Ticker

6/recent/ticker-posts

Kupas Tuntas Makna “Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” dalam Interpretasi Mbah Fadhol Tuban

 

Dok. Pribadi

Judul              : Memahami Aswaja dari Literatur Ulama Nusantara

Penerjemah    : Drs. Achmad Zaidun, M.Ag

Judul Asli       : Syarh al-Lamma’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli al-Sunnah wa

   al-Jama’ah

Penulis            : Syekh Abul Fadhol Senori

Penerbit          : Imtiyaz (Bekerja Sama dengan Muara Progresif)

Cetakan          : I, Juni 2020

Tebal              : xvi + 162 Halaman

ISBN               : 978-602-5779-43-5

Peresensi        : Mohammad Azharudin

 

Istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah selalu menjadi rebutan bagi kelompok-kelompok yang ada dalam Islam. Ini tak lepas dari salah satu hadis Nabi saw yang redaksinya umum sehingga menjadikannya multiinterpretatif. Hadis yang dimaksud terdapat dalam kitab Sunan Ibn Majah berikut ini.

إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ افْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ، إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ: الْجَمَاعَةُ

“Sesungguhnya Bani Israil pecah menjadi 71 golongan, dan umatku akan pecah menjadi 72 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu, yakni al-Jama’ah.”

 

Dalam buku (kitab) ini, Mbah Fadhol (KH. Abul Fadhol) menuliskan bahwa yang tergolong Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka yang tidak keluar dari koridor ajaran Nabi Muhammad saw dan para sahabat dalam segi aqidah agama, amalan fisik, dan akhlak/tasawuf.

Sebelum menelisik lebih jauh, perlu rasanya kita mengenal lebih dalam sosok Mbah Fadhol terlebih dahulu. Nama lengkap Mbah Fadhol adalah Ahmad Abul Fadhol. Beliau lahir pada 5 Juni 1917 M/5 Syawwal 1335 H di Sedan (Rembang, Jawa Tengah). Ayahnya bernama KH. Abd al-Syakur, sementara nama ibunya adalah Nyai Sumiah binti Ibrahim. Melalui ayahnya tersebut, Mbah Fadhol mengawali pendidikannya. Selepas dirasa cukup, Mbah Fadhol lantas melangkahkan kaki ke Jombang untuk belajar kepada KH. Hasyim Asy’ari.

Pada era berikutnya, Mbah Fadhol menjadi sosok kiai besar yang didatangi oleh banyak murid (santri) dari berbagai daerah. Beberapa murid Mbah Fadhol yang juga kemudian menjadi besar yakni KH. Abdullah Faqih (Langitan), KH. Hasyim Muzadi (Malang), KH. Maimoen Zubair (Sarang), KH. Mahrus Ali (Lirboyo), dan KH. Dimyati Rois (Kendal). Mbah Fadhol merupakan sosok aktivis literasi―khususnya di kalangan pesantren. Beliau tak hanya gigih membaca, melainkan juga gencar menulis. Ini dibuktikan dari banyaknya karya tulis beliau, di antaranya.

1.      Kawakib al-Lamma’ah

2.      Al-Durr al-Farid fi Syarh al-Jauharat al-Tauhid

3.      Ahla al-Musamarah fi Hikayah al-Auliya’ al-Ashrah

4.      Taslih al-Masalik Syarh Alfiyah Ibn Malik

5.      Syarh Kawakib al-Lamma’ah

6.      Kasyfu al-Tabarih fi Shalat al-Tarawih

7.      Kifayat al-Thullab fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah

8.      al-Wardat al-Bahiyyah fi Bayan al-Istilahat al-Fiqhiyyah

9.      al-Durrat al-Saniyyah fi ‘Ilm al-Nahw

10.  Kaifiyyat al-Tullab fi ‘Ilm al-Nahw

Selepas menebar banyak manfaat―baik melalui karya tulis maupun pengajaran lisan dan/atau teladan―Mbah Fadhol tutup usia pada tahun 1991 dan dimakamkan di Senori (Tuban, Jawa Timur).

