Ticker

6/recent/ticker-posts

4 Hal yang Harus Direnungkan Sebelum Memutuskan Bercita-cita Jadi Penulis

Pexels.com

 

Menulis merupakan satu aktivitas dasar manusia. Waktu sekolah kita sering diminta untuk mencatat oleh guru. Saat hendak belanja kita bikin catatan terlebih dahulu supaya nggak ada barang yang kelewat nggak kebeli. Dua contoh tersebut menjadi pertanda bahwa menulis telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Banyak dari kita mungkin udah belajar menulis sejak dini dengan cara corat-coret tembok rumah, hanya saja waktu itu kita belum menyadari bahwa kita sedang belajar menulis (atau melukis). Sayangnya, beberapa orang tua kadang justru memarahi anaknya yang sedang asyik belajar tersebut. Padahal harusnya orang tua yang introspeksi diri, kenapa tembok rumah nggak dicat dengan Nippon Paint!?.

Saya baru tahu bahwa menulis bisa menghasilkan uang itu selepas lulus dari Madrasah Aliyah. Saya pun mulai tertarik dengan dunia tulis-menulis, dan tanpa saya sangka ternyata ada banyak orang yang juga memiliki ketertarikan di semesta literasi ini. Selepas melakukan beberapa penelusuran, saya tersadar bahwa ternyata kegiatan menulis bisa dijadikan sebagai pekerjaan. Akhirnya saya pun berpikir, daripada saya nulis di status WA yang tentu saja nggak akan dibayar, gimana kalo saya nulis untuk dikirim ke media digital?. Ya siap tahu nanti ada yang berkenan bayar tulisan saya. Berbekal pemikiran yang sok percaya diri tersebut, saya pun mulai berenang di lautan literasi.

Mengingat aktivitas menulis ternyata bisa memberi feedback berupa uang, maka ia dapat diklasifikasikan sebagai sebuah pekerjaan. Dan, tak menutup kemungkinan profesi penulis menjadi cita-cita bagi beberapa orang. Apalagi hal ini juga telah dibuktikan oleh orang-orang yang karya tulisnya digandrungi publik. Andrea Hirata, Asma Nadia, Fiersa Besari, dan nama yang tak lagi asing bagi pembaca novel, Tere Liye, adalah contoh nama-nama yang sukses membuktikan diri di semesta literasi Indonesia. Tapi.....itu hanya sisi luarnya yang terlihat, ada banyak sisi lain para penulis yang jarang diperhatikan orang. Oleh sebab itu, setidaknya adaa 4 hal yang harus direnungkan sebelum kalian memutuskan bercita-cita jadi penulis. Berikut penjabarannya.

1.      Proses yang Panjang dan Nggak Mudah

“Halah, Cuma nulis gitu aja! Anak SD juga bisa”. Wo... wo... wo... orang-orang yang berucap kayak gini nih yang halal untuk dijadikan tumbal proyek. Dia belum tahu gimana rumitnya bikin satu kalimat supaya apa yang kita maksud bisa dan mudah dipahami oleh pembaca. Hal tersebut nyatanya butuh proses yang nggak sebentar. Jika kalian ingin jadi seorang penulis, syarat utamanya adalah kalian harus banyak-banyak membaca. Tanpa membaca, sulit rasanya untuk jadi seorang penulis. Ustaz saya pernah memberikan analogi yang unik terkait hal ini. Beliau mengungkapkan bahwa ketika kita banyak membaca itu sama artinya dengan kita banyak makan. Apabila perut kita sudah penuh, kita akan mengalami proses BAB. Nah, menulis itu ibarat proses BAB-nya otak.

