Ticker

6/recent/ticker-posts

Meruntuhkan Tabir Tabu yang Menyelimuti Kompleksitas Orgasme

 

Dok. Pribadi

Judul              : Maaf, Orgasme Bukan Hanya Urusan Kelamin

Penulis            : Ester Pandiangan

Penerbit          : EA Books

Cetakan          : I, Maret 2022

Tebal              : xxiv + 231 Halaman

ISBN               : 978-623-5280-00-4

Resensator     : Mohammad Azharudin

 

Perbincangan soal seks masih mendapat porsi yang sangat sedikit, bahkan ketika manusia telah berhadapan dengan derasnya arus informasi seperti sekarang. Salah satu penyebab terbesarnya adalah adanya stigma negatif yang dilekatkan pada orang yang membicarakan seks. Stigma negatif itu sangat beragam, mulai dari kotor, menjijikkan, cabul, hingga melanggar norma agama dan sosial. Akibat yang ditimbulkan dari hal ini adalah kita melakukan “dialog” dengan seks secara sembunyi-sembunyi, dalam kesendirian, dan menjadikan film porno sebagai referensi mutlak.

Kehadiran buku yang ditulis oleh Ester Pandiangan ini―saya rasa―berhasil mengisi fragmen pembicaraan yang kosong tersebut. Sehingga, apabila kita masih malu-malu membicarakan seks, kita masih bisa mendapat pengetahuan (yang kredibel) dari buku ini. Oh, iya! Buku ini dibuka dengan sebuah peringatan di mana ia hanya boleh dibaca oleh orang-orang yang telah berumur 21 tahun lebih. Jadi, bagi yang belum mencapai batas minimal usia tersebut, mohon kebijaksanaannya, ya!.

Seperti yang kita tahu, saat seks dijadikan topik pembahasan/kajian, kerap kali yang ditempatkan sebagai subjek adalah laki-laki, sementara perempuan hampir selalu menjadi objek. Dunia selama ini seolah hanya berfokus pada pemuasan hasrat seksual laki-laki. Akibatnya, informasi tentang orgasme perempuan masih rancu dan banyak yang salah kaprah terhadapnya. Lalu apa urgensi membahas orgasme perempuan? Ada banyak sekali jawabannya. Orgasme perempuan penting diulas supaya perempuan tidak tersesat di tubuhnya sendiri, supaya tidak dibodohi pasangan, supaya perempuan juga bisa mendapatkan kepuasan saat berhubungan seks (hal. 4).

Terdapat banyak perbedaan antara orgasme laki-laki dengan orgasme perempuan. Guna meraih orgasme, laki-laki terperangkap oleh waktu. Adapun perempuan, umumnya lebih tahan lama dibanding laki-laki dan bisa mendapatkan orgasme berkali-kali (multiple orgasm). Setelah orgasme, laki-laki biasanya akan kehilangan energi dan jadi mengantuk. Hal ini dikenal dengan istilah refractory period. Namun, perempuan justru sebaliknya. Seusai orgasme, perempuan akan merasa rileks, berenergi, bisa tetap melanjutkan aktivitas, bahkan bisa mengerjakan deadline. Masih ada banyak perbedaan antara orgasme laki-laki dan perempuan. Hal ini semestinya tidak menjadi kendala, melainkan sesuatu yang harus dipahami satu sama lain sehingga tidak terjadi saling menghakimi.

Bicara soal seks dan orgasme, salah satu yang kerap dijadikan jembatan di antara keduanya adalah “durasi”. Kita selalu beranggapan bahwa durasi lama adalah segalanya. Namun, buku ini menepis hal itu. Pasalnya, seks adalah sesuatu yang personal. Semua tergantung antara individu dengan pasangannya. Standar (durasi) satu orang tidak dapat dijadikan acuan orang lain. Seks harus dibicarakan dengan pasangan secara terbuka, sehingga nantinya ada penyesuaian durasi yang cocok bagi keduanya. Selain itu, seks tak melulu harus berujung orgasme. Menurut Ester Pandiangan, apabila seks serba ditentukan malah akan berakhir dengan kekacauan. Penyebabnya adalah kita memaksakan sesuatu yang seharusnya terjadi secara natural (hal. 21).

