![]() |
Dok. Pribadi |
Judul : Logika Ushul Fiqh
Penulis : Prof. Dr. H. Abu Yasid, M.A., LL.M.
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : I, Oktober 2019
Tebal : 280 Halaman
ISBN : 978-623-7378-07-5
Resensator : Mohammad Azharudin
Buku ini dibuka dengan pemaparan mengenai klasifikasi mazhab hukum Islam. Hal ini bermula pada abad ke-2 H, di mana kala itu lahir 2 kubu besar, yakni kubu tradisionalis (ahl al-hadits) dan kubu rasionalis (ahl al-ra’yi). Kubu rasionalis diwakili oleh Imam Abu Hanifah (w. 150 H) yang ada di Baghdad, sementara Imam Malik ibn Anas (w. 179 H) mewakili kubu tradisionalis di Hijaz. Dua kubu ini memiliki metode yang kontras dalam aktivitas istinbath. Imam Malik cenderung menggunakan hadis-hadis Rasulullah saw, fatwa sahabat, dan ‘amal ahl al-madinah (tradisi penduduk Madinah) dalam istinbath. Sementara Imam Abu Hanifah lebih sering memakai qiyas (analogi) dan sangat selektif dalam memilah hadis sebagai sumber penetapan hukum (hal. 17).
Imam al-Syafi‘i (w. 204 H) kemudian hadir di tengah kekontrasan kedua kubu tersebut. Sosok Imam al-Syafi‘i, di satu sisi, pernah berguru pada tokoh-tokoh kubu tradisionalis di Mekkah sebelum berguru pada Imam Malik di Madinah; di sisi lain Imam al-Syafi‘i juga melanjutkan rihlah intelektualnya ke Iraq untuk belajar kepada tokoh-tokoh rasionalis penerus Imam Abu Hanifah, salah satunya yakni Muhammad ibn al-Hasan (w. 189 H). Jalan menimba ilmu yang komprehensif tersebut menjadikan Imam al-Syafi‘i sebagai pribadi yang mengapresiasi penggunaan hadis dalam aktivitas istinbath sekaligus tidak menafikan penggunaan analogi.
Masuk ke bab 2 “Dimensi Keilmuan Ushul Fiqh”, kita fokus pada pembahasan maqashid al-syari‘ah. Para yuris era sekarang mendefinisikan maqashid al-syari‘ah sebagai tujuan asasi dari rangkaian proses pembentukan syariat untuk menerapkan kemaslahatan hamba, entah itu di dunia maupun di akhirat. Maqashid al-syari‘ah juga dapat diungkapkan sebagai upaya menjelaskan maksud Allah swt selaku syari‘ (pembuat syariat) dalam proses pembentukan syariat, baik itu menyangkut hukum-hukum juz’i maupun hukum-hukum kulli (hal. 60).
Menurut Ahmad al-Raisuni (pakar ushul fiqh asal Maroko), relasi antara fiqh dengan maqashid al-syari‘ah itu laiknya jasad dengan ruhnya. Berinteraksi dengan fiqh tanpa menghadirkan ruhnya dapat memicu tindakan yang destruktif. Ahmad al-Raisuni juga mengutip pendapat Imam al-Qarafi (w. 684 H) yang menyebut bahwa menggunakan pendekatan maqashid al-syari‘ah merupakan cara untuk menangkal klaim skeptis dari pihak-pihak yang meragukan kebenaran syariat. Selaras dengan hal ini, Imam al-Syathibi menjelaskan bahwa prasyarat bagi mujtahid ada 2, yakni.
