![]() |
Dok. Pribadi |
Judul : Dalil-dalil Agama Gus Dur
Penulis : Nur Khalik Ridwan
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : I, Agustus 2021
Tebal : 378 Halaman
ISBN : 978-623-6166-60-4
Peresensi : Mohammad Azharudin
Buku ini semacam kodifikasi dari pernyataan-pernyataan Gus Dur yang mengandung dalil agama (bisa berupa ayat al-Qur’an, hadis, atau hikmah) yang kemudian dipaparkan secara lebih luas oleh si penulis. Melalui “Pengantar”, Nur Khalik Ridwan (si penulis) menuturkan bahwa kadang kala Gus Dur tidak menyebut sumber saat ia mengutip hadis dan hikmah. Kendati demikian, apa yang dikutip Gus Dur tersebut sering kali mempunyai relasi yang penting dengan pergulatan umat Islam Indonesia. Buku ini sayangnya tidak menyertakan lafaz arab dari dalil/kaidah yang sedang dibahas. Hal ini membuat orang awam (seperti saya) kesulitan menebak apakah ini huruf ض, ظ, atau ذ; dan semacamnya.
Dalam tulisan ini, saya akan berupaya untuk menyertakan lafaz arab dari dalil/kaidah yang diulas. Harapannya hal ini dapat membantu orang-orang yang ingin mengetahui makna tekstualnya. Baik, mari kita mulai!
1. Negara Islam
Gus Dur menguraikan bahwa konsep negara Islam selalu didasarkan pada ayat berikut.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang (sempat) kamu sembelih. (Diharamkan pula) apa yang disembelih untuk berhala. (Demikian pula) mengundi nasib dengan anak panah, (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Oleh sebab itu, janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Maidah/5: 3)
Apabila benar ayat di atas bicara soal pembentukan negara Islam sebagai “perintah agama”, maka bukankah pengingkaran atas perintah itu harus diganjar hukuman?. Gus Dur tentu sepakat bahwa Islam itu sempurna, sebagaimana dikatakan ayat di atas. Namun, Gus Dur tidak pernah menganggap rendah agama lain. Ada 3 hal penting yang bisa diperas dari ayat di atas menurut Gus Dur.
Pertama, ayat di atas menerangkan bahwa Allah swt telah menurunkan prinsip-prinsip yang tetap (contoh: bangkai itu haram), di sisi lain fiqh terus mengalami perkembangan dalam konteks masalah-masalah cabang. Konklusinya di sini adalah perbedaan itu sah dalam perkara cabang, tetapi tidak pada perkara pokok. Kedua, ayat termaktub tidak menyebut secara lugas lembaga tertentu menjadi penjamin kelebihan (atau kesempurnaan) Islam terhadap agama lain. Menurut Gus Dur, kesempurnaan Islam itu salah satunya dapat dilihat dari ajaran hidup pluralistik. Kesadaran atas pluralitas inilah yang sebenarnya harus dipelihara, bukan sekadar lembaga tertentu seperti negara.
Ketiga, ayat di atas menunjukkan bahwa Islam itu menyediakan prinsip-prinsip untuk merespons berbagai persoalan yang ada. Prinsip-prinsip itu terkandung dalam ayat al-Qur’an, hadis, tradisi sahabat, dan ijtihad para ulama. Islam yang hanya menyuguhkan prinsip dan tidak mengulas detail dari seluruh persoalan ini justru menunjukkan kesempurnaannya. Alasannya adalah Islam menyediakan ruang kreativitas bagi umatnya (khususnya para intelektual) melalui aktivitas ijitihad (hal. 30).
2. Rahmat bagi Seluruh Alam
Tentu kita semua sudah tahu bahwa kutipan masyhur termaktub berakar dari ayat di bawah ini.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al-Anbiya’/21: 107)
Dalam kitab al-Nukat wa al-‘Uyun Tafsir al-Mawardi (النُّكَت وَالْعُيوْن تفْسِيْر الْمَاوَرْدِي) diterangkan bahwa kata رَحْمَة mempunyai 2 makna yakni “hidayah untuk taat kepada Allah swt dan memperoleh pahala darinya” dan “apa-apa yang diangkat dari penimpaan azab Allah swt secara langsung saat masih di dunia”. Salah satu ayat yang berkaitan dengan rahmat diutusnya Nabi Muhammad saw adalah.
