Ticker

6/recent/ticker-posts

Membaca Alam Semesta sebagai Manifestasi Kekuatan dan Kebijaksanaan Sang Pencipta

Dok. Pribadi

 
 

Judul              : Doktrin-doktrin Kosmologi Islam

Penulis           : Seyyed Hossein Nasr

Judul Asli      : An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines

Penerjemah   : Muhammad Muhibbuddin

Penerbit         : IRCiSoD

Cetakan          : I, Juni 2022

Tebal              : 442 Halaman

ISBN               : 978-623-5348-00-1

Peresensi        : Mohammad Azharudin

 

Sejujurnya, saya sangat kesulitan memahami inti dari buku ini. Sepertinya ada 3 faktor yang menyebabkannya. Pertama, buku ini merupakan buku terjemahan; tentu tata bahasa yang digunakan tak sama dengan buku yang sejak awal ditulis menggunakan bahasa Indonesia. Kedua, saya masih sangat sedikit bersinggungan dengan kosmologi. Ketiga, taraf pengetahuan saya sendiri memang masih sangat rendah. Meski begitu, saya akan coba sekeras mungkin (semampu saya) untuk menguraikan inti dari buku ini.

Kita mulai dari definisi kosmologi menurut KBBI. “Kosmologi adalah ilmu (cabang dari metafisika) yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan”. Dalam bagian “Kata Pengantar”, H. A. R. Gibb menuliskan bahwa al-Qur’an senantiasa mengingatkan dan menyadarkan umat Islam tentang apa tujuan sebenarnya mereka diciptakan. Tujuan tersebut mengacu pada tugas untuk menunjukkan prinsip-prinsip Keadilan Tuhan—yang meliputi realitas, harmoni, dan kebenaran—di muka bumi secara integral. Apa yang dimaksud “keadilan” di sini sama sekali tak berkaitan dengan perundang-undangan yang merupakan produk hukum buatan manusia (hal. 8).

“Keadilan” di sini bermakna prinsip keteraturan dan keutuhan, di mana semua elemen, anugerah, dan aktivitas kehidupan berada dalam hubungan yang harmonis. Upaya para ahli hukum untuk mendefinisikan penerapan keadilan Tuhan masih terbatas pada putusan-putusan hukum. Sementara itu, di sisi lain institusi pemerintah—sebagai penyatu politik—telah dirusak oleh kekuatan pedang dan dilemahkan oleh teori maupun praktik yang mengabaikan syariat. Bagi umat Islam sendiri, pemerintahan yang sesungguhnya tidak berada di tangan para sultan duniawi, melainkan berada dalam pemeliharaan orang-orang pilihan Tuhan atau para wali yang tidak dikenal dalam hierarki mereka.

Masuk langsung ke bab 2 yang mengulas tentang al-Biruni. Menurut sang penulis buku ini (Seyyed Hossein Nasr), melakukan kajian terhadap pemikiran kosmologis al-Biruni secara komprehensif merupakan perkara yang sangat sulit. Ini disebabkan karena karya-karya al-Biruni belum ditemukan secara keseluruhan. Hal yang bisa dilakukan untuk menemukan fondasi studi al-Biruni tentang manifestasi alam adalah dengan merangkai potongan-potongan kecil dari karya-karyanya yang berisi konsepsi mengenai alam (hal. 163).

Terkait dengan penciptaan dunia, al-Biruni yakin sepenuhnya bahwa dunia diciptakan dari “ketiadaan”. Ia juga menolak penuh gagasan soal keabadian dunia yang dikemukakan oleh para filsuf Yunani. Bagi al-Biruni, penciptaan dunia merupakan bagian dari wujud kekuasaan Sang Pencipta, bukan sesuatu yang harus ditolak oleh argumen apa pun yang dibuat-buat oleh akal manusia. Dalam kitabnya yang berjudul Tahdid Nihayat al-Amakin, al-Biruni memaparkan.

 

Sekarang saya katakan: “Jika dengan menunjukkan bukti-bukti rasional dan silogisme yang benar, kita dapat menyimpulkan bahwa dunia ini diciptakan, dan bahwa bagian-bagian dari periode terbatasnya, karena penciptaan dan keberadaannya, memiliki permulaan, kita tidak dapat dengan bukti-bukti seperti itu menyimpulkan besarnya bagian-bagian itu, yang akan memungkinkan kita menentukan tanggal penciptaan dunia”.

 

Seyyed Hossein Nasr berpendapat bahwa al-Biruni hanya puas pada kepastian asal-usul dunia dan tidak melangkah pada pengetahuan tentang sejarah berikutnya.

