Ticker

6/recent/ticker-posts

Menggeledah Kaidah-kaidah Fikih dalam Realitas Sejarah Berdirinya Indonesia

 

Dok. Pribadi

Judul              : Kaidah Fikih Politik: Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama

Penulis            : Syaikhul Islam Ali, Lc, M. Sosio

Penerbit          : Yayasan Bumi Shalawat Progresif

Cetakan          : I, Januari 2018

Tebal              : xxviii + 260 Halaman

ISBN               : 978-602-70095-1-6

Peresensi        : Mohammad Azharudin

 

Salah satu bukti konkret hari ini bahwa ulama ada yang ikut berpolitik adalah sosok KH. Ma’ruf Amin yang menjabat sebagai wakil presiden RI. Sebelumnya, telah ada beberapa tokoh dari kalangan cendekiawan muslim yang juga terlibat dalam lalu lintas perpolitikan di Indonesia. Buku ini menggali lebih dalam terhadap apa yang menjadi landasan dari tindakan para ulama tersebut dalam ranah politik. Tujuan Syaikhul Islam Ali menulis buku ini adalah menguraikan bahwa orang-orang NU tidak keluar dari logika-logika normatif yang dikembangkan dalam kerangka berpikir fikih meskipun terlibat dalam aktivitas politik (hal. 2).

Perbincangan soal relasi agama dan politik hingga hari ini terus menelurkan pro dan kontra. Sebagian berpendapat bahwa agama dan politik tak boleh dicampuradukkan, sebagian lagi memandang bahwa menggunakan politik untuk tujuan agama adalah keharusan. Ada juga yang melihat perbincangan tersebut dari perspektif teologis (Sunni-Syi’ah-Khawarij), sementara pihak lainnya memandang dari perspektif filosofis. Jika ditelisik lebih jauh, Nabi Muhammad saw menempati 3 posisi dalam syariat menurut al-Qarafi, yakni Imam (pemimpin), Mufti (pemberi fatwa), dan Qadhi (pemutus perkara). Berdasarkan hal ini, maka dapat diambil konklusi bahwa Nabi saw merupakan pemimpin agama dan politik. Buktinya, tercipta Piagam Madinah, yang mana ia merupakan titik temu antara jabatan pemimpin negara dengan pemimpin agama.

Lantas, bagaimana ulama NU meneladani hal di atas?. Ulama NU menjadikan kitab-kitab para ulama ahl al-sunnah wa al-jama’ah sebagai referensi dalam bertindak. Kitab-kitab itu di antaranya al-Tibrul Masbuk fi Nasihah al-Muluk karya al-Ghazali, Ghiyats al-Umam fi al-Tiyats al-Zhulam karya al-Juwaini, dan Durar al-Suluk fi Siyasat al-Muluk karya al-Mawardi. Inti sari dari semua kitab termaktub yakni keimanan, keadilan, memprioritaskan agenda kerakyatan, dan harmonisasi agama dan kekuasaan. Hal yang disebut terakhir dapat tercipta apabila umat Islam mampu menerjemahkan peran agama secara individual dan sosial kemasyarakatan. Tugas agama adalah memperbaiki moralitas dan nilai individu (hal. 18).

Menurut al-Baqillani, agama harus diletakkan sebagai penuntun masyarakat dan pemerintah. Sakralitas agama tak boleh dikesampingkan karena ia berperan menciptakan ketentraman demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun, perlu dicatat bahwa agama tidak dapat diposisikan melebihi negara dalam situasi yang tidak kondusif. Alasan dari hal tersebut adalah agama sangat mungkin akan dipolitisasi demi keuntungan pihak-pihak tertentu. Dalam konteks Indonesia sendiri, relasi antara agama dan negara sudah harmonis. Ini tentu tak lepas dari pemaparan KH. Hasyim Asy’ari bahwa Islam dan nasionalisme adalah 2 hal yang tak dapat dipisahkan.

Apa yang dikatakan KH. Hasyim Asy’ari di atas juga lantas memengaruhi aktivitas politik ulama NU lainnya yang selalu berorientasi pada politik kebangsaan. Dalam merespons dinamika sosial-politik, kaidah-kaidah fikih yang dijadikan landasan. Greg Fealy berpendapat bahwa hal tersebut merupakan bukti nyata dari konsistensi orang-orang NU dalam berpegang pada ideologi ahl al-sunnah wa al-jama’ah (hal. 42). Berikut ini 3 contoh sikap politik ulama NU yang berlandaskan kaidah-kaidah fikih.

