![]() |
Unsplash.com/Tingey Injury Law Firm |
”Guru, sang pahlawan tanpa tanda jasa”. Sebuah romantisasi yang begitu indah, menawan, dan menggiurkan. Bagaimana tidak! Guru dilihat sebagai sosok yang mengantarkan para murid menuju gerbang keberhasilan. Sungguh! Sebuah prestasi yang hanya mampu dibalas oleh Tuhan. Namun, saat sudah dewasa, saya pun sadar bahwa kalimat mengenai guru tadi bukanlah kalimat yang indah dalam realita. Kalimat termaktub nyatanya sekadar kalimat penghibur bagi para guru (honorer) supaya mereka lupa akan pahitnya kenyataan yang mereka terima. “Pahlawan tanpa tanda jasa” bukanlah kalimat pujian, melainkan kalimat untuk menyembunyikan fakta bahwa gaji guru (honorer) tak mencukupi untuk makan.
Seiring berjalannya waktu apakah nasib guru bergerak ke arah yang lebih baik?. Sebagian mungkin iya, lantaran ada program sertifikasi guru. Namun, sebagian lagi justru menelan kenyataan yang lebih pahit. Beberapa guru usianya sudah tak muda lagi dan mereka dipaksa untuk mengikuti roda perkembangan zaman yang sangat cepat. Belum lagi administrasi yang bertumpuk-tumpuk, membuat para guru hampir tidak punya waktu untuk mengembangkan kompetensi maupun untuk sekadar bercengkerama dengan keluarga di rumah. Hah! Tampaknya semua problematika ini tak akan tuntas dalam waktu singkat (atau memang malah tidak akan tuntas sama sekali).
Belum usai dengan gaji yang tak manusiawi dan setumpuk administrasi, kini muncul fenomena yang tengah menjadi “tren”, yakni kriminalisasi guru. Mari kita sedikit melakukan flash back!. Pada 2016, Pak Sambudi yang seorang guru di SMP Raden Rahmat (Balongbendo, Sidoarjo), diperkarakan oleh salah satu wali murid. Peyebabnya ialah Pak Sambudi mencubit salah seorang murid lantaran ia tak mau melaksanakan kegiatan salat berjamaah. Bentar, bentar! Ini apa-apaan?.
Kalau anak Anda nonmuslim, berarti tindakan si guru memang salah. Namun, bila dilihat dari nama sekolahnya, “Raden Rahmat”, yang merupakan nama asli dari Sunan Ampel, sepertinya kecil kemungkinan kalau si murid adalah nonmuslim. Lagi pula, sangat tidak logis kalau ada seorang guru yang menyuruh muridnya yang nonmuslim untuk salat berjamaah. Jadi, ya.....sepertinya si wali murid yang memperkarakan Pak Sambudi ini memang tidak mendapat kewajiban salat. Karena apa? Ya, benar! Tidak berakal sehat.
Kasus kriminalisasi guru yang masih hangat adalah kasus Bu Supriyani. Wali murid yang memperkarakan adalah seorang anggota polisi. Nah, ini! Ini!. Sudah tahu kalau institusinya masyhur berbau busuk di masyarakat, bukannya berbenah, malah kian memperparah. Saya pun di sini akhirnya tidak bisa untuk tidak suuzan. Jangan-jangan, tindakan (oknum) polisi dalam perkara ini disebabkan oleh ketidakhalalan harta yang ia nikmati bersama keluarganya. Pasalnya, banyak contoh yang membuktikan pola realitas tersebut. Butuh bukti? Coba tengok Mario Dandy!. Tindakannya yang setara iblis kapan hari pada akhirnya membuka tabir kasus korupsi ayahnya, Rafael Alun.
Melihat 2 contoh kriminalisasi guru termaktub, rasanya tidak berlebihan bila saya mengatakan bahwa guru bukanlah pahlawan tanpa tanda jasa, melainkan individu/kelompok yang bisa dieksploitasi seenaknya oleh mereka yang punya kuasa. Sebagaimana telah kita tahu, hukum di negeri ini selalu tidak pernah adil bagi kelas ekonomi menengah ke bawah. Kebanyakan guru di negeri yang wonderful ini, jangankan “membeli” keadilan, untuk makan besok saja mereka harus berpikir keras. Saya masih tak habis pikir dengan pihak-pihak yang memperkarakan guru karena alasan yang sangat sepele. Kalau tindakan dari si guru tersebut berpotensi menghilangkan nyawa seorang murid, itu pantas diperkarakan. Lha ini?. Dicubit, bro! Dicubit!. Ckckckck. Haduh, haduh!.
Sebagai orang yang bukan dari Fakultas Hukum, saya kerap bertanya-tanya. “Kok bisa, kejadian biasa semacam itu, bisa masuk ke meja pengadilan!?. Maksud saya begini, guru sebagai pendidik dalam ranah sekolah memiliki wewenang untuk mengawasi dan mengontrol perilaku murid saat di sekolah. Kita semua jelas sudah mafhum akan hal ini. Dengan kata lain, murid yang dicubit oleh gurunya karena tidak berperilaku yang semestinya adalah hal yang wajar. Tapi kok bisa hal ini masuk ke persidangan!?. Benar-benar sulit diterima akal sehat.
Jika dikatakan bahwa mengusut sebuah perkara bukan hal yang mudah, oke! saya setuju. Tapi coba matanya dibuka, bro!. Apakah mengusut kasus murid dicubit oleh guru itu serumit menelusuri kasus pembunuhan berencananya Ferdy Sambo?. Tampaknya memang benar kata kiai saya, “Sekarang itu yang berlaku bukan masalah ini ada di pasal berapa?, tapi pasal ini harganya berapa?”. Mau miris, tapi ini negeri yang wonderful. Yah.....intinya, kalau kamu atau orang tuamu bukan orang yang “sejahtera”, bukan pejabat, dan tidak punya kenalan pejabat; jangan bertingkah macam-macam daripada fakta yang kamu ketahui dan pertahankan justru dibalik di pengadilan.
Cukup banyaknya kasus kriminalisasi guru beberapa tahun terakhir, sepertinya tahun-tahun berikutnya pun masih akan sama. Lantas, apakah kita perlu regulasi baru tentang bagaimana semestinya guru mendidik di lingkungan sekolah?. Naif sekali! Lha wong kebanyakan guru saja masih tak mencapai kata “sejahtera”, ditambah urusan administrasi yang ruwet lagi menggunung, kok mau diatur-atur bagaimana cara mendidik di sekolah. Bisa-bisa overheat kepala mereka.
Saya rasa, kita semua harus berbenah di sini. Pertama, guru—mau-tidak mau; suka-tidak suka—memang harus lebih berhati-hati atas tindakan mereka terhadap murid. Kedua, wali murid yang menyekolahkan anaknya harus sadar betul tentang proses pendidikan di sekolah yang tentu saja tidak terdiri dari transfer pengetahuan belaka. Ketiga, kita (masyarakat awam) harus mengawal penuh bila terjadi lagi kasus kriminalisasi guru supaya tidak muncul sikap apatis dari para guru terhadap perilaku muridnya, sehingga karakter generasi berikutnya masih bisa berada di jalur yang semestinya dan tidak sampai membuat kita misuh-misuh.
0 Comments