Dalam karya-karyanya, al-Biruni tidak pernah menjelaskan secara lengkap tentang makna istilah alam. Namun, ia pernah menulis.

 

Tidak ada keraguan bahwa vis naturalis (kekuatan kreatif alam), dalam seluruh tindakan yang diilhami dan diperintahkan untuk dilakukan, tidak pernah menjatuhkan bahan apa pun yang tidak digunakan, jika bertemu dengan yang demikian; dan jika ada banyak bahan, vis naturalis menggandakan tindakan menciptanya.

 

Alam ialah kekuatan yang membentuk dan mengatur segala yang ada di dalamnya tanpa kesia-siaan menurut rencana Ilahi. Bagaimana pun, kesempurnaan dan manajemen kosmos tidak dapat dinilai sama sekali dengan standar manusia. Harmoni dan keindahan alam akan ditemukan oleh manusia bukan dengan memproyeksikan perspektifnya yang terbatas soal kosmos, melainkan dengan menyadari kelemahannya dan tunduk pada kebijaksanaan Sang Pencipta (hal. 187).

Lanjut ke bab 3 yang memaparkan tentang Ibn Sina. Seyyed Hossein Nasr menjelaskan bahwa Ibn Sina membiarkan dirinya tidak terikat pada pembagian Sunni-Syiah. Kendati demikian, Ibn Sina adalah muslim yang sangat taat. Ia bahkan kerap ke masjid untuk berdoa dan memohon bantuan Allah swt untuk memecahkan masalah filosofis dan ilmiahnya. Kesetiaan Ibn Sina terhadap Islam dipertanyakan oleh beberapa ahli hukum eksoteris. Ibn Sina sendiri cukup sensitif dengan tuduhan bid’ah yang ditujukan padanya. Ia sangat meyakini bahwa dirinya adalah seorang muslim yang tulus.

Dalam bidang filsafat, Ibn Sina merupakan seorang “Filsuf Wujud (Philosopher of Being)”. Menurut Ibn Sina, bentuk pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang Wujud, yang mana pengetahuan matematika dan dunia fisik berada di bawahnya. Apa yang dimaksud Wujud di sini adalah penyebab dari semua maujud partikular. Wujud berada di atas semua perbedaan dan polarisasi. Wujud adalah sumber dari segala kebaikan dan keindahan, serta merupakan penyebab dari semua persepsi. Dalam Wajib al-Wujud (Tuhan), esensi dan eksistensi bersatu secara tak terpisahkan. Ia adalah “kebenaran murni” karena ia merupakan “kebaikan murni” (hal. 287).

Kaitannya dengan alam, Ibn Sina memandang alam sebagai kekuatan yang menggerakkan elemen menuju kesempurnaan yang mungkin baginya. Alam memiliki 3 kekuatan yang meliputi.

1.     Kekuatan menggerakkan yang berasal dari dunia perintah Ilahi.

2.     Kekuatan hidayah dari dunia intelek.

3.     Kekuatan kecenderungan menuju gerakan dari alam jiwa.

Alam dan elemen saling melengkapi dan tidak dapat ada tanpa satu sama lain. Dua hal ini diciptakan untuk saling berinteraksi. Alam ada untuk menggerakkan elemen. Sementara elemen datang setelah alam dan diberikan kemampuan untuk menerima gerakan/tindakan alam.

Dalam konteks kelahiran/penciptaan alam semesta, Ibn Sina menggunakan 4 kata untuk menunjukkannya.

a. Ihdath—penciptaan “wujud-wujud mungkin”, apakah mereka abadi ataukah sementara.

b. Ibda’—penciptaan tanpa perantara wujud-wujud yang tidak fana dan abadi, baik mereka bersifat jasmani maupun tidak.

c. Khalq—penciptaan, dengan atau tanpa perantara, makhluk jasmani, apakah mereka dapat musnah atau tidak.

d. Takwin—penciptaan dengan perantara “wujud-wujud fana”.

Bagi Ibn Sina, penciptaan adalah intelektualisasi oleh Tuhan dari Dzat-Nya sendiri. Tindakan intelektualisasi ini tidak terbatas, dan manifestasi alam semesta adalah pengetahuan abadi Tuhan tentang diri-Nya. Penciptaan juga merupakan pemberian keberadaan oleh Tuhan dan pancaran sinar akal sehingga setiap makhluk di alam semesta terkait dengan sumber Ilahinya melalui wujud dan kecerdasannya (hal. 306).

Post a Comment

0 Comments