Ticker

6/recent/ticker-posts

Kompleksitas Logika dalam Perbincangan Akidah

 

Dok. Pribadi

Judul              : Mantiq: Catatan Ngaji Logika Al-Ghazali

Penulis           : Azis Anwar Fachrudin

Penerbit         : IRCiSoD

Cetakan          : I, Mei 2021

Tebal              : 222 Halaman

ISBN               : 978-623-6166-39-0

Peresensi        : Mohammad Azharudin

 

“Ilmu Mantiq”, mendengar istilah tersebut mungkin kesan yang didapat tiap orang akan berbeda. Asing, sulit, bahkan tak tahu apa yang sebenarnya dipelajari di dalamnya. Penulis buku ini, Azis Anwar Fachrudin, menuturkan bahwa setidaknya ada 2 alasan mengapa mantiq penting dipelajari. Pertama, mantiq adalah ilmu alat sebagaimana nahwu. Jika peran nahwu menertibkan bahasa, maka peran mantiq adalah menertibkan pikiran. Kedua, orang yang mempelajari mantiq akan mampu menelaah semua jenis pengetahuan rasional sekaligus memiliki landasan dalam berargumentasi.

Buku ini merupakan kumpulan catatan dari kelas mantiq yang diselenggarakan di kafe Main-main (Banguntapan, Bantul). Kitab yang dikaji di kelas mantiq itu adalah Mi’yar al-‘Ilmi karya al-Ghazali. Kitab Mi’yar al-‘Ilmi—menurut al-Ghazali sendiri—merupakan wujud klarifikasi bagi istilah-istilah yang dipakainya dalam Tahafut al-Falasifah. Bicara soal Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali sebenarnya bukan individu yang mutlak menolak filsafat. Ia memiliki masalah dengan para filsuf (khususnya kaum Peripatetik) hanya dalam persoalan metafisika. Bahkan, sebagian sarjana peneliti menyatakan bahwa al-Ghazali berkontribusi besar dalam mengubah posisi mantiq; dari yang mulanya dianggap asing menjadi bagian dari arus utama tradisi keilmuan Islam (hal. 24).

Isi dari mantiq, bila diperas sampai intinya, sebenarnya hanya 2 yakni tashawwur dan tashdiq. Tashawwur bisa diterjemahkan dengan “pengertian”, sementara terjemah tashdiq adalah “penilaian”. Sederhananya, fokus kajian tashawwur adalah pengertian dari sebuah konsep. Adapun peran tashdiq adalah menilai hubungan antara satu konsep dengan konsep yang lain. Imam al-Ghazali mengkiaskan sebuah argumen dengan “rumah”. Dalam konteks ini, tashawwur menyoal tentang apa itu atap, apa itu lantai, dan seterusnya. Sementara itu, tashdiq sendiri membeberkan hubungan antara tiang dengan atap, atau lantai dengan tiang, dan sebagainya.

Tashawwur memiliki 3 kategori yaitu esensi, aksiden, dan lazim. Esensi adalah hal-hal yang membentuk X, yang mana bila satu saja dari hal-hal ini hilang, maka X bukan lagi X. Adapun aksiden adalah lawan dari esensi. Aksiden yaitu hal-hal yang ternisbahkan kepada X, tetapi bila hal-hal ini hilang, X masih tetap X. Sementara itu, lazim adalah hal-hal yang bukan esensi suatu konsep, tetapi “melekat pada” atau “diniscayakan adanya oleh” konsep tersebut. Imam al-Ghazali mencontohkannya dengan konsep manusia. Esensi manusia terdiri dari sifat hewani (contoh: makan, tumbuh, berkembang biak) dan kemampuan berpikir rasional. Lalu, aksiden manusia misalnya tinggi-pendek, dapat bahagia/sedih, diam-bergerak. Adapun contoh dari lazim manusia yakni sifat “dilahirkan” (hal. 47).

Ada salah satu bab dalam tashawwur yang cukup penting. Ia adalah kajian tentang pertandaan (dalalah). Dalalah yakni konsepsi tentang suatu hal yang dengannya konsep lain diketahui. Contoh: 1) adanya asap menandakan adanya api (asap menjadi penanda/dalil bagi adanya api); 2) keberadaan sesuatu yang bermula menandakan keberadaan entitas lain yang menyebabkannya ada (adanya alam semesta merupakan penanda/dalil bagi adanya Pencipta). Berdasarkan cakupan maknanya, dalalah dibagi menjadi yang universal (الْكُلِّيّ) dan yang partikular (الْجُزْئِيّ). Dalalah yang universal contohnya “manusia”, mencakup Umar, Ahmad, Khadijah, dan sebagainya. Dalalah yang partikular contohnya “Usman” (hanya merujuk pada individu bernama Usman).

