Ticker

6/recent/ticker-posts

Lebih Dekat dengan Bahauddin Walad, Ayah Jalaluddin Rumi

 

Unsplash.com

Siapa tak mengenal Jaluddin Rumi!? Sufi yang lekat dengan konsepnya tentang cinta ini banyak dikutip kalimatnya di media sosial. Proses Rumi menjadi sufi besar hingga sangat terkenal hari ini tentu membutuhkan waktu yang tak singkat. Rumi memulai seluruh rangkaian pembelajarannya dari ayahnya sendiri, Bahauddin Walad. Bahauddin Walad sendiri adalah sosok yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni sehingga ia menyandang gelar Sulthan al-‘Ulama’. Nasabnya sampai kepada Abu Bakr al-Shiddiq.

Muasal nasab Bahauddin Walad sampai kepada Abu Bakar adalah sekitar tahun 25 Hijriah, pada masa kekhalifahan Utsman ibn ‘Affan, cucu Abu Bakr ikut serta dalam pasukan yang mengemban misi menaklukkan Khurasan. Seusai berhasil, mereka lantas memutuskan untuk bermukim di Balkh. Kendati demikian, Bahauddin Walad sendiri tak selalu tinggal di Balkh. Ia justru kerap berpindah-pindah tempat tinggal, mulai dari Wakhsy, Tirmidz, hingga Samarkand. Seperti telah dijelaskan di awal, kapasitas keilmuan Bahauddin Walad tak diragukan lagi. Ia juga merupakan seorang ahli hukum dan tasawuf yang sanad spiritualnya berasal dari Ahmad al-Ghazali (adik dari Abu Hamid al-Ghazali).

Bahauddin Walad bekerja sebagai hakim dan khatib. Dalam kesehariannya ia sibuk mengajar hukum-hukum Islam (syariat) di masjid-masjid. Selain itu, Bahauddin Walad juga menerima orang-orang yang ingin belajar tasawuf kepadanya di tempat yang lebih pribadi. Bahauddin Walad di kemudian hari memperistri seorang anggota kerajaan Khawarizm yang bernama Mu’mina Khatun. Kendati begitu, Bahauddin Walad tidak terlena dengan model kehidupan keluarga kerajaan. Bahkan, ia kerap tak sependapat dengan keputusan raja kala itu. Sang raja sendiri mulanya sering menghadiri majelis ilmu Bahauddin Walad. Namun, ketika nama Bahauddin Walad lebih masyhur dibandingkan dirinya di telinga masyarakat, ia pun mulai merasa tak senang dengan Bahauddin Walad.

Para pembesar Khawarizm sendiri kerap melangsungkan diskusi bersama Bahauddin Walad. Mereka bahkan pernah mendapat kritikan tajam darinya dengan kalimat begini, “Kalian adalah tawanan materai yang tak berharga dan kalian terhalang untuk mencapai hakikat”. Dialektika mereka dengan Bahauddin Walad tak berlangsung lama. Hal itu disebabkan oleh invasi Mongol yang kemudian memaksa Bahauddin Walad beserta keluarganya hijrah ke Asia Kecil. Dalam perjalanannya, mereka sempat singgah di beberapa kota seperti Damaskus, Malatia (Eufrat Atas), Erjinjan (Eufrat Barat), Sivas, Kayseri, Nidge, Nishapur, Baghdad, Larnada.

Saat berada di Nishapur, keluarga Bahauddin Walad singgah di kediaman Fariduddin Attar. Kala itu, Bahauddin dan Attar sempat duduk bersama dengan suguhan teh sambil memperbincangkan al-Qur’an. Selepas dirasa cukup bersinggah, keluarga Bahauddin pamit untuk meneruskan perjalanan. Sebelum berpisah, Fariduddin Attar menghadiahi putra Bahauddin (Jalaluddin Rumi) sebuah kitab yang berjudul Asrar Namah. Adapun ketika sampai di Baghdad, keluarga Bahauddin disambut oleh Abu Hafs al-Suhrawardi. Ia kemudian menyampaikan pesan dari khalifah bahwa keluarga Bahauddin dipersilakan untuk menginap di istana. Namun, Bahauddin justru menolak halus hal itu dengan berucap, “Tempat ulama adalah di madrasah”.

