![]() |
Pexels.com |
Warning! Sebelum membaca tulisan ini lebih lanjut, kepada para pembaca khususnya dari kalangan sarjana ekonomi, sedang kuliah di jurusan ekonomi, punya hubungan kerabat dengan ekonom, de es be dimohon untuk melapangkan nuraninya sejenak. Tulisan ini nggak serius, anggap aja ‘selingan’ di tengah penuhnya televisi dengan berita covid-19.
Dalam novel “Negeri Para Bedebah”, tepatnya di Episode 6: Menerobos Imigrasi Bandara, ada 2 paragraf yang menurut saya cukup menarik. Tere Liye menulis:
“Inilah ajaibnya ilmu ekonomi, inflasi adalah fungsi dari ekspektasi (perkiraan, persepsi). Berapa tingkat inflasi tahun depan? 8 persen? 10 persen? Semua hasil dari perkiraan, antisipasi. Berapa inflasi bulan depan? 0,5 persen? 1 persen? Semua keluar dari kalkulasi perkiraan, ekspektasi.
Ajaib, bukan? Kita ternyata selama ini memercayakan nasib perekonomian dunia, nasib periuk nasi banyak orang, kepada orang-orang yang di kelas diajarkan tentang ekspektasi. Bukankah itu tidak beda dengan para penyihir, dukun, juru ramal, atau profesi dunia gaib lain? Sialnya, jika kalian bisa menimpuk tukang ramal yang ramalannya salah (atau malah memilih tidak percaya sama sekali) kalian tidak bisa menimpuk menteri ekonomi atau petinggi bank sentral jika mereka salah mengambil kebijakan. “Ternyata variabelnya lebih banyak dari dugaan kami. Ini bukan salah kami. Siapa pun pengambil keputusannya, pasti keliru memprediksi turbulensi ekonomi yang ada.” Omong Kosong.”
Sengaja saya tuliskan 2 paragraf secara utuh agar pemahaman yang kita dapat bukan sekadar pemahaman parsial.
Bila dipikir-pikir, ternyata apa yang ditulis Tere Liye termaktub ada benarnya juga. Para ahli ekonomi, ketika ditampilkan di media, sering kali pernyataan yang mereka lontarkan itu berbau ‘ekspektasi’. Dengan melihat apa yang terjadi hari ini, pikiran mereka seolah nampak (kemungkinan) apa yang yang akan terjadi di kemudian hari. Jika yang diperkirakan benar, mereka tentu akan merasa bangga. Namun, bila salah...? Ya, seperti yang ditulis Tere Liye di atas.
Lantas, jika kerjaan ekonom sama seperti dukun, lalu mengapa ekonom―bila praduganya salah―tak bisa kita timpuk seperti dukun juga?. Ada beberapa jawaban dari pertanyaan tersebut (tapi ini hanya asumsi saya). Pertama, disiplin keilmuan. Dukun memberi praduga dengan perantara ilmu hitam, sementara ekonom berprasangka dengan variabel yang ada di lingkungan perekonomian. Kedua, legalitas. Ekonom punya ijazah, dukun tidak. “Kalo begitu, ekonom bisa disebuk dukun modern yang berijazah, dong!?”. Ya, nggak gitu juga. Ketiga, proteksi. Ekonom yang bicara di media dengan dukun yang didatangi orang-orang frustasi, bisa diketahui lah siapa aja kenalannya masing-masing.
Begitulah realitanya. Ekonom dan dukun itu sama tapi beda. Sama dalam hal kerjaannya (secara kasat mata). Beda dalam banyak hal, seperti bayaran dan risiko. Tapi, sadar nggak, kalau kerjaan kita sendiri juga sama dengan ahli ekonomi dan dukun, “mengira-ngira”?. “Kuliah di fakultas saintek pasti susah, mending di fakultas lain aja lah. Nilaiku pasti A+. Dia nggak mungkin menang melawanku dalam lomba ini. Tulisanku pasti dimuat milenialis.id. Doi kayaknya nggak suka sama aku”, dan lain-lain.
Ya, faktanya memang demikian. Kita kadang amat khawatir dengan masa depan hingga membuat kita melakukan banyak antisipasi dan akhirnya terbebani olehnya. Tak jarang juga kita merasa terlampau yakin terhadap hasil yang kita dapat nantinya hingga kemudian menjadikan kita orang yang terlalu santai. Bila yang didapat tak sesuai ekspektasi, kita akan sangat kecewa, mengutuk siapa saja bahkan Tuhan. Astaghfirullah!. Lantas, mana sikap yang sebaiknya kita ambil? Keduanya. Ya, keduanya penting asal porsinya seimbang. Melakukan antisipasi itu perlu, tapi jangan lupa sejenak beristirahat untuk menikmati kehidupan. Jadi kesimpulannya, tak perlu menghina dukun maupun ekonom yang kerjaannya cuma mereka-reka!. Sebab, kerjaan kita sendiri juga sama dengan mereka.
0 Comments