1.      Pendirian Nahdlatut Tujjar

KH. Wahab Chasbullah dan KH. Hasyim Asy’ari berupaya untuk memperkuat perekonomian rakyat. Hal ini disebabkan oleh pihak Belanda yang memonopoli perekonomian kala itu, sehingga menyebabkan masyarakat Islam sangat rendah tingkat kesejahteraannya (baik dari segi ekonomi, pendidikan, budaya, maupun politik). KH. Wahab dan KH. Hasyim pun lantas mengumpulkan para saudagar Islam untuk mendirikan suatu perhimpunan yang kemudian disebut Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar) pada tahun 1918. Didirikannya Nahdlatut Tujjar ini dipandang lebih bisa memberikan kemaslahatan—terutama bagi masyarakat Islam—dan dapat meminimalisir kemudaratan yang ditimbulkan pihak kolonial (hal. 69). Kaidah fikih yang mendasari hal termaktub adalah.

تَحْصِيْلُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ هَذِهِ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ تَعْطِيْلِهَا

Mengambil kemaslahatan dan menghindari kemudaratan lebih utama daripada mengabaikannya.

 

2.      KH. Hasyim Asy’ari Berkenan Menjadi Shumubucho

Nippon pernah menangkap KH. Hasyim Asy’ari dengan tuduhan bahwa KH. Hasyim telah memprovokasi masyarakat untuk melakukan gerakan anti-Nippon. Alih-alih meredakan perlawanan masyarakat, tindakan Nippon tersebut justru membuat masyarakat kian menjadi-jadi dalam melakukan perlawanan. Menyadari hal itu, Nippon pun lantas memberikan kompensasi pada KH. Hasyim Asy’ari dengan jalan meminta beliau menjabat sebagai Shumubucho (Kepala Jawatan Agama). Terkait keputusan KH. Hasyim Asy’ari atas permintaan Nippon itu, KH. Wahid Hasyim menguraikan, “Sebenarnya Hadratus Syaikh sedang memberi keteladanan kepada kita yang masih muda bahwa arti perbuatan bijaksana itu bukan tentang menjatuhkan pilihan terhadap yang benar dan salah, terhadap yang baik dan buruk. Arti perbuatan bijaksana adalah tentang menjatuhkan pilihan di antara 2 perkara yang sama-sama salah atau sama-sama buruk, tetapi situasi mengharuskan untuk tetap memilih salah satunya” (hal. 92). Landasan kaidah fikihnya yaitu.

إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا

Apabila bertentangan dua kemudaratan, pilihlah mudarat yang lebih kecil agar terhindar dari mudarat yang lebih besar.

 

3.      KH. Saifuddin Zuhri Menolak Pembubaran HMI

Bung Karno pernah memiliki niat untuk membubarkan HMI. Penyebabnya adalah HMI dipandang terlalu reaksioner, antirevolusi, dan bersikap kebarat-baratan. Rencana itu diutarakan Bung Karno kepada Menteri Agama saat itu, KH. Saifuddin Zuhri. Sebagai orang yang berafiliasi dengan NU, alih-alih menyetujui, KH. Saifuddin justru menolak rencana Bung Karno tersebut. Bahkan, walau Bung Karno sempat berucap, “Kalau HMI bubar, NU kan untung, PMII makin besar”, KH. Saifuddin tetap kukuh menolak rencana pembubaran HMI. Menurut KH. Saifuddin, para anggota HMI bagaimana pun juga merupakan bagian dari kader-kader bangsa. Beliau berkata, “Kalau HMI dibubarkan, nanti mereka frustrasi dan kita semua rugi”. Akhirnya, Bung Karno membatalkan rencananya termaktub (hal. 139). Dalam kasus ini, kaidah fikih yang digunakan adalah.

الْحُدُوْدُ تُسْقَطُ بِالشُّبُهَاتِ

Hukum dibatalkan karena syubhat (ketidakjelasan).

Post a Comment

0 Comments