![]() |
Dok. Pribadi |
Judul : Tafsir Perempuan
Penulis : Asghar Ali Engineer
Judul Asli : The Qur’an, Women, and Modern Society
Penerjemah : Akhmad Affandi & Muh. Ihsan
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : I, Juni 2022
Tebal : 326 Halaman
ISBN : 978-623-5348-01-8
Resensator : Mohammad Azharudin
Harus diakui, sang penulis buku ini, Asghar Ali Engineer merupakan individu dengan pemikiran liberal. Dalam konteks kesetaraan gender, Asghar Ali melihat adanya perbedaan penerapan hukum oleh satu negara Muslim dengan negara Muslim lainnya terhadap perempuan. Menurutnya, alih-alih dipengaruhi perintah agama, perbedaan tersebut justru lebih dipengaruhi oleh kondisi sosio-politik. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa nash agama dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda oleh yang menafsirkannya. Asghar Ali berpendapat bahwa kitab suci perlu direinterpretasi sesuai dengan keadaan sejarah dan sudut pandang pengalaman umat Muslim (hal. 12).
Asghar Ali menyebut bahwa syariah hanyalah sarana, bukan tujuan. Pendapatnya ini didasarkan pada perkataan Ibn al-Qayyim yang menjelaskan bahwa syariah bukan dimaksudkan untuk mempersulit, melainkan untuk kesejahteraan hidup manusia di dunia dan akhirat. Asghar Ali lalu menuturkan bahwa para fundamentalis ingin menerapkan syariah secara mekanis tanpa berpikir, mereka seolah enggan mempertimbangkan kondisi modern. Inilah yang menyebabkan perkembangan syariah menjadi stagnan. Melihat hal ini, umat muslim mesti memiliki semangat kreatif ijtihad supaya dapat mengambil peran yang dibutuhkan di era modern.
Pemikiran-pemikiran Asghar Ali di atas memang terasa terlampau liberal. Namun, bukan berarti tak ada hal baik sama sekali yang bisa kita ambil darinya. Dalam bab 2 buku ini, Asghar Ali mengkritik keras adat istiadat di masa Jahiliyyah yang merendahkan status perempuan. Oleh sebab itulah, bagi Asghar Ali, hukum Islam (yang diekstrak dari wahyu Ilahi dan sunnah Nabi) adalah sesuatu yang revolusioner. Islam menetapkan norma-norma pasti dalam rangka meningkatkan status sosial perempuan. Tidak boleh lagi ada pihak yang memperlakukan perempuan layaknya barang dagangan yang diperjualbelikan (hal. 50).
Asghar Ali tak luput mengkritik pandangan mayoritas umat terkait poligami. Banyak orang memahami ayat al-Qur’an tentang poligami sebagai suatu kebebasan laki-laki untuk menikahi 4 perempuan. Padahal, al-Qur’an mengizinkan poligami hanya ketika manusia (dalam hal ini laki-laki) mampu untuk berlaku adil. Sementara itu, al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa perlakuan adil merupakan syarat yang hampir tidak mungkin dapat dipenuhi.
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Jika kamu mengadakan islah (perbaikan) dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Nisa’/4: 129)
Dahulu, poligami pernah dipraktikkan secara umum oleh masyarakat pra-Islam. Laki-laki tidak memiliki batasan dalam memperistri para perempuan. Masalah lainnya adalah saat itu—di kalangan masyarakat Arab dan masyarakat lainnya—tidak terdapat gagasan keadilan terhadap istri-istri tersebut. Suami benar-benar memiliki hak penuh untuk memutuskan siapa istri yang paling dicintainya. Kondisi yang demikian tidak diterima oleh al-Qur’an. Praktik poligami memang tidak dilarang mutlak oleh al-Qur’an. Namun, al-Qur’an hanya membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu yang sangat ketat (hal. 133).
Dalam bab 3, Asghar Ali mengurai akar penyebab rendahnya status perempuan di mata masyarakat. Menurutnya, banyak penafsir agama yang lahir dari masyarakat patriarkal. Mereka memberikan posisi dominan pada laki-laki dalam agama. Sebagai contoh, dalam literatur agama terdapat pernyataan bahwa perempuan memiliki kesamaan dengan hewan, yakni tidak mempunyai jiwa. Dalam tradisi Bibel, perempuan (Hawa) disebut tercipta dari tulang rusuk Adam sehingga menimbulkan kesan bahwa perempuan adalah makhluk sekunder. Dalam tradisi Yahudi, perempuan yang sedang menstruasi tidak boleh disentuh karena dianggap najis.
Diskriminasi terhadap perempuan seperti di atas tidak berlaku dalam al-Qur’an. Justru, al-Qur’an menjadi kitab suci yang pertama kali memberikan sikap adil kepada perempuan. Al-Qur’an memberi hak pada perempuan untuk menikah, bercerai, kekayaan, warisan. Salah satu ayat al-Qur’an yang memaparkan dengan lugas bahwa laki-laki dan perempuan itu sama adalah berikut ini.
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya muslim dan muslimat, mukmin dan mukminat, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan penyabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kemaluannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, untuk mereka Allah telah menyiapkan ampunan dan pahala yang besar. (QS. al-Ahzab/33: 35)
Melalui ayat di atas kita dapat memahami bahwa entah laki-laki atau pun perempuan akan diberikan ganjaran yang sama atas perbuatan baik yang dilakukan. Tidak akan ada sama sekali perbedaan perlakuan terhadap keduanya (hal. 82).
Asghar Ali juga tak lupa menyinggung soal perceraian. Menurutnya, mayoritas pakar hukum Islam (dari semua mazhab) meyakini bahwa hak untuk menceraikan adalah milik suami. Dengan kata lain, hanya suami yang dapat berinisiatif mengajukan perceraian. Namun, Asghar Ali berpendapat lain. Ia menyatakan bahwa al-Qur’an memberi hak kepada suami dan istri untuk berinisiatif mengajukan perceraian. Ini dapat dilihat pada ayat berikut.
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk) dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu (mahar) yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan batas-batas ketentuan Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan batas-batas (ketentuan) Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah, janganlah kamu melanggarnya. Siapa yang melanggar batas-batas (ketentuan) Allah, mereka itulah orang-orang zalim. (QS. al-Baqarah/2: 229)
Ayat termaktub memberi hak kepada suami maupun istri untuk melepaskan diri mereka masing-masing dari tali perkawinan. Apabila suami yang berinisiatif mengucapkan talak, ia hanya dibatasi 2 kesempatan. Lalu, jika sudah bercerai, maka suami tidak boleh meminta kembali apa yang telah diberikannya kepada istri (baik itu berupa mahar maupun pemberian biasa). Namun, apabila istri yang berinisiatif membebaskan diri dari tali perkawinan, maka ia harus membayar suaminya dan ia tidak dapat meminta tunjangan apa pun dari suaminya (hal. 150).
0 Comments