Ticker

6/recent/ticker-posts

Mohammad Natsir dan Pandangannya (yang Tidak Biasa) terhadap Pancasila

 

Hidayatullah.com

Nama Mohammad Natsir tentu sudah pernah kita baca/dengar saat sekolah. Namun, tampaknya masih sangat sedikit yang benar-benar mengenal pribadinya, bukan sekadar mengetahui namanya. Sebelum mengulas lebih detail riwayat hidup Natsir, sejenak mari kita cari terlebih dahulu alasan di balik ketidakasingan namanya di telinga kita. Bila kita ingat, dalam buku sejarah kita mesti pernah menemukan istilah “Kabinet Natsir”. Kabinet ini dimulai pada 6 September 1950 dan berakhir pada 27 April 1951. Disebut “Kabinet Natsir” karena kala itu Natsir menduduki kursi perdana menteri bersama wakilnya yakni Sri Sultan Hamengkubuwono IX di era Demokrasi Parlementer.

Mohammad Natsir sendiri lahir pada 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat. Keluarganya merupakan tipikal keluarga yang sangat taat dalam menjalankan syariat Islam. Ayah Natsir bernama Mohammad Idris Sutan Saripado, sementara ibunya bernama Khadijah. Perjalanan pendidikan Natsir diawali di Sekolah Rakyat Maninjau. Natsir di sana hanya selama 2 tahun, selepas itu ia pindah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Adabiyah, Padang. Belum tuntas di HIS Padang, Natsir harus pindah sekolah lagi ke HIS Solok. Kala itu Natsir memiliki rutinitas yang sama dengan anak-anak Minangkabau, yakni duduk di bangku HIS Solok ketika pagi hari dan mengaji di Madrasah Diniyah saat malam hari.

Natsir kemudian melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwis (MULO) pada 1923. Saat itu Natsir merapat ke organisasi Jong Islamieten Bond (JIB). Setelah tuntas di MULO Padang, Natsir melangkahkan kaki ke Bandung untuk bersekolah di Algemeene Middlebare School (AMS). Jalan keorganisasian Natsir belum berhenti. Saat di Bandung, Natsir bergabung dengan JIB Bandung dan pernah menjadi ketuanya untuk periode 1928-1932. Masuk tahun 1938, Natsir mulai membangun fondasi politiknya dengan menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII). Dua tahun berselang Natsir kemudian diangkat menjadi ketua PII Bandung periode 1940-1942.

Natsir meneruskan karier politiknya di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) kala Jepang menduduki Indonesia. MIAI sendiri merupakan cikal bakal dari Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Pada 1942, Natsir diangkat menjadi Kepala Bagian Pendidikan Kotamadya Bandung hingga tahun 1945. Berturut-turut karier politik Natsir berikutnya yakni.

a.       Menjadi Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (1945).

b.      Menduduki kursi Menteri Penerangan Indonesia yang pertama (1946-1949).

c.       Mengumumkan Mosi Integrasi Natsir yang berhasil mengubah Indonesia dari bentuk negara federal menjadi bentuk negara kesatuan kembali (1950).

 

Melihat keaktifan Natsir di Masyumi, sudah tentu corak pemikirannya cenderung Islamis. Hal ini bisa dilihat―salah satunya―melalui pandangannya terhadap Pancasila, yang dikemukakan di mimbar Sidang Konstituante tahun 1956. Kala itu Natsir berpendapat bahwa sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” lahir tanpa agama, ia sekuler. Natsir berkata demikian didasarkan atas penjelasan Soekarno sendiri yang menyatakan bahwa sila tersebut tidak diambil dari salah satu wahyu ilahi, melainkan digali dari masyarakat Indonesia. Dalam perspektif Natsir, sila tersebut sekadar bentuk dari rasa adanya Tuhan pada diri seseorang tanpa buah konsekuensi. Sila itu tidak bisa disebut sebagai wujud pengakuan terhadap kedaulatan Tuhan dengan seluruh konsekuensinya (tunduk pada hukum Tuhan yang positif).

Natsir memandang bahwa Pancasila di mata para pendukungnya hanyalah ‘titik pertemuan’ dari paham-paham yang tersebar di berbagai golongan yang ada di Indonesia. Alasan Natsir menggunakan kata “hanyalah”, alih-alih memakai kata “adalah”, karena makna “titik pertemuan”―kaitannya dengan ideologi negara―tak boleh sekadar guna menutupi keengganan untuk repot di atas heterogenitas masyarakat. “Titik pertemuan” itu tidak hanya berlaku dalam waktu singkat, melainkan memiliki kontinuitas yang sangat panjang. Natsir lantas bertanya, “Apakah orang-orang yang bertemu dalam Pancasila itu harus menerima sebagian-sebagian?”. Natsir bercerita bahwa ia melihat ada golongan yang dengan gamblang menolak sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, tetapi mereka mau menerima Pancasila.

Walau menyuguhkan kritikan yang tajam, Natsir sama sekali tidak mengesampingkan hal-hal baik yang ditawarkan Pancasila. Natsir hanya menyayangkan sikap para pendukung Pancasila yang menolak Islam sebagai dasar negara dengan dalih Islam hanya dimiliki oleh satu golongan, bukan semua golongan. Bagi Natsir, alasan penolakan tersebut sangat jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Memang tidak ada salahnya Islam ditolak sebagai dasar negara, hanya saja alasan yang digunakan mestinya berkaitan dengan isi dan paham hidup Islam. Natsir lalu mengemukakan bahwa ajaran Islam tentang ketatanegaraan dan sosial masyarakat mampu menjamin harmoni kehidupan masyarakat Indonesia yang heterogen di atas fondasi sikap saling menghargai.

Pandangan Natsir terhadap Pancasila di atas menjadi bukti bahwa proses perumusan dasar negara kita dipenuhi oleh dialektika yang alot. Hal semacam ini hampir tidak pernah saya temui di buku pelajaran sekolah. Apa yang dituangkan dalam buku-buku sejarah di sekolah hanyalah perdebatan di antara tokoh-tokoh yang masih sepaham. Padahal, perdebatan antara tokoh-tokoh yang berlainan paham juga perlu untuk dibaca (dan diteladani). Tujuannya apa? Supaya kita tidak terjatuh dalam jurang labelisasi. Sekarang pertanyaannya―sama dengan kegelisahan Natsir di atas―bila negara kita memang negara demokrasi, mengapa yang memiliki ruang gerak bebas hanya pendapat yang itu-itu saja!?.

Post a Comment

0 Comments