Ticker

6/recent/ticker-posts

“Para Penerka”, Tentang Polarisasi Politik yang Nyata di Depan Mata

 

Youtube.com/DeltaFMOfficial

Dalam memilih pasangan hidup, setiap orang pasti memiliki kriteria masing-masing. Hal yang sama berlaku dalam proses pemilihan pemimpin negara. Namun, masalahnya dari 3 pasangan yang maju di pilpres besok, sebagian besar anak muda merasa bahwa mereka punya terlalu banyak “kecacatan”. Ini membuat anak muda merasa bahwa para capres-cawapres hari ini belum memenuhi kriteria yang mereka tetapkan. Memang benar, “Tidak ada yang sempurna di dunia ini”. Pun demikian dengan para capres-cawapres hari ini. Tapi.....ah, sudahlah!.

Sejujurnya, saya sudah letih dengan apa yang disuguhkan media kaitannya dengan capres-cawapres. Kendati demikian, masih ada hal lain yang jauh lebih membuat saya mumet & sumpek (tapi kadang juga terhibur). Ia adalah perdebatan netizen soal capres-cawapres. Perdebatan ini kerap kali malah berujung pada olok-olokan personal. Tentu banyak dari kita yang heran, bagaimana bisa ada orang membela mati-matian sosok yang belum tentu peduli padanya!?. Jika cinta pada pasangan ada yang dibalas perselingkuhan, maka tak menutup kemungkinan cinta pada capres-cawapres akan dibalas penindasan.

Ada sebuah lagu yang menurut saya cukup menggambarkan kondisi netizen kita dalam iklim politik seperti sekarang. Mungkin kata “netizen” di sini terlalu global, lebih spesifiknya adalah “buzzerRp”. Lagu yang saya maksud terkait buzzerRp ini adalah lagu dari Iwan Fals dan NOAH yang berjudul “Para Penerka”. Lagu ini rilis tahun 2015 di album SATU milik Iwan Fals. “Para Penerka” membeberkan peristiwa yang terjadi saat ini di media sosial. Sebagaimana yang kita saksikan sendiri, media sosial memang sesak oleh caci maki, fitnah, adu domba.

Lagu “Para Penerka” dibuka dengan kalimat.

 

Bicarakan kehidupan tentang manusia

Dengar para penerka saling menerka

Perhatikan keributan pada sesama

Semua saling mencerca, saling mencela

 

Lirik ini merupakan wujud rasa muak sang pencipta lagu atas kondisi manusia sekarang. Banyak hal-hal sepele/tidak penting yang kita ributkan, tetapi pada akhirnya membuat kita saling lempar pencelaan.

Lalu, lirik selanjutnya.

 

Menghitam hati penuh kebencian bersahut-sahutan

Menebar kedengkian di kehidupan

Mereka berseru, menusuk jiwamu

Dengan cerita, dengan berita

 

Lirik ini dengan lugas mengingatkan kita bahwa ketika kita saling mencela, maka nurani kita akan menghitam. Kata “mereka” dalam lirik di atas—menurut saya—merujuk pada para buzzerRp. Lantaran adanya buzzerRp, rasa suka maupun rasa benci publik terhadap satu tokoh politik akan semakin tertanam kuat. Sayangnya, banyak dari kita tidak menyadari hal ini.

Adapun kata “cerita” pada lirik di atas mengarah pada narasi yang dibuat oleh para buzzerRp di media sosial. Disadari atau tidak, media sosial kita telah penuh oleh opini-opini ngawur (khususnya yang berkaitan dengan tokoh politik). Sebagian terlampau mengglorifikasi 1 tokoh, padahal sebenarnya tokoh tersebut biasa-biasa saja. Sebagian lainnya menjatuhkan habis-habisan 1 tokoh, padahal nyatanya tokoh tersebut tidak seburuk yang mereka narasikan. Tujuan dari hal-hal ini apa?. Ya! Mengendalikan sudut pandang publik tanpa mereka sadari.

Beralih ke kata “berita” dalam lirik di atas, saya menerjemahkannya dengan “hoaks”. Dalam tahun politik seperti sekarang, tugas besar lain dari para buzzerRp adalah memproduksi sekaligus mendistribusi hoaks sebanyak-banyaknya. Tujuannya, ya, masih sama; menggiring opini masyarakat. Jangankan emak-emak sang raja jalanan, para akademisi saja banyak yang terkecoh oleh hoaks. Terkecohnya masyarakat atas hoaks memang merupakan masalah. Namun, masalah yang jauh lebih besar adalah bagaimana membuat sadar mereka bahwa apa yang mereka telan itu tidak mengandung kebenaran.

Bagi kita yang telah mafhum dengan seperti apa ekosistem media sosial, mungkin tak akan sulit menerima fakta bahwa kita baru saja menjadi korban berita bohong. Namun, hal yang sama tidak berlaku bagi para orang tua yang terengah-engah dengan banjir informasi di media sosial. Kadang, ketika kita mencoba memberitahu mereka soal hoaks, kita malah dimarahi dan dianggap menentang orang tua. Berikutnya apa? Para orang tua ini akan menjadi tangan panjang pendistribusian hoaks. Angel wes! Angel tenan!.

Lirik selanjutnya,

 

Para pencela menaruh racun di mulutnya

Para penerka bercerita dengan prasangka

Prasangka buruknya

 

Melalui lirik ini, kita disadarkan bahwa apa yang mereka (para buzzerRp) katakan—atau mungkin lebih tepatnya, “apa yang mereka tulis”—di media sosial itu sangat membahayakan bagi kita karena mengandung racun. Bahkan bisa jadi racun tersebut membunuh akal sehat kita apabila kita tidak segera “mengobatinya”. Kita juga diterangkan bahwa narasi-narasi yang disebar oleh para buzzerRp di media sosial itu hanya didasarkan pada prasangka buruk mereka atas satu (atau beberapa) tokoh, bukan didasarkan pada fakta. Oleh sebab itu, kita sangat perlu meragukan narasi-narasi dari mereka.

Apa yang dibicarakan oleh lagu “Para Penerka” sedang kita alami saat ini. Kita dikurung dalam jeruji polarisasi politik. Opini kita dibentuk, persepsi kita dikendalikan. Kita kerap bertengkar dengan orang lain karena perbedaan pandangan terhadap tokoh politik tertentu. Apa yang kita peroleh dari sana? Kebencian. Ironis sebenarnya. Kita membuang banyak waktu untuk memperdebatkan individu-individu yang belum tentu peduli dengan kita. Sulit rasanya untuk menghentikan pertengkaran ini karena para buzzerRp tak akan berhenti begitu saja dari “pekerjaannya”. Pada akhirnya kita sadar bahwa dengan kehadiran para buzzerRp, maka iklim politik yang sehat—khususnya di media sosial—hanyalah dongeng. Sebagai penutup, saya tuliskan lanjutan lirik di atas untuk menggambarkan betapa nggilani-nya tingkah para buzzerRp.

 

Penerka banyak bicara, tak guna atau berguna

Merusak pikiran kita, prasangka berbusa-busa

Penerka di mana-mana, bagaimana monster merajalela

Pencela para pencela, sungguh busuklah hatinya

Post a Comment

0 Comments