![]() |
Unsplash.com/Alice Donovan Rouse |
Apa yang sering dituntut manusia hari ini adalah “hak”. Apakah ini salah? Tentu saja, tidak. Meminta hak adalah sesuatu yang wajar, bahkan wajib. Nah, di zaman konten ini, hak yang paling kentara adalah hak untuk membuat konten/karya. Tiap orang bebas mau memproduksi konten apa dan bebas mendistribusikannya ke mana saja. Mau ke X yang katanya isinya orang cerdas, ke Instagram yang didominasi gen Z, ke Facebook yang menjadi lapak boomers, atau keTikTok yang disebut sebagai kandang monyet; kita bebas menaruh karya dalam berbagai wujud. Sebab hal inilah muncul banyak creator content dan jumlahnya terus meningkat hingga sekarang.
Namun, yang jadi problematika sekarang ialah jumlah konten yang disuguhkan terlampau banyak. Saking banyaknya, kita sering luput memisahkan mana yang kredibel dan mana yang hoax. Belum lagi dengan adanya AI, yang mampu memanipulasi sesuatu yang salah menjadi tampak benar. Apakah berhenti di situ saja? Tidak!. Kemelut ini kian tak terkontrol dengan hadirnya orang-orang yang haus atensi, orang-orang yang ingin terkenal secara cepat, orang-orang yang ingin menjadi pusat perhatian para netizen. Apakah mereka menempuh “jalan yang benar”?. Tentu saja tidak, bro!. Hal-hal baik sering kali di-skip oleh para netizen. Oleh sebab itu, drama hiperbola adalah solusinya.
Baru-baru ini kita melihat oknum pegawai PT. Timah yang merendahkan para pemakai BPJS, di mana hal tersebut akhirnya berujung pemecatan. Pasca-disumpahi netizen, apakah dia menyadari perbuatan tak manusiawinya?. Tidak sama sekali!. Dia justru kian tak terkontrol. Melihat mata netizen mulai tertuju pada dirinya, ia pun memanfaatkannya sebagai “medan pertunjukan”. Tujuannya? Tentu supaya ia mendapat perhatian lebih besar dari netizen. Tak peduli sekeras apa kita misuh-misuh, dia hanya akan peduli pada “popularitas”. Akunnya banyak yang mengunjungi, jangkauan kontennya lebih luas, lalu tawaran endorse pun akan berdatangan (yah.....minimal situs judi online).
Netizen kita memiliki solidaritas yang sangat kuat, apalagi jika itu berkaitan dengan kemiskinan. Alasannya ialah wakil rakyat kita hingga sekarang tak bisa mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Justru yang mereka lakukan semakin menenggelamkan rakyat dalam kemiskinan. Ini membuat kita memiliki rasa yang sama, “Sama-sama korban dari ketidakbecusan pemerintah”. Oleh karena itu, saat ada rakyat miskin yang diinjak-injak (di mana rakyat miskin tersebut tidak berbuat apa-apa), netizen akan bergerak cepat membela. Bahkan, kalau perlu, memberedeli identitas dan borok pelaku beserta keluarganya.
Kendati demikian, ada kalanya kita perlu untuk tidak memberi panggung pada orang-orang yang haus popularitas. Biarkan saja mereka bertindak seenaknya, nanti mereka juga capek sendiri dan akan sadar bahwa tindakan bodoh mereka adalah hal yang sia-sia. Namun, di sisi lain kita tetap harus memberi dukungan dan simpati pada orang-orang miskin yang diinjak-injak demi terkenalnya orang-orang bodoh itu. Kita mungkin bisa melakukan hal tersebut, tapi sayangnya TV tidak demikian. Sebagaimana telah kita saksikan, TV justru membuat orang-orang yang menjadi protagonis drama hiperbola kian dikagumi oleh ibu-ibu rumah tangga.
Kepada orang-orang yang ingin terkenal, ayolah! Stop drama-drama tak berguna itu!. Kalian sudah dibekali otak untuk berpikir, gunakan itu!. Menjadi terkenal memang menggiurkan dan mengasyikkan. Banyak orang akan mendengar (dan sepakat) dengan apa yang keluar dari mulut kalian. Tapi.....bisa nggak sih jalan yang kalian tempuh untuk ke sana itu yang wajar-wajar saja!?. Sejujurnya, saya sudah sangat-sangat muak dengan banyaknya drama tak berguna. Saya pribadi mungkin bisa tak menghiraukan semua itu, tapi orang-orang di sekitar belum tentu bisa juga. Dan, itu sangat menyebalkan.
Saya mafhum, itu hak kalian untuk berbuat sesuatu. Kalian memang tidak merugikan orang secara material layaknya maling dan perampok, tidak juga menyakiti orang secara fisik. Tapi kalian memporak-porandakan tatanan masyarakat yang sedang mencari titik damai. Kegaduhan yang kalian ciptakan membuat fokus masyarakat jadi teralihkan. Faktanya, kalian menjadi salah satu penyebab mengapa kualitas SDM negara ini tak juga meningkat—entah ini kalian akui atau tidak. Ayolah! Negara lain sudah sibuk dengan AI, kalian masih saja memilih menjadi manusia tak berguna.
Lalu, kepada para netizen yang budiman, mari bersama-sama meningkatkan kualitas SDM kita untuk menuju Indonesia Emas 2045. Sampai kapan beranda kita mau dipenuhi oleh drama, drama, drama, drama, dan drama?. Mereka yang membuat drama itu bertujuan untuk menjadikan diri mereka sendiri terkenal. Kalau mereka terkenal, ya.....yang dapat untung juga mereka. Kita? Dapat capek karena menghujat saja. Ayolah! Kita selalu dikatakan tingkat IQ-nya setara gorila. Sampai kapan kita akan terkurung dalam fakta itu?. Sudah saatnya kita membuka mata bahwa kita telah jauh tertinggal.
Drama hiperbola tentu tak hanya terjadi di semesta maya, di kehidupan nyata pun pasti ada juga. Coba perhatikan di sekitar kalian, pasti ada 1 orang yang ingin menjadi pusat perhatian. Seolah-olah dia mengklaim bahwa dialah yang paling penting di tata surya ini. Bagi saya pribadi, orang semacam itu sangat menjengkelkan. Kalau di media sosial, kita bisa nge-skip apa yang dipertontonkan orang-orang ini, tapi ini tentu tak berlaku di dunia nyata. Lalu, bagaimana cara kita menyikapinya?. Biarkan saja dia “manggung” sampai ia sadar bahwa keberadaannya sebenarnya tak sepenting itu.
0 Comments