Ticker

6/recent/ticker-posts

“Plato”, Sang Spiritualis tanpa Kompromi

 

Dok. Pribadi

Judul              : Filsafat Plato

Penulis           : Frederick Copleston

Judul Asli      : A History Of Philosophy (volume I)

Penerjemah   : Atollah Renanda Yafi

Penerbit         : BASABASI

Cetakan          : I, Oktober 2020

Tebal              : 320 Halaman

ISBN               : 978-623-305-000-5

Peresensi        : Mohammad Azharudin

 

Melanjutkan seri tokoh filsafat sebelumnya yang mengulas tentang Socrates (dapat dibaca di sini), buku Copleston kali ini membahas seputar Plato. Buku ini diawali dengan uraian mengenai kehidupan Plato. Diperkirakan Plato lahir pada tahun 428/427 SM di Athena. Keluarganya merupakan keluarga yang terpandang. Ayah Plato bernama Ariston, sementara ibunya bernama Perictione. Plato mempunyai 2 saudara laki-laki (masing-masing bernama Adeimantus dan Galucon) dan 1 saudara perempuan (bernama Potone). Setelah ayah Plato wafat, sang ibu (Perictione) menikah dengan Pyrilampes. Melalui pernikahan ini, Plato kemudian memiliki adik tiri yang bernama Antiphon.

Diogenes menyebut bahwa mulanya Plato bernama Aristocles. Namun, disebabkan sosoknya yang kuat, nama tersebut diubah menjadi Plato. Copleston mengomentari bahwa pernyataan Diogenes tersebut masih diragukan kebenarannya. Plato diyakini telah banyak menerima pendidikan budaya, karena Plato hidup ketika Athena sedang mengalami perkembangan budaya. Menurut Aristoteles, Plato muda pernah bertemu dengan Cratylus (seorang filsuf Heraclitean). Pelajaran yang didapat Plato dari Cratylus yakni, “Dunia persepsi indra adalah dunia yang berubah-ubah. Oleh sebab itu, ia tak dapat dijadikan subjek bagi pengetahuan sejati” (hal. 8).

Plato menjadi murid Socrates di usia 20 tahun, berdasarkan pendapat Diogenes. Namun, Charmides (saudara Perictione, ibu Plato) menyebut bahwa Plato telah mengenal Socrates sebelum umur 20 tahun. Menjadi murid Socrates bukan berarti Plato ingin mengabdikan diri sepenuhnya pada filsafat. Awalnya Plato justru berniat memulai karier politik. Niat termaktub juga tak lepas dari desakan kerabatnya di oligarki supaya ia (Plato) memasuki kehidupan politik di bawah perlindungan mereka. Namun, Plato di kemudian hari menyaksikan bahwa oligarki menggunakan kekerasan demi menegakkan kebijakan yang mereka buat dan berusaha melibatkan Socrates dalam kejahatan mereka. Plato pun merasa jijik dan akhirnya meninggalkan ide karier politik.

 Lanjut ke bab II dengan tema “Karya-karya Plato”. Copleston menduga kuat bahwa seluruh dialog yang diterbitkan Plato berhasil sampai di tangan generasi kita. Kendati demikian, catatan Plato terkait perkuliahannya di Akademi justru bernasib sebaliknya. Copleston menegaskan bahwa mengatakan, “Kemungkinan besar kita memiliki semua dialog Plato”, sama sekali berbeda dengan mengatakan, “Semua dialog yang datang kepada kita dengan nama Plato, sebenarnya memang ditulis oleh Plato sendiri”. Hal ini karena pernyataan kedua tersebut masih membutuhkan proses filterisasi terhadap mana yang asli dan mana yang dibuat-buat (hal. 19).

Buku ini mengklasifikasikan karya-karya Plato secara kronologis. Berikut detailnya.

1.     Periode Socratik

Dalam periode ini, Plato masih banyak terpengaruh oleh determinisme intelektual Socrates.

a.  Apologia. Pembelaan Socrates pada peradilannya.

b. Crito. Socrates digambarkan sebagai warga negara yang baik. Ia berkenan menyerahkan hidupnya demi mematuhi hukum negara.

c.  Euthyphron. Socrates menunggu persidangannya.

d.  Laches. Tentang keberanian.

e. Ion. Menentang kaum penyair.

f.  Protagoras. Kebajikan adalah pengetahuan dan bisa diajarkan.

g. Charmides. Tentang kesederhanaan.

h. Lysis. Tentang persahabatan.

i. Republik (buku 1)

 

2.     Periode Transisi

Periode di mana Plato mulai menemukan jalan terhadap pendapatnya sendiri.

a.  Gorgias. Politik praktis, keadilan tanpa kompromi.

b. Meno. Teori ideal untuk mengoreksi kemampuan mengajar.

c. Euthydemus. Penentangan terhadap kecacatan logika dari sofis-sofis baru.

d. Hippias I. Tentang keindahan.

e. Hippias II. Menyoal apakah lebih baik berbuat salah dengan sukarela atau tidak sukarela.

f. Craiylus. Tentang teori bahasa.

g. Menexenus. Sebuah parodi atas retorika.