1. Memahami maqashid al-syari‘ah dengan sempurna.
2. Menggunakan maqashid al-syari‘ah dalam praktik istinbath al-ahkam sesuai dengan konteks yang ada.
Imam al-Syathibi (w. 790 H) inilah yang sudah berperan besar mengantarkan ilmu maqashid al-syari‘ah ke titik kulminasinya. Dalam kitab al-Muwafaqat, Imam al-Syathibi membahas pernak-pernik maqashid al-syari‘ah secara khusus dalam jilid ke-2. Kitab al-Muwafaqat sendiri ditulis Imam al-Syathibi untuk menjembatani pola fiqh Hanafiyyah (kalangan ahl al-ra’yi) dengan pola fiqh Malikiyyah (kalangan ahl al-hadits). Apa yang dilakukan oleh Imam al-Syathibi ini sama dengan yang dilakukan oleh Imam al-Syafi‘i dalam kitab al-Risalah. Keduanya berusaha merespons pergolakan pemikiran antara dua kubu tadi dengan menyuguhkan teori baru sebagai alat analisis untuk membangun paradigma hukum yang selaras dengan konteksnya (hal. 72).
Lanjut ke bab 3 “Peran Logika dalam Pembentukan Kaidah Ushul Fiqh”. Dalam bab ini dipaparkan bahwa preskripsi hukum tidak lahir dari ruang hampa. Ia juga tak sekadar bekerja untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menyusun kehidupan yang berkeadilan dan berperadaban. Masalahnya, jumlah teks wahyu yang memayungi tujuan luhur tersebut sangat terbatas, sementara di sisi lain jumlah peristiwa hukum terus bergerak secara dinamis. Oleh sebab itu, sumber hukum Islam ada 3, yakni al-Qur’an, hadis, dan ijtihad. Adapun ijma‘, qiyas, istihsan (penganggapan baik), istishhab (pemberlakuan hukum masa lampau), maslahah mursalah, ‘urf, syar‘u man qablana, dan semacamnya merupakan hasil dari penggunaan nalar ijtihad.
Langsung ke bab 4 “Logika Ushul Fiqh dalam Beberapa Contoh Penafsiran Teks Wahyu”, yang merupakan inti dari buku ini. Kita fokus pada pembahasan mafhum al-mukhalafah. Prof. Abu Yasid (si penulis) menguraikan bahwa mafhum al-mukhalafah adalah penunjukan lafal untuk menetapkan hukum yang tidak disebutkan secara tersurat, dan hukum tersebut berlawanan dengan hukum yang disebutkan secara tersurat dalam lafal (hal. 119). Mafhum al-mukhalafah memiliki 6 kategori, yaitu.
a. Mafhum al-shifah (penyebutan nama sesuatu yang masih umum, disertai sifat yang khusus). Contoh:
فِي الْغَنَمِ السَّائِمَةِ زَكَاةٌ
Dalam kambing yang dilepas, terdapat kewajiban zakat. ( Dikutip dari kitab Hasyiyah al-‘Aththar ‘ala Syarh al-Jalal al-Mahalliy ‘ala Jam‘i al-Jawami‘. Dalam kitab ini disebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Nasa’i).
Kata sifat “dilepas” dalam hadis di atas memberi implikasi bahwa mafhum al-mukhalafah dari hadis termaktub adalah bagi kambing yang tidak dilepas (diberi makan sendiri oleh pemiliknya), maka tidak dikenakan wajib zakat.
b. Mafhum al-syarth (dikaitkan dengan syarat tertentu). Contoh:
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
...Jika mereka (para istri yang dicerai) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan... (QS. al-Thalaq/65:6)
Mafhum al-mukhalafah dari ayat di atas yakni apabila istri yang diceraikan tidak sedang mengandung, maka tidak ada kewajiban memberi nafkah.
c. Mafhum al-ghayah (dikaitkan dengan batasan waktu tertentu). Contoh:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
...Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar... (QS. al-Baqarah:2/187)
Mafhum al-mukhalafah dari ayat tersebut adalah tidak diperbolehkan makan dan minum bagi orang yang berpuasa apabila fajar telah terbit.