Selain tashawwur, tashdiq juga memiliki cakupan bahasannya tersendiri. Inti dari tashdiq adalah bagaimana menyusun hujjah (argumen). Mantiq biasanya mendefinisikan hujjah sebagai cara mencapai sebuah kesimpulan (pengetahuan baru) dengan berbekal premis-premis yang sudah diketahui. Jenis hujjah ada 3 yakni deduksi (qiyas), induksi (istiqra’), dan analogi (tamtsil)—urut dari yang terkuat ke yang terlemah. “Deduksi” disebut yang paling kuat karena 2 alasan. Pertama, tiap premis yang menyusunnya bernilai benar; kedua, premis-premis tersebut disusun dalam silogisme yang valid, kesimpulannya andal dan niscaya. Sementara itu, nilai kebenaran “induksi” bergantung pada seberapa banyak sampel/bukti yang menopangnya. “Analogi” sendiri disebut terlemah karena ia cukup berbekal 1 kasus partikular (hal. 105).

Bagian 3 buku ini tak lagi hanya berfokus pada kitab Mi’yar al-‘Ilmi. Azis Anwar Fachrudin menyajikan terjemahan beberapa paragraf dari kitab karya Abdul Qahir al-Baghdadi (980-1037 M) yang berjudul Ushul al-Din pada bagian 3 buku ini. Dalam kitab tersebut dipaparkan bahwa ada 1 golongan kaum sofis yang mengklaim bahwa tidak ada kebenaran dan pengetahuan tentang apa yang benar tidak mungkin dicapai. Golongan ini perlu ditanyai, “Apakah pengingkaran kalian akan adanya kebenaran itu adalah sebuah kebenaran?”. Jika mereka menjawab “ya”, artinya mereka mengafirmasi adanya kebenaran (atau dengan kata lain mereka menyanggah pandangan mereka sendiri). Golongan ini disebut ‘inadiyyah (kelompok nihilis).

Selain terjemah kitab Ushul al-Din, Azis Anwar Fachrudin juga menyuguhkan terjemah dari syarh Ahmad ibn ‘Isa al-Anshari terhadap kitab Umm al-Barahin karya al-Sanusi. Bagian yang diterjemahkan dari syarh tersebut adalah bab khusus tentang pembuktian rasional terhadap sifat-sifat ketuhanan. 1) Bukti dari sifat wujud-nya Allah adalah kebermulaan alam semesta. Alam semesta bersifat bermula, tercipta. Oleh sebab itu, ia meniscayakan adanya Pencipta. Sang Pencipta ini diwartakan oleh para nabi dengan nama “Allah”. 2) Bukti sifat qidam (ketidakbermulaan). Segala yang ada hanya ada antara tanpa mula (qadim) atau bermula (hadits), tidak ada kategori lain di luar itu. Jika Allah bermula, artinya harus ada yang membuat-Nya bermula. Hal ini akan menyebabkan terjadinya regresi tak berhingga (tasalsul) dan ini mustahil (hal. 168).

 3) Bukti sifat baqa’ (kekekalan). Maksud dari kekal ialah penegasian sifat ketiadaan. Jika ketiadaan dimungkinkan pada Allah, artinya keberadaan Allah bersifat ja’iz (bisa ada, bisa tidak). Padahal yang ja’iz tidak ada tanpa didahului ketiadaan. Oleh sebab itu, dalam akidah dinyatakan, “Segala yang tak bermula, mustahil tiada”. 4) Bukti sifat mukhalafah li al-hawadits (berbeda dengan semua entitas yang bermula). Entitas-entitas yang bermula (hawadits) adalah yang ada setelah tiada, entah itu berupa fisik, aksiden, maupun selainnya. Jika Allah sama dengan entitas yang bermula, niscaya Allah memiliki sifat bermula juga. Pembuktian rasional sifat-sifat Allah selengkapnya bisa dibaca lebih lanjut dalam buku ini.

Post a Comment

0 Comments