Ticker

6/recent/ticker-posts

Subjektivitas Manusia Soal Berlebih-lebihan

Pexels.com

Tidak ada ciptaan yang paling sempurna, tetapi manusia adalah ciptaan yang paling sempurna. Alasannya jelas, manusia memiliki sesuatu yang tak dimiliki oleh ciptaan yang lain. Sesuatu tersebut disebut akal. Akal inilah yang menjadi wadah dari ilmu yang di dapat dari mana saja dan kapan saja. Dengan akal manusia akan memiliki kontrol diri terhadap dirinya sendiri sehingga ia tahu mana yang harus dilakukan dan mana yang tak boleh dilakukan. Mayoritas orang sepakat bahwa tanpa akal kehidupan manusia akan menjadi bak kehidupan hewan (yang tak mengenal etika).

Dengan demikian, akal tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Penggunaan akal yang baik tentunya akan memberi manfaat kepada penggunanya, juga kepada lingkungan sekitarnya. Sayangnya, beberapa orang tak menggunakan akal dengan semestinya. Mereka justru menggunakan akal untuk kepentingan ego mereka sendiri. Mereka menggunakan akal guna meng-‘akal’-i manusia lain. Semua itu dilakukan demi dirinya sendiri. Huh! Begitulah manusia, tak pernah mengenal kata puas. Lucunya lagi, manusia bukan hanya meng-‘akal’-i manusia lain, tapi juga meng-‘akal’-i kehidupan. Buktinya bisa dilihat dari subjektivitas manusia terhadap konsep berlebih-lebihan. Berikut penjelasannya.

1.      Apa yang Dilakukan

Allah swt memerintahkan.

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ...

“...Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan! Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-A’araf/7: 31)

Secara tekstual, ayat tersebut hanya melarang kita untuk tidak berlebih-lebihan dalam hal makan dan minum. Namun, sebenarnya makna yang dimaksud lebih luas daripada itu. Ayat di atas―secara esensial―sebenarnya melarang kita untuk berperilaku konsumtif dalam hal apa saja, bukan hanya pasal makan dan minum. Tetapi bagaimana dalam prkatiknya?

Faktanya, kita justru kerap kali berperilaku konsumtif. Awalnya kita berujar, “Halah, cuma sekali!”, tapi kata ‘sekali’ itu kemudian diulang terus-menerus. Hingga kemudian hal tersebut sampai pada taraf konsumtif yang tinggi. Bukan hanya itu, ketika ada flash sale, kita seolah menjelma menjadi peserta kompetisi guna mendapatkan semua yang kita inginkan dan berharap tidak didahului oleh orang lain. Disadari atau tidak, nyatanya kita ‘menyukai’ perbuatan berlebih-lebihan tersebut. Memang banyak yang lantas menyesali perbuatannya termaktub, tapi tak sedikit pula yang tetap mengulanginya. Penyebabnya apa?. Ya, karena kita suka.

2.      Apa yang Diberikan

Sekarang kita melihat berlebih-lebihan dari sisi yang lain. Ketika Allah swt menurunkan hujan terus-menerus, apa yang kita lakukan terhadapnya?. Mayoritas orang akan mengeluh, “Huh! Hujan terus, bikin nggak bisa jalan-jalan aja!”, atau dengan redaksi lain―yang tetap mengarah pada keluh kesah. Pun demikian ketika terus-terusan panas tanpa hujan. Respons kita terhadap hal tersebut tetap sama, keluh kesah. Mengapa demikian? Sebab kita ‘tak menyukai’ berlebih-lebihan dalam hal tersebut. Padahal sudah dijelaskan.

فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا...

“...Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS al-Nisā’/4: 19)

 

Yah...begitulah kita. Banyak mengeluh dan kurang bersyukur. Diberi hujan mengeluh, diberi panas juga mengeluh. (Mungkin) kita tidak akan mengeluh apabila kehidupan berjalan sesuai apa yang kita sukai.

Berdasarkan 2 bukti di atas kita bisa melihat subjektivitas kita terhadap berlebih-lebihan dengan lebih jelas. Kita tahu berlebihan itu tak baik (buktinya kita mengeluh ketika diberi hujan yang berlebihan), tapi kita sendiri tetap melakukan perbuatan yang berlebihan (buktinya saat menikmati harta). Dengan demikian konsep berlebih-lebihan menurut kita adalah ia baik jika menguntungkan (memuaskan kita) dan ia buruk apabila merugikan kita―ini dalam pandangan manusia lho ya, bukan pandangan-Nya. 

Seperti itulah manusia. Lantas, apakah kita akan menerima hal ini begitu saja?. Ingat! Kita memiliki kontrol diri yang tidak dimiliki oleh ciptaan lain. Oleh sebab itu, adalah kewajiban bagi kita masing-masing untuk memperbaiki subjektivitas tersebut. Bagaimana caranya? Mengubah kebiasaan mengeluh menjadi kebiasan bersyukur, agar saat kita diberi hujan/panas yang berlebih kita tidak lagi ngatain. “Kok cuma dari satu sisi sarannya?”. Ya, memang itu yang mudah dirubah (dibandingkan sisi satunya). 

Post a Comment

0 Comments