d. Mafhum al-‘adad (dikaitkan dengan hitungan angka tertentu). Contoh:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah mereka masing-masing dari keduanya seratus kali... (QS. al-Nur/24:2)
Mafhum al-mukhalafah dari ayat termaktub ialah hukuman cambuk untuk pezina laki-laki maupun perempuan tidak boleh kurang dan tidak boleh pula lebih dari 100 kali.
e. Mafhum al-laqab (dikaitkan dengan sebuah nama). Contoh: “Muhammad adalah utusan Allah swt”. Mafhum al-mukhalafah dari ungkapan ini adalah “selain Muhammad bukan utusan Allah swt”. Jenis mafhum al-mukhalafah yang satu ini ditolak oleh mayoritas yuris karena tidak layak untuk dijadikan dalil hukum. Mafhum al-mukhalafah dari contoh tadi sudah tentu salah, sebab Allah swt juga memiliki utusan lain selain nabi Muhammad saw.
f. Mafhum al-hashr (pembatasan berlakunya hukum pada masalah-masalah tertentu). Contoh, lafal “maa” (tidak) digandengkan dengan lafal “illa” (kecuali). Contoh lainnya yaitu lafal “innamaa” (sesungguhnya) dalam hadis berikut:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya... (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Mafhum al-mukhalafah dari hadis di atas ialah perbuatan yang tidak disertai niat maka dianggap tidak ada (tidak sah).
Penggunaan mafhum al-mukhalafah sendiri memiliki setidaknya 3 syarat, yakni.
1. Kandungan mafhum al-mukhalafah tidak kontradiktif dengan dalil lain yang lebih kuat. Contoh:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
Apabila kamu bepergian di bumi, maka tidak dosa bagimu untuk meng-qashar shalat jika kamu takut diserang orang-orang kafir... (QS. al-Nisa’/4:101)
Mafhum al-mukhalafah dari ayat di atas yakni tidak diperbolehkan meng-qashar shalat dalam keadaan aman (tidak takut diserang orang kafir). Namun, mafhum al-mukhalafah ini tentu tak dapat digunakan lantaran terdapat hadis Rasullah saw yang memperbolehkan meng-qashar shalat dalam keadaan aman.
2. Adanya batasan dalam teks wahyu disyaratkan tidak mempunyai fungsi dan kegunaan lain selain untuk menetapkan mafhum al-mukhalafah. Fungsi lain tersebut misalnya untuk menyenangkan, menakuti, memberi semangat, menyebut nikmat Allah swt, dan sebagainya. Contoh:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda... (QS. Ali ‘Imran/3:130)
Mafhum al-mukhalafah dari ayat ini yaitu diperbolehkan memakan riba yang tidak berlipat ganda. Ini tentu tak dapat diterapkan. Pasalnya, batasan “dengan berlipat ganda” dalam ayat di atas bukan berfungsi untuk diambil logika terbaliknya, melainkan untuk membuat orang-orang mukmin menjauhi perbuatan riba yang kerap dilakukan oleh orang-orang jahiliah.
3. Adanya batasan dalam teks wahyu bukan untuk menjelaskan hal yang sudah menjadi adat-kebiasaan di masyarakat. Contoh:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
...Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan batas-batas (ketentuan) Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya... (QS. al-Baqarah/2:229)
Ayat termaktub menerangkan bahwa kebolehan seorang istri melakukan tuntutan cerai (khulu’) dibatasi oleh prakondisi ketika mereka khawatir tidak dapat melaksanakan kewajiban masing-masing. Mafhum al-mukhalafah-nya di sini adalah seorang istri tidak diperbolehkan mengadakan tuntutan cerai jika tidak terdapat prakondisi tersebut. Hal ini jelas tak dapat digunakan. Sebab, tuntutan cerai istri bisa saja datang dari prakondisi yang lain. Batasan “khawatir tidak mampu menjalankan ketentuan Allah swt” dalam ayat di atas berfungsi untuk menyatakan kebiasaan yang terjadi masyarakat terkait tuntutan cerai.
0 Comments