Ticker

6/recent/ticker-posts

Indonesia Terlalu Suram untuk Disebut Wakanda, Ada 2 Kota Fiksi yang Lebih Representatif Untuknya

 

Unsplash.com/Pawel Janiak

“Kau yang gelap, bukan Indonesia!”. Sebuah pernyataan memukau dari seorang bapak-bapak serba bisa penguasa langit dan bumi nusantara. Saat masyarakat tengah menurun daya belinya, PHK di mana-mana, bagaimana bisa pemangku kepentingan beratraksi memainkan psikologis kita seenaknya!?. Begitulah kondisi di Wakanda. Tapi tunggu! Selama ini kita selalu menyebut negara tercinta kita sebagai Wakanda. Menurut hemat saya, hal tersebut kurang tepat. Indonesia itu sama sekali berbeda dengan Wakanda. Indonesia (hari ini) justru adalah antitesis dari Wakanda.

Dalam MCU, Wakanda digambarkan sebagai sebuah daerah utopia. Rakyat hidup berdampingan, sumber daya melimpah, tidak ada premanisme, kepala suku mengayomi, militer melindungi sipil, dan di mana-mana penuh dengan teknologi futuristik. Intinya, Wakanda adalah tempat yang sangat sempurna untuk pensiun. Melihat gambaran termaktub, kita sadar bahwa Indonesia hari ini berbanding terbalik dengan Wakanda. Preman dipelihara dan diberi seragam, pejabat-pejabatnya korup, sumber daya dikeruk untuk menyuapi nafsu tamak oligark, polisi malas menangkap maling dan begal, dan tentu saja yang paling menggelikan adalah E-KTP yang masih harus di-fotocopy. Jika kita mencari persamaan Indonesia dengan kota fiksi, saya kira ada 2 tempat yang lebih representatif ketimbang Wakanda.

1.     Gotham City

Bagi yang sudah nonton The Batman garapan Matt Reeves pasti sadar bahwa di film tersebut kota Gotham divisualisasikan sebagai kota yang murung. Hujan tak berhenti mengguyur, hanya ada sedikit cahaya, harapan seolah hanya mitos bagi warganya, dan ia terkesan selalu diselimuti rasa takut. Kota Gotham penuh dengan kriminal dan mereka tidak bergerak secara individu, tapi berkelompok. Ini persis dengan apa yang ada di negara kita. Para begal bebas berkeliaran secara berjamaah. Mereka bahkan melakukan aksinya di siang hari, di tempat yang ramai. Artinya apa? Para begal tersebut begitu yakin bahwa polisi setempat tidak akan mengejar mereka.

Kalau kita menyelami kota Gotham lebih jauh di serial The Penguin, kita akan kian yakin bahwa memang ada wajah Indonesia di sana. Dalam serial The Penguin, diperlihatkan bahwa narkoba bebas diedarkan. Siapa yang mampu menjadi bandar terbesar, dialah yang akan menjadi penguasa. Apakah polisi bertindak atas bisnis gelap tersebut? Oh, jangan harap! Uang lebih lantang bersuara di hadapan mereka. Para warga Gotham pun banyak yang menjadi pecandu narkoba. Ini disebabkan karena Gotham mengalami depresi akbar setelah banjir yang diakibatkan oleh The Riddler. Warga Gotham terpuruk dalam rasa putus asa dan memilih larut dalam kesenangan semu lewat narkoba.

 

2.     New York City Pimpinan Kingpin

Saya belum lama ini baru tuntas nonton series Daredevil: Born Again. Ceritanya begitu membumi dan sama sekali tak menyinggung level multiverse. Selama mengikuti series tersebut, emosi saya naik-turun. Saya juga merasa bahwa apa yang terjadi dalam series tersebut “sangat Indonesia”. Dimulai dari penegakan hukum yang bisa berbelok ke mana saja. Andai Matt Murdock tidak taktis sebagai pengacara, mungkin Hector Ayala akan tetap dipenjara karena mendapat fitnah telah membunuh seorang polisi. Yah.....meski pada akhirnya nasib Hector Ayala tetap berakhir tragis, setidaknya ia tidak menjadi korban dari penegakan hukum yang membela sang penguasa

Berikutnya, polisi yang main hakim sendiri. Dalam series ini, diperlihatkan banyak polisi yang memfungsikan seragamnya sebagai perisai untuk melegalisasi tindak kriminal yang mereka lakukan. Memukuli warga tak bersalah, berniat membungkam saksi kunci di kasus Hector Ayala, menjarah bank tanpa rasa takut, memersekusi warga yang baru berbelanja, menembak seseorang lalu menarasikannya sebagai pelaku vigilante. Menariknya, tidak ada satu pun dari mereka yang dipecat. Malahan yang terjadi adalah Kingpin mengumpulkan polisi-polisi bajingan dan membentuk Anti-Vigilante Task Force. Meski ditentang oleh Komisaris Gallo, Kingpin tak sedikit pun mendengarkannya.

Lalu, Kingpin sebagai penguasa kota bisa seenaknya membuat narasi. Sebagai penguasa wilayah, Kingpin tak sekadar punya kuasa membentuk kebijakan, ia juga punya kuasa membentuk citra dirinya di hadapan publik. Kingpin tak segan membungkam para jurnalis dan memaksa mereka membuat berita sesuai yang ia inginkan. Bagi masyarakat awam, ini adalah perkara yang tampak sepele. Tanpa mereka sadari, medialah yang membentuk persepsi publik. Media memang punya power sebesar itu, apalagi ranahnya sosial-politik. Tak heran bila beberapa elit politik negara kita juga merupakan seorang pemilik media seperti Surya Paloh dengan Metro TV dan Hary Tanoesoedibjo dengan MNC Group.

Terakhir, nepotisme Kingpin. Tanpa segan Kingpin merekrut orang-orang dekatnya ke dalam lingkaran pemerintahannya. Buck Cashman diceritakan punya masa lalu kelam, tapi ia dijadikan tangan kanan Wali Kota oleh Kingpin. Praktik semacam ini begitu lekat di negara kita. Perekrutan tangan kanan pejabat bukan didasarkan pada kompetensi, melainkan koncoisme dan politik balas budi. Negara dipandang bak kue ulang tahun yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mendapat undangan. Apakah kita terima-terima saja atas ironi yang se-jancok ini?. Sampai kapan kita mau dibodohi oleh para buzzer rezim yang kelakuannya nggilani itu?.

Melihat fakta-fakta Gotham dan New York di atas, kita harus senantiasa membuka mata atas kenyataan yang ada di Indonesia. Melihat kondisi negara yang makin hari makin tak menentu, rasanya prioritas kita ke depan akan berubah dari yang mulanya "hidup sejahtera" menjadi "bertahan hidup". Kita tidak punya Batman yang resah dengan kriminalitas di Gotham, kita juga tak punya Daredevil yang muak atas penegakan hukum di New York yang pincang. Kita hanya punya satu sama lain, tak lebih. Oleh sebab itu, mari kita terus saling menjaga selama pejabat dan aparat tak bekerja sebagaimana mestinya.

Post a Comment

0 Comments