Seusai dari Baghdad, keluarga Bahauddin melanjutkan perjalanan dan kemudian singgah di sebuah kota kecil yang bernama Larnada. Kala di sana, mereka bertemu dengan seorang sahabat Bahauddin yang bernama Sharafuddin. Lantaran pertemuan tersebut, Bahauddin dan Sharafuddin pun sepakat untuk saling menikahkan anak mereka (Jaluddin Rumi yang saat itu menginjak usia 21 tahun dinikahkan dengan Jauhar Khatun). Jauhar Khatun sendiri sebelumnya pernah menjadi murid Bahauddin. Dalam pandangan Bahauddin, sosok Jauhar Khatun memiliki banyak kesamaan dengan putranya (Rumi).

Tak berselang lama setelah pernikahan termaktub, istri Bahauddin (Mu’mina Khatun) tutup usia karena sakit yang dideritanya sejak berangkat meninggalkan Balkh. Wafatnya Mu’mina Khatun lantas disusul oleh putra sulungnya, Alauddin Muhammad (kakak Jalaluddin Rumi). Selepas itu, gantian ibu dari Jauhar Khatun yang meninggal dunia. Seluruh kepergian itu jelas meninggalkan duka yang mendalam, baik bagi keluarga Bahauddin maupun keluarga Sharafuddin. Ketiga orang yang wafat tersebut dimakamkan berdekatan di Karaman. Sesudah mendapat cobaan yang tak ringan, Bahauddin lantas dikaruniai 2 orang cucu laki-laki dari pernikahan Rumi. Masing-masing cucunya diberi nama Sultan Walad dan Alauddin Syalbi.

Seorang raja Seljuk yang sedang berkuasa di Konya (dekat Larnada), bernama Alauddin Kaiqibad, mendengar bahwa Bahauddin sedang berada di Larnada. Sang raja adalah sosok yang mendukung penuh kegiatan kaum terpelajar dan sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan filsafat. Oleh sebab itu, ia pun mengirim surat kepada Bahauddin yang inti dari isinya adalah menawarkan tempat tinggal dan kedudukan untuknya di Madrasah (universitas) Konya. Bahauddin pun menerimanya dan ia memboyong keluarganya ke Konya.

Saat Baghdad dihancurkan Mongol, pusat kebudayaan beralih ke Konya. Kota ini pun menarik perhatian banyak kaum terpelajar untuk berdatangan. Tak sedikit pula madrasah didirikan. Sementara itu, Bahauddin menjadi salah satu guru yang sangat disegani di madrasah yang diamanatkan oleh Alauddin Kaiqibad. Madrasah itu sendiri telah berkembang pesat dan memiliki banyak murid. Namun, pada awal Januari 1231 M, Bahauddin yang kala itu telah berusia 85 tahun menderita sakit. Saat di hari ketiga ia sakit, ia pun dipanggil untuk menghadap Sang Khaliq. Sebelum wafat, Bahauddin telah mengabadikan namanya dalam salah satu karya besarnya yang berjudul Ma’arif. Berikut cuplikan terjemah dari isinya.

 

Dalam mimpiku sekawanan burung putih besar, lebih besar dari angsa, sedang terbang.

Dalam terbangnya, burung-burung itu melantunkan pujian-pujian.

Aku mengerti bahasa burung.

Seekor di antaranya berujar, “Aku memuji-Mu dalam segala keadaan”, dan yang lain mengucapkan hal yang sama dalam kata yang berbeda, serta burung lainnya dalam frasa yang lain.

Namun, aku tak mampu mengingat apa yang seharusnya kukatakan.

Aku menafsirkan mimpi ini sebagai pemberitahuan agar aku senantiasa bersyukur, tak peduli apa pun itu, dalam kehidupan terjagaku, dan juga untuk mengingat bahwa ada ratusan ribu cara untuk memuji.

Post a Comment

0 Comments