Kembali ke pembahasan soal Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, Syekh Syamsuddin Muhammad Ramli memaparkan bahwa yang disebut Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah orang-orang yang akidahnya mengikuti mazhab Abu al-Hasan al-Asy’ari atau Abu Manshur al-Maturidi. Mbah Fadhol lalu menuliskan letak beberapa perbedaan antara kelompok Asy’ariyyah dengan Maturidiyyah yang meliputi.

a. Masalah Takwin (misalnya terkait penciptaan, pemberian rezeki, menghidupkan, mematikan). Menurut kelompok Maturidiyyah, sifat-sifat yang berkaitan dengan perbuatan Allah (yang tidak termasuk sifat qudrah), semuanya bermuara kepada satu sifat azali (sebelum penciptaan ruang). Dan, sifat takwin tersebut bukan substansi Pencipta. Sementara itu, Asy’ariyyah berpendapat bahwa sifat takwin merupakan sifat qudrah (kuasa) dari sisi kaitannya secara khusus. Contohnya, penciptaan adalah qudrah dari sisi kaitannya dengan makhluk; pemberian rezeki adalah qudrah dari sisi penyampaian rezeki.

b.      Masalah Istitsna’ (pernyataan iman yang tidak mutlak). Apabila ada orang yang berucap, “Saya seorang mukmin, insyaallah”, kelompok Asy’ariyyah memperbolehkannya, sementara Maturidiyyah melarangnya.

c.   Masalah Iman Orang yang Bertaqlid. Berkaitan dengan ini al-Maturidi menuturkan, “Kelompok kami sepakat bahwa orang-orang awam itu beriman dan mengenal Tuhan mereka. Mereka termasuk penghuni surga sesuai dengan hadis-hadis yang telah menjelaskannya. Juga sudah ada ijma’ bahwa fitrah mereka adalah mengesakan Pencipta. Pencipta itu qadim dan selain Pencipta adalah baru, walaupun mereka tidak mampu mengungkapkannya dengan pernyataan yang berlaku di kalangan mutakallimin”. Adapun menurut al-Asy’ari, orang-orang awam wajib mengetahui sifat-sifat Tuhan, tidak cukup bila hanya ber-taqlid.

 

Kelompok lain yang juga diklasifikasikan dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah para ahli hadis (muhadditsin). Ibn al-Subki menjelaskan bahwa seseorang dapat disebut ahli hadis bila memenuhi syarat-syarat berikut.

1.      Mengetahui sanad.

2.     Mengetahui perkara-perkara samar yang menyebabkan hadis yang terlihat sahih menjadi jelas tidak sahih.

3.      Mengetahui nama-nama rawi.

4.      Mengetahui naik dan menurunnya sanad.

5.      Hafal matan dalam jumlah banyak.

6.     Mendengar hadis dari Kutub al-Sittah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibn Majah), Musnad Ahmad, Sunan al-Baihaqi, dan Mu’jam al-Thabrani dari rawi yang lebih atas (kredibel).

Lebih lanjut, al-Sakhawi memaparkan dalam kitab al-Jauhar wa al-Durar bahwa orang yang sekadar mendengar hadis, tidak dapat disebut sebagai muhaddits.

Kelompok terakhir yang tergolong dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah al-Shufiyyah (ahli sufi). Menurut Mbah Fadhol, para sufi itu mengamalkan kandungan surat al-Bayyinah/98 ayat 5 berikut.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama,...”

 

Mbah Fadhol kemudian menjelaskan bahwa tasawuf tidak keluar dari syariat. Ini didasarkan pada perkataan al-Quthb al-Sya’rani, “Ketahuilah bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang bersinar di hati para wali sebab ikhlas mengamalkan kandungan al-Qur’an dan hadis. Siapa yang mengamalkannya, ia akan mendapat ilmu, pekerti, rahasia, dan hakikat yang tidak bisa ia jelaskan secara verbal. Hal itu sebagaimana terjadi pada ulama syariat yang tidak bisa mendeskripsikan jelasnya hukum-hukum syariat secara verbal saat mereka mengamalkan apa yang mereka ketahui”.

Masih berkaitan dengan tasawuf, al-Sya’rani menjelaskan bahwa seseorang tidak diperkenankan mengaku sebagai imam tarekat, kecuali telah menyelami lautan ilmu syariat dengan segala ketentuan di dalamnya, mengetahui makna tekstual dan kontekstualnya, mengetahui lafaz khusus dan umum, dan mengetahui nasikh-mansukh. Selain itu, imam tarekat juga harus memiliki ilmu yang luas dalam bahasa Arab sampai ia memahami betul tentang majaz, isti’arah, dan lain-lain. Perkataan al-Sya’rani ini menjadi sebuah rambu di mana tidak sembarang orang memiliki otoritas untuk menjadi imam tarekat. Wallahu A’lam.

Post a Comment

0 Comments