Saat saya renungkan ternyata analogi tersebut memang benar. Kendati demikian, bukan berarti dengan banyak membaca kita bisa bim salabim abracadabra langsung jadi penulis hebat. Tidak segampang itu, brader!. Bagaimana pun, kita tetap akan melewati fase di mana kita sudah merasa mentok ketika nulis baru dapet seratus kata. Tapi jika kita konsisten, perlahan kemampuan tersebut akan meningkat dengan sendirinya, bahkan tanpa kita sadari. Selain itu, kita juga akan mengalami masa kehabisan ide, bertanya-tanya apalagi yang bisa ditulis. Hingga suatu saat kita akan sampai di masa di mana kita sadar ternyata ada banyak hal yang bisa ditulis. Namun, tetap harus ditekankan! Semua itu butuh waktu yang nggak sebentar dan nggak mudah.

 

2.      Nggak Bisa Dibanggakan di Depan Calon Mertua

Jika kalian berpikiran bahwa profesi penulis adalah profesi yang keren, kalian salah besar. Profesi penulis sama sekali bukan profesi yang keren, apalagi jika kalian sedang berhadapan dengan calon mertua. Bayangkan! Calon mertua kalian tanya apa pekerjaan kalian, dan kalian menjawab dengan lugas bahwa kalian adalah seorang penulis. Mungkin calon mertua akan merespons dengan mengernyitkan dahi sambil bertanya-tanya dalam hati, “Pekerjaan macam apa itu? Emangnya dengan nulis bisa dapet uang?”. Atau kalo nggak gitu, yang terlintas di pikiran calon mertua adalah pekerjaan sebagai seorang wartawan. Secara zhariyyah, apa yang dikerjakan penulis dan wartawan memang tampak sama. Tapi secara bathiniyyah, berbeda. Wartawan itu meliput suatu kejadian untuk kemudian disajikan dalam bentuk berita, sementara penulis mencurahkan buah pikir dan perasannya.

Kendati demikian, tetap saja profesi penulis nggak bisa dibanggakan di depan calon mertua. Bila memang kalian ingin menjadi seorang penulis, saya sarankan kalian juga jadi ASN/TNI-Polri. Tentu saja alasannya sudah jelas, pekerjaan-pekerjaan tersebut yang nyata-nyata bisa kita katakan dengan percaya diri di depan calon mertua―di samping juga merupakan standar ‘idamanmu’. Walau belakangan banyak polisi bermasalah yang akhirnya diketahui publik ramai-ramai, tetap saja hal tersebut tidak membuat profesi penulis jadi lebih keren dibanding polisi di depan calon mertua. Tetap ingat dawuh Patrick Star, brader!. “Hidup itu tidak adil. Jadi, biasakanlah!”.

 

3.      Honor yang Nggak Seberapa

Waduh, ini kalo ngomongin honor agak sensitif rasanya!. Barangkali bisa saya mulai dari pembahasan sejarah terlebih dahulu. Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, seorang penulis dihargai sangat mahal. Bila ada orang yang berhasil menciptakan karya tulis (dalam bentuk kitab), ia akan diberi dinar (emas) seberat karya tulis miliknya tersebut. Tampaknya saat itu pihak kerajaan menyadari seberat apa upaya yang dikerahkan penulis. Mereka juga tak menyangkal peran penting karya tulis dalam membangun peradaban. Oleh sebab itulah mereka nggak ragu mengganti sebuah karya tulis dengan emas―yang tentu saja tidak akan mengalami penurunan nilai.

Kalau masa sekarang gimana?. Sebenarnya ada beberapa media yang memberikan honor cukup besar untuk satu buah artikel. Namun, nggak sembarang penulis bisa menikmati hal tersebut. Jika kita terbilang baru satu tahun menekuni dunia kepenulisan, jangan dulu berharap bisa dapat honor yang sama dengan orang yang udah nulis bertahun-tahun. Sekali lagi harus dicatat bahwa kita mesti mulai dari bawah terlebih dahulu. Mau nggak mau kita harus rela dibayar Rp5.000,00 untuk satu artikel (bahkan kadang nggak ada honornya) sebelum nanti kita menginjak fase di mana kita dibayar ratusan ribu untuk satu artikel.

 

4.      Sering Dikira Pengangguran

Harus kuat mental, lahir dan batin!.

Post a Comment

0 Comments