolaborasi dengan elite penguasa—meletakkan tradisi tersebut sebagai referensi tunggal yang tak boleh dipertanyakan (hal. 367).

Risalah kenabian alih-alih dibaca sebagai risalah mengubah kekafiran dan kebatilan, justru dipahami sebagai perang melawannya. Kosa kata (قِتَال) dan (جِهَاد) yang diinterpretasikan sebagai “perang fisik” memiliki tingkat popularitas yang lebih tinggi dalam kesadaran umat muslim daripada kata (دَعْوَة). Tak jarang, 2 kata yang disebut lebih awal tadi dipahami sebagai aksi perlawanan pada orang yang berlainan agama atau yang berpaham lain meski seagama. Harta dan kepemilikan orang yang berbeda paham diklaim halal, boleh dirusak/dihancurkan, bahkan dirampas. Keagamaan pun lantas berubah menjadi ancaman yang menakutkan bagi pihak-pihak lain.

 Agama di masa berikutnya mesti mengambil peran sebagai pihak pembebas dari ketertindasan, perlakuan tidak adil, dan kemiskinan. Agama harus menjadi fondasi kehidupan yang lebih makmur, berkeadilan, dan demokratis. Buku ini—lagi-lagi sangat berani—mendorong supaya al-Qur’an dan hadis tidak dibiarkan sebagai teks mati yang hanya bisa dipahami menurut versi ulama klasik. Problem kemanusiaan kontemporer jelas tak pernah dialami oleh para ulama klasik. Oleh sebab itu, al-Qur’an dan hadis harus dihidupkan kembali melalui kegiatan reinterpretasi secara kritis, sehingga Islam bisa mulai menawarkan kembali harapan kemanusiaan (hal. 371).

Post a Comment

0 Comments