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
...Katakanlah (Nabi Muhammad): ”al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman”... (QS. Fushshilat/41: 44)
Adapun rahmat di dunia dari diutusnya Nabi Muhammad saw dapat dilihat dari 3 hal, yakni.
· Kaum dari nabi-nabi terdahulu (sebelum Nabi Muhammad saw) apabila melakukan pengingkaran, Allah swt memberi azab kepada mereka secara langsung. Hal ini tidak terjadi pada umat Nabi Muhammad saw.
· Nabi Muhammad saw adalah pribadi yang paling bagus akhlaknya kepada semua manusia.
· Nabi Muhammad saw diizinkan mengangkat senjata apabila diserang terlebih dahulu oleh orang-orang yang sombong dan enggan berpikir.
Berdasarkan ini, rahmat diutusnya Nabi Muhammad saw bermakna:
a. Nabi Muhammad saw menjadi cerminan dari sebaik-baiknya akhlak bagi seluruh makhluk. Beliau saw diberi izin untuk melawan orang-orang zalim, tapi di sisi lain juga diperintahkan untuk membangun perdamaian.
b. Nabi Muhammad saw menjadi petunjuk bagi mereka yang sedang mencari kebenaran dan menjadi obat bagi banyak hati yang sakit.
c. Allah swt mengutus Nabi Muhammad saw kepada kita (umatnya) dengan menyesuaikan kondisi lisan dan kadar intelektualitas kita (hal. 51).
3. Prinsip Generasi Muda
Dalam perkara ini, Gus Dur menukil penggalan syair berikut.
لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يقُوْلُ هَذَا أَبِيْ * لَكِنَّ الْفَتَى مَنْ يقُوْلُ هَا أَنَا ذَا
Seorang pemuda bukanlah yang berkata: “Ini adalah ayahku”
Tetapi pemuda adalah yang mengatakan: “Inilah aku”
Kata الْفَتَى dalam buku ini diartikan sebagai orang yang memiliki sifat futuwwah (فُتُوَّة). Adapun makna futuwwah (فُتُوَّة) sendiri ada banyak, di antaranya.
· Ibn Ma’mar al-Hanbali al-Baghdadi dalam Kitab al-Futuwwah (كِتَاب الْفُتُوَّة) mengartikannya sebagai orang yang beretika, yang mana ciri-cirinya menurut Rasulullah saw ada 10 yaitu kejujuran, menepati janji, dapat dipercaya, meninggalkan kebohongan, bersedakah pada anak yatim, membantu kaum miskin, menyedekahkan penghasilan, berbuat baik, ramah, dan bersahaja.
· Menurut Imam Junaid, futuwwah (فُتُوَّة) adalah kemampuan seseorang dalam menekan penderitaan.
· Abu Ali al-Daqqaq berpendapat bahwa futuwwah (فُتُوَّة) adalah sifat yang dimiliki Nabi Muhammad saw, di mana pada hari kiamat hampir semua orang mengkhawatirkan dirinya sendiri, sementara Nabi Muhammad saw justru senantiasa menyebut, “Umatku!... Umatku!...”
· Fudhail ibn Iyadh menjelaskan bahwa futuwwah (فُتُوَّة) adalah sikap bersedia memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain.
· Menurut Abu Bakr al-Warraq, futuwwah (فُتُوَّة) ialah sikap enggan menganggap orang lain sebagai musuh.
· Ada pendapat yang menyebut bahwa futuwwah (فُتُوَّة) ialah kemampuan bersikap adil. Ada juga yang mengatakan bahwa futuwwah (فُتُوَّة) adalah sikap individu yang tidak membedakan orang yang sedang bersamanya, entah itu orang kafir maupun seorang wali.
Syair yang dikutip Gus Dur di atas sebenarnya merupakan kritik terhadap orang-orang yang selalu mengagungkan nasabnya saat berinteraksi dengan sesama. Mereka selalu menceritakan ayah dan semua keluarganya sebagai orang terhormat. Orang-orang semacam itu bukanlah kaum yang memiliki kejantanan (hal. 254). Justru, orang-orang yang disebut jantan/kesatria adalah mereka yang mendorong dirinya sendiri dalam sifat futuwwah (فُتُوَّة).
0 Comments