Ticker

6/recent/ticker-posts

Tentang Polisi yang Mengeroyok Mahasiswa dan Saya yang Kian Yakin pada Quote soal “Malas Membaca”

 

Unsplash.com/Madrosah Sunnah

Tahun 2025 baru dimulai, tapi kita sudah dapat suguhan berita buruk soal polisi. Sebenarnya, ini bukan hal yang mengagetkan. Sebab, sebagaimana telah kita ketahui bersama, citra polisi di mata masyarakat itu sangat busuk. Banyak orang mengakui bahwa apabila ada orang yang kehilangan 1 ekor sapi, jika ia lapor polisi, ia akan kehilangan 1 ekor lagi. Tak heran kalau dulu tagar #PercumaLaporPolisi pernah naik. Namun, walau dikritik dari arah mana pun, institusi ini tak bergeming sama sekali. Mereka seolah punya prinsip, “Masyarakat berteriak, anjing polisi tetap berulah”.

Kemarin ada berita tentang 11 polisi yang mengeroyok mahasiswa. Penyebabnya adalah si mahasiswa ini menegur salah satu polisi yang berkunjung ke asrama putri hingga larut malam. Ini apa-apaan sih!?. Saya heran, kenapa logika para (oknum) polisi itu hampir selalu bertolak belakang dengan logika umum yang berlaku. Dalam kasus di atas, jelas si (oknum) polisi yang berkunjung ke asrama putri bersalah. Kalau memakai logika orang waras, mestinya dia merasa bersalah saat ditegur, minimal merasa malu lah ya!. Tapi kalau pakai logika polisi, ya.....yang terjadi seperti dalam berita di atas.

Kasus pengeroyokan oleh 11 polisi ini tentu sangat ironis. Ia menjadi bukti bahwa sebagian aparat kita itu tidak bekerja untuk rakyat, tidak juga menyadari bahwa mereka digaji dari uang rakyat. Justru, mereka tampak seolah memandang rendah rakyat dan merasa mempunyai kuasa mengambil tindakan represif terhadap rakyat. Jadi, saya rasa dengung soal “Polisi Mengayomi” itu perlu diganti dengan “Polisi Melalukan Represi”. Jika tidak bisa atau tidak mau diganti, tak mengapa. Biarlah rakyat yang membacanya sendiri secara terbalik, sehingga kita pun akan sadar betul bahwa bukan hanya logika polisi yang terbalik, tapi slogan mengayominya pun demikian.

Bicara soal logika, pasti selalu terkoneksi dengan aktivitas membaca. Kaitannya dengan hal ini, kita sudah tak asing lagi dengan quote berikut.

Rajin membaca, jadi pandai.

Malas membaca, jadi polisi.

Mulanya dulu saya menilai bahwa quote di atas merupakan sindiran tanpa substansi. Namun, kalau dihubungkan dengan logika polisi yang hampir selalu berlawanan dengan logika masyarakat, saya akhirnya mafhum bahwa quote termaktub adalah sebuah realita. Faktanya memang demikian. Apa yang sudah sangat jelas benar, di mata polisi justru salah. Contoh dari hal ini ialah korban begal yang membela diri, malah dijadikan tersangka oleh polisi.

Menurut teman-teman, apa kata/kalimat yang representatif untuk kenyataan di atas?. Ironis?, Lucu?, Konyol?, atau Yah.....mau gimana lagi, namanya juga polisi Indonesia!. Apa pun itu, yang jelas saya (dan sebagian besar orang) sudah sangat muak dengan tingkah polisi. Mereka pun juga seolah tak peduli dengan penilaian masyarakat. Apa yang penting bagi mereka adalah kerja santai, gaji banyak, tak lupa juga ceperan dari berbagai sumber. Wah! Asyik sekali sepertinya. Pantas sih! Membaca saja malas, apalagi bergerak (kecuali ada uang buat nasi ayam bakar, es jeruk, bensin 1 liter, dan Surya 1 bungkus).

Saya harap, di kemudian hari tidak muncul cerita tentang polisi yang memperbaiki citra diri. Mengapa? Pertama, cerita itu belum terbukti kebenarannya (setidaknya sampai tulisan ini dibuat); kedua, tidak ada hikmah yang bisa diambil di sana. Menurut saya, generasi berikutnya perlu tahu bahwa polisi di negeri ini bukanlah sosok bak pahlawan yang layak dielu-elukan. Mereka lebih pantas disebut penindas, pemeras, dan suka mencari-cari (atau mengarang) kesalahan masyarakat awam. Bahkan, asumsi buruk saya, sebagian polisi selama ini justru merupakan bagian dari roda kriminalitas yang ada.

Walau sudah jelas problematik, polisi masih menjadi salah satu profesi idaman mertua. Tak perlu naif di sini. Manusia hidup butuh uang yang tak sedikit. Meski sering menjadi musuh masyarakat, harus diakui bahwa gaji polisi itu tidak kecil dan selalu terjamin. Sewajarnya manusia biasa, limpahan uang dapat menutupi mata dari fakta yang busuk. Jadi, apabila di lingkungan kalian ada orang yang menginginkan menantu seorang polisi, bukan berarti ia sama busuknya seperti mereka. Orang tua tersebut sekadar menjalankan peran sebagai makhluk ekonomi. Perkara nanti ada huru-hara dalam keluarga mereka, ya.....itu sudah risikonya. Na’udzubillahi min dzalik.

Ngerasani soal polisi, pasti kita akan selalu ingat dengan pernyataan Gus Dur yang menyebut bahwa hanya ada 3 polisi yang bisa dipercaya di negeri ini. Pernyataan Gus Dur yang sudah sangat lawas itu masih relevan hingga ibu kota Indonesia dipindahkan. Hal itu menjadi penanda jelas bahwa polisi tidak juga berbenah hingga saat ini. Pada 2045 nanti, katanya tanah air kita akan menjadi “Indonesia Emas”. Masalahnya, aparat kita saja tampak enggan memperbaiki diri. Lalu untuk apa “Indonesia Emas” nanti kalau hanya rakyat yang disuruh cerdas, sementara aparat semakin beringas dalam memeras.

Sudah banyak netizen yang bersuara terkait pengalaman buruk mereka dengan polisi. Sebagai rakyat biasa yang tak tahu apa-apa, saya sekadar ingin memberi saran kepada bapak-bapak berseragam coklat yang terhormat, tolong perbanyak membaca!. Jika tak mau, tolong jangan ajari para penerus njenengan untuk malas membaca juga!. Bapak-bapak polisi yang kami benci cintai, bila Anda semua ingin menerima gaji besar tanpa harus bekerja keras, jadi peternak tuyul saja. Kalau Anda semua memilih jadi polisi, lalu timbal balik dari pajak yang kami bayarkan itu wujudnya apa?. Jika Anda semua tidak mau melayani rakyat, kemudian rakyat merasa sia-sia membayar pajak dan memilih untuk tak mau lagi membayarnya, siapa coba yang pusing? Bu Sri Mulyani kan!?.

Post a Comment

0 Comments