 

3.     Periode Kematangan

Plato telah mempunyai idenya sendiri di periode ini.

a. Symposium. Semua keindahan duniawi hanyalah bayangan dari keindahan sejati.

b. Phaedo. Tentang ide dan imoralitas.

c. Republik. Tentang negara.

d. Phaedrus. Tentang sifat cinta.

 

4.     Karya di Masa Tua

a. Theaetetus. Pengetahuan bukanlah persepsi indrawi.

b. Parmenides. Pembelaan terhadap teori ideal.

c. Sophistes. Pertimbangan kembali terhadap “Teori Ide”.

d. Politicius. Penguasa sejati adalah dia yang ‘lebih tahu’.

e. Philebus. Relasi antara kenikmatan dengan kebaikan.

f. Timaeus. Tentang “Ilmu Alam”.

g. Critias. Negara agraris ideal sangat berbeda dengan kekuatan laut imperialistik.

h. Laws dan Epinomis. Plato memodifikasi utopisme Republik.

i. Surat 7 dan 8.

 

Melompat langsung ke bab V yang berisi ulasan tentang “Psikologi Plato”. Judul tulisan kali ini saya kutip dari bab V ini. Alasan Plato disebut sebagai “Spiritualis tanpa Kompromi” karena ia sama sekali tak menjadi korban dari sekolah kosmologis yang mengajarkan psikologi kejam, di mana jiwa direduksi menjadi udara, api, atau pun atom. Menurut Plato, jiwa tentu tak sama dengan tubuh. Jiwa merupakan hal paling berharga yang dimiliki manusia. Plato mendefinisikan jiwa—dalam karyanya yang berjudul Laws—sebagai “sumber gerak” (hal. 188).

Bagi Plato, jiwa lebih unggul daripada tubuh dan harus menguasai tubuh. “Satu-satunya benda yang benar-benar memiliki kecerdasan adalah jiwa dan ini adalah hal yang tak terlihat. Adapun api, air, bumi, dan udara merupakan benda yang terlihat”, begitu kata Plato di Timaeus. Kendati Plato telah membeberkan perbedaan fundamental antara jiwa dan tubuh, ia tetap menerima argumen bahwa jiwa dapat terpengaruh oleh apa yang terjadi pada tubuh. Masih dalam Timaeus, Plato mengakui  bahwa pendidikan jasmani yang buruk dapat memberi pengaruh jahat (bahkan memperbudak) jiwa.

Kita kemudian disuguhi penjelasan mengenai “Teori Moral” di bab VI. Copleston menulis bahwa sifat dari etika Plato adalah eudaimonistik; maksudnya, ia diarahkan pada pencapaian kebaikan tertinggi manusia yang di dalamnya terdapat kebahagiaan sejati. Hidup yang baik bagi manusia adalah “kehidupan yang tercampur”, bukan hanya kehidupan pikiran atau kehidupan atas kesenangan indrawi. Plato mengakui bahwa terdapat kesenangan yang memang tidak didahului oleh rasa sakit. Contohnya, kesenangan intelektual dan kesenangan yang bersumber dari rasa puas saat sebuah keinginan terpenuhi. Namun, dengan catatan kesenangan tersebut dinikmati dalam jumlah yang secukupnya (hal. 209).

 Plato menyatakan bahwa awal kehidupan yang baik haruslah mencakup semua pengetahuan tentang hal yang lebih sejati, yakni pengetahuan tepat tentang objek-objek abadi. Kendati demikian, bukan berarti manusia mesti memalingkan muka sepenuhnya dari kehidupan fana dan dunia material untuk menjalani kehidupan yang baik. Manusia sekadar diminta oleh Plato supaya menyadari bahwa alam yang dilihat saat ini bukanlah satu-satunya alam. Sementara itu, kebahagiaan sejati manusia ialah pengetahuan tentang Tuhan. Cara yang dapat ditempuh untuk mencapai kebahagiaan sejati ini adalah dengan menjadi seperti Tuhan (dalam arti menjadi manusia yang peduli terhadap siapa pun, menjadi manusia yang benar dengan bantuan kebijaksanaan).

 

Post a Comment

0 Comments