Dalam aktivitas seks, patokan kenikmatan yang hampir selalu digunakan adalah berapa kali laki-laki “keluar”. Bahkan, ketika perempuan mendapatkan orgasme berkali-kali, pihak yang disanjung adalah laki-laki dengan dalih sukses membuat perempuannya “menjerit”. Selama ini, penempatan perempuan pada posisi objek seksual telah dinaturalisasi sebagai kultural, patriarkal, dan hegemoni. Sementara itu, di sisi lain seksualitas laki-laki dibicarakan sebagai norma dan sesuatu yang alamiah. Pihak-pihak besar seperti media massa dan pendidikan lantas mengamini hal tersebut sebagai sebuah fakta. Akibatnya adalah ketika perempuan membicarakan hasratnya, ia sering dianggap tidak normal, dipandang menyalahi aturan dan tidak benar untuk dilakukan.

Salah satu subbab yang sangat menarik bagi saya adalah “Sehatkah Seks yang Dikontrol Agama?”. Melihat latar belakang sang penulis sebagai seorang kristiani, tentu sudut pandang yang dihadirkan berasal dari agama Kristen. Menurut Ester Pandiangan, agama kerap kontradiktif dengan seks, utamanya dalam segi eksplorasi dan heterogenitas orientasi seksual. Dalam agama (Kristen) nafsu seksual yang begitu besar bukan sesuatu yang didukung. Manusia semestinya menjaga seks tetap normatif. Manusia boleh melakukan hubungan seks, tetapi harus menikah dulu. Jika pun sudah menikah, seksnya juga jangan aneh-aneh, sebatas menyalurkan hasrat saja. Hal ini turut membuat manusia takut membicarakan seks dan segan mendiskusikannya (hal. 65).

Buku ini juga merengkuh segmen yang mungkin tidak pernah terpikirkan di kepala kita, yakni ekspresi seks pada difabel. Jangankan memikirkannya, peduli saja tidak. Padahal, bagaimanapun seks adalah kebutuhan setiap manusia, terlepas dari apa pun kondisinya. Difabel bukan berarti tidak punya hasrat seks. Mereka memiliki hasrat seks, hanya saja cara mendapatkan dan mengekspresikannya berbeda. Namun, masalahnya adalah di luar sana banyak penyandang difabel yang menerima stigma tidak enak lantaran kondisinya yang berbeda. Mereka juga sering mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, bahkan beberapa orang menjadikan mereka sebagai objek lelucon. Mestinya kita (buat yang waras aja) memahami bahwa setiap manusia―apa pun kondisi fisiknya―memiliki hak seksual yang sama.

Kembali ke pembahasan soal orgasme. Ester Pandiangan menulis bahwa kontrol seks dan orgasme ada pada pikiran. Ketika seseorang sedang stres, punya deadline, ada masalah rumah tangga, atau ada hal lain yang mengganjal pikirannya, maka ia tidak akan bisa memberikan performa seks yang baik. Sebaliknya, seseorang akan lebih bisa mendapatkan orgasme ketika dirinya memberikan perhatian penuh pada rangsangan dan keberadaan pasangan (hal. 204).

Buku ini ditutup dengan kalimat-kalimat yang (mungkin) bisa menyadarkan kita terhadap realitas. Seks sebenarnya adalah aktivitas biasa, sama seperti makan atau buang air besar. Manusia sendirilah yang memberi makna padanya. Namun, manusia nyatanya terlampau mengglorifikasi seks. Padahal seks itu ya seks, tidak “seistimewa” yang dipikirkan. Kadang kita berpikir bahwa yang membuat seks sempurna adalah saat melakukannya dengan orang yang tepat. Sebenarnya, tidak ada orang yang benar-benar tepat. Lagi dan lagi, kita sendirilah yang menjadikan orang itu tepat.

Post a Comment

0 Comments