Ticker

6/recent/ticker-posts

Dialektika Rumi dengan Sufisme dalam Balutan Sastra

 

Dok. Pribadi

Judul              : Jalaluddin Rumi: Sebuah Biografi

Penulis            : Chindi Andriyani

Penerbit          : Sociality

Cetakan          : I, Maret 2019

Tebal              : 176 Halaman

ISBN               : 978-602-0770-77-2

Peresensi        : Mohammad Azharudin

 

Jalaluddin Rumi adalah salah seorang sufi yang kalimat-kalimat “indahnya” kerap kita temui di media sosial. Bahkan seandainya ada pertanyaan, “Apakah kamu pernah mendengar nama Rumi?”, hampir pasti jawabannya adalah, “Iya, pernah”. Meskipun begitu masyhur, Rumi kurang begitu dikenal (secara mendalam) oleh orang-orang. Ketika ada pertanyaan, “Siapakah sebenarnya Rumi?”, mungkin jawaban yang paling banyak muncul seperti ini, “Rumi adalah seorang sufi dengan ciri khas tarian berputarnya”. Salah satu faktor penyebab fenomena itu adalah orang-orang hanya tertarik pada kalimat Rumi, tidak dengan biografinya. Berangkat dari sini, saya rasa kehadiran buku yang ditulis oleh Chindi Andriyani ini dapat memberikan dorongan pada kita untuk menelisik lebih jauh kisah hidup Jalaluddin Rumi.

Rumi lahir pada 6 Rabi’ al-Awwal 604 H/30 September 1207 M di Balkh (sekarang masuk wilayah Afghanistan). Nama lengkapnya adalah Jalaluddin Rumi Muhammad ibn Bahauddin Walad ibn Hasin ibn al-Khattabi al-Bakri. Ayahnya bernama Bahauddin Walad, ia merupakan salah seorang ulama besar di negerinya kala itu. Sang ibu sendiri bernama Mu’mina Khatun, salah satu anggota kerajaan Khawarizm. Rumi memiliki garis keturunan yang sangat mulia. Nasab sang ayah sampai kepada Abu Bakr al-Shiddiq, sementara sang ibu nasabnya sampai kepada Ali ibn Abi Thalib. Mengacu pada tempat lahirnya, orang-orang Afghanistan lebih kerap memanggil Rumi dengan nama “Jalaluddin Balkhi” (hal. 11).

Kita tahu bahwa Rumi memilih fokus pada jalan tasawuf. Ini tak lepas dari pengaruh ayahnya yang juga menempuh jalan tasawuf, di mana sanad tasawuf Bahauddin Walad (ayah Rumi) berasal dari Ahmad al-Ghazali (adik dari hujjah al-islam, Muhammad al-Ghazali). Saat Mongol melancarkan serangan ke Khurasan, ruang gerak ayah Rumi dalam mengajarkan ilmu menjadi sempit. Ia lantas memutuskan untuk membawa keluarganya hijrah dari Balkh menuju Asia Kecil. Dalam perjalanannya, mereka sempat singgah di beberapa kota dan salah satunya adalah Larnada. Saat berada di Larnada, mereka ditemui oleh sahabat Bahauddin Walad yang bernama Sharafuddin. Pertemuan itu lantas berujung pernikahan antara Rumi dengan Jauhar Khatun (putri Sharafuddin).

Kemasyhuran Rumi hari ini tentu berkaitan erat dengan perjalanan intelektual yang telah dilewatinya. Beberapa orang yang tercatat pernah menjadi guru Rumi yakni Bahauddin Walad (sang ayah), Burhan al-Din al-Tirmidzi, dan Syams al-Din al-Tabriz. Nama yang disebut terakhir menjadi sosok guru yang sangat dicintai Rumi dan mempunyai pengaruh yang besar pada dirinya. Rumi pernah menulis, “Sesungguhnya Syamsi Tabriz itulah yang menunjukkanku jalan kebenaran. Dialah yang mempertebal keyakinan dan keimananku”. Rumi bahkan mengaku bahwa ia mulai bisa merasakan hakikat cinta lantaran melihat pesona keilmuan Syams al-Din. Pada tahap berikutnya, Rumi juga mulai bisa menulis sajak yang mempunyai nilai kedalaman layaknya sajak-sajak yang ditulis oleh para penyair sebelum zaman Rumi hidup (hal. 32).

Perkara di atas belum cukup mengantarkan Rumi begitu dekat dengan sastra. Selama napasnya masih berhembus, Rumi kerap melakukan aktivitas pembacaan buku (kitab) sastra. Buku-buku tersebut berbahasa Persia dan Arab. Beberapa di antaranya yakni Kalilah wa Dimnah, Syahnama, Vis u Ramin, Maqamat, Kitab al-Aghani, karya-karya al-Mutanabbi, karya-karya Abu Nuwas, karya-karya Fariduddin Attar. Faktor lain yang juga berpengaruh besar dalam mendorong Rumi semakin dekat dengan sastra adalah “cinta”. Seperti yang telah diuraikan di atas, Rumi begitu mencintai sang guru, yakni Syams al-Din. Saat sang guru wafat, Rumi tak lagi dapat bertemu dengannya dan itu membuatnya jatuh dalam kerinduan. Sejak saat itu, Rumi pun banyak menulis puisi-puisi cinta dengan Syams al-Din sebagai objeknya.

Sebenarnya, Rumi bukanlah sosok yang menyukai puisi sejak awal. Rumi mulanya justru sangat tak suka kegiatan berpuisi. Ini disebabkan pemahaman tekstual Rumi terhadap surah al-Syu‘ara’/26 ayat 224-226 berikut ini.

وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ (224) أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ (225) وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ (226)

(224). Dan penyair-penyair itu diikui oleh orang-orang yang sesat.

(225). Tidakkah engkau melihat bahwa mereka mengembara di setiap lembah,

(226). dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?.

 

Asbab al-nuzul ayat termaktub berkaitan dengan dua orang lelaki ahli syair, yang satu berasal dari golongan Anshar dan satunya lagi dari golongan lain. Mereka berdua kerap saling lempar ejekan melalui syair masing-masing dan mereka diikuti oleh banyak orang bodoh (tidak peduli terhadap keburukan yang dilakukan oleh sosok yang diikutinya). Kendati demikian, “cinta” pada akhirnya menaklukkan hati Rumi. Ia pun mafhum bahwa pengalaman tertinggi hati bersama Tuhan membuat kesadarannya tenggelam dalam pelukan spiritual. Dan, hal itu tak dapat direpresentasikan melalui kalimat-kalimat eksplisit (hal. 46).

Muara dari semua itu bisa kita saksikan hari ini. Rumi menjadi salah satu individu yang kalimat-kalimat indahnya tak berhenti disebarkan oleh banyak orang di media sosial. Kebermanfaatan Rumi  masih memiliki usia hingga kini, walaupun ia sendiri telah wafat pada 5 Jumad al-Akhir 672 H/17 Desember 1273 M. Rumi telah memberi kontribusi besar terhadap peradaban, beberapa karyanya yakni.

1.      Diwan Syamsi Tabriz, merupakan kompilasi sajak pujian yang menjadi jembatan dalam mengungkapkan pengalaman dan gagasannya tentang cinta transendental yang telah ia dapat di jalan tasawuf.

2.      Masnawi Ma‘nawi, adalah sebuah karangan dalam bentuk sajak tentang makna/rahasia terdalam ajaran agama. Kitab ini memiliki nama lain “Husami-Nama”. Gaya penulisan yang digunakan Rumi dalam kitab ini mengikuti tradisi dari puisi sufi Persia sebelum masa hidupnya.

3.      Ruba‘iyat, merupakan antologi puisi Rumi yang berisi sekitar 3.318 bait puisi.

4.      Fihi Ma Fihi, ialah kitab yang berisi kumpulan percakapan Rumi dengan sahabat-sahabat dan murid-muridnya. Pembahasan dalam kitab ini menyangkut problematika sosial-keagamaan.

5.      Makatib, adalah kumpulan surat-surat Rumi kepada sahabat-sahabatnya (khususnya Shalahuddin Zarkub). Sebagian menyebut bahwa surat-surat tersebut ditujukan untuk pangeran dan para bangsawan Konya.

6.      Majalis Sabi‘ah, merupakan karya dalam bentuk prosa yang berisi himpunan khotbah-khotbah Rumi di berbagai masjid dan majelis keagamaan. Khotbah-khotbah itu tidak hanya khusus ditujukan kepada kaum sufi, melainkan juga disuguhkan kepada masyarakat awam.

Sebagai penutup, akan dicantumkan satu puisi Rumi yang terdapat dalam buku ini sebagai berikut.

Seandainya Pohon

Seandainya pohon bisa bergerak dengan kaki dan sayap,

Ia tak akan menderita karena gergaji dan kapak

Dan seandainya matahari tidak melesat dengan sayap dan kaki setiap malam,

Bagaimana dunia bisa disinarinya lagi setiap pagi?

Dan seandainya air asin tidak menguap dari laut ke langit,

Bagaimana pula taman bisa disuburkan oleh sungai dan hujan?

Ketika tetes itu meninggalkan tanah asalnya dan kembali,

Aku menemukan kerang dan menjelma mutiara.

 

Bukankah Yusuf berkelana meninggalkan bapaknya sambil menangis?

Bukankah, dalam perjalanannya, ia mendapatkan harta, kerajaan, dan kejayaan?

Bukankah Musthafa berhijrah ke Madinah,

Mendapatkan kewibawaan dan menjadi tuan di mana-mana?

Meski kau tak berkaki, pergilah kau sendiri!

Bagai tambang permata yang menerima kilat dari cahaya mentari.

 

Berkelanalah dari diri ke dalam diri, wahai tuan!

Sebab dengan pengelanaan itu bumi menjelma tambang emas.

Dari kepahitan dan kekecutan menuju rasa manis,

Bahkan dari tanah yang asin ribuan macam buah muncul.

Dari Matahari, kebanggan Tabriz, lihat mukjizat ini

Dan setiap pohon mendapatkan keelokan dari cahaya matahari.

Post a Comment

0 Comments