Ticker

6/recent/ticker-posts

Potensi What If... ? Season 3 yang Disia-siakan dan MCU yang Harus Sadar Diri

 

imdb.com

What If... ? merupakan sebuah serial di mana segala hal mungkin terjadi. Ini tentu menjadi hal yang menarik sebab kita dapat melihat cerita lain dari rangkaian cerita MCU yang sudah kita tonton. Saat baru pertama rilis di tahun 2021, What If... ? terasa “menyegarkan”. Tiap episodenya selalu saya tunggu untuk melihat cerita alternatif apa yang akan disuguhkan. Mulai dari Steve Rogers yang digantikan perannya oleh Peggy Carter hingga Ultron yang mengalahkan The Avengers. Seluruh rangkaian cerita itu pada akhirnya bermuara di episode 9 yang saya rasa sangat memuaskan.

Namun, semua yang sudah saya dapat di season pertama, tak terulang kembali di season 3. Apa yang terjadi justru sebaliknya. Saya kerap kali mengantuk saat menonton What If... ? season 3, alih-alih tidak sabar menunggu episode berikutnya. Mulanya saya mengira hal ini hanya terjadi pada diri saya. Namun, ternyata ada banyak orang yang juga bersuara bahwa What If... ? season 3 adalah sebuah downgrade. Ini juga didukung rating di IMDb, di mana semua episode What If... ? season 3 tidak ada yang menyentuh angka 7, sementara season pertama ada beberapa episode yang nyaris mendapat rating 9.

What If... ? season 3 menjelma sebagai serial yang sama sekali tak mementingkan penonton dan jalan cerita. Apa itu pendalaman karakter? Apa itu konflik yang berarti? Semua itu tidak penting bagi MCU di serial ini. Hal yang lebih penting bagi mereka adalah memasukkan agenda yang tidak penting. Contoh nyata dari hal ini ialah kehadiran karakter Birdie. Mengapa saya menyebutnya tidak penting?. Begini! Marvel itu sudah punya banyak karakter yang tingkat penguasaan teknologinya berada di next level. Jika pun harus dari gender perempuan, ada Shuri dan Riri Williams untuk dipilih. Tapi anehnya, kenapa MCU malah membuat karakter baru yang lahir dari pasangan bebek angkasa dan manusia?.

Sejujurnya, sulit bagi saya untuk menyukai karakter-karakter baru buatan MCU belakangan ini (seperti Birdie dan Kahhori). Saya merasa ada pemaksaan pada mereka, terutama ke-over power-annya. Mereka dinarasikan seolah karakter yang sangat sempurna, tidak punya kelemahan, bahkan seakan tidak bisa terluka. Mereka tampak lebih—dari segi apa pun—dibanding manusia biasa (jika tak mau dikatakan “kehilangan sisi manusiawinya”). Karakter yang terlalu sempurna seperti ini menurut saya membawa kesan membosankan. Tidak ada kompleksitas pada diri mereka sehingga penonton sulit menaruh empati.

Bukan hanya karakter, cerita dalam What If... ? season 3 juga kurang menarik. Misalnya, di episode 1 kita diperlihatkan mecha milik The Avengers. Namun, bukannya menjadi epic, malah berakhir tak berguna. Mecha tersebut dihadirkan hanya untuk menjadi samsak besar. Padahal ini adalah sesuatu yang sangat unik bila dieksplorasi lebih dalam. Namun, MCU malah lebih memilih untuk menjadikannya rongsokan. Penonton pun kena scam. Saat melihat trailer, tampaknya begitu menjanjikan. Tapi saat rilis, ternyata zonk. Selain mecha, ada juga Agatha yang entah seperti apa kelanjutan kisahnya selepas menyerap kekuatan Celestials.

What If... ? season 3 punya segudang potensi, tetapi MCU malah mengesampingkannya. Hidup memang penuh dengan pilihan. Tapi menjadikan What If... ? season 3 seperti apa yang sudah ada bukan sebuah pilihan, melainkan kebodohan. Bagaimana bisa cerita-cerita seru dipendam dalam-dalam, sementara cerita tidak penting dan membosankan malah ditaruh di permukaan. Sebuah karya itu memang seharusnya independen, bebas dari agenda-agenda kaum egois yang merasa diri mereka tak pernah diwakili. Karya itu untuk dinikmati, bukan untuk memaksa audiens mengikuti standar semu. Jika tujuan sebuah karya diciptakan untuk komersial, harusnya si kreator mengikuti permintaan kebanyakan penontonnya.

Sayang sekali, What If... ? season 3 ini merupakan season terakhir. Kita tidak bisa lagi melihat cerita alternatif dari karakter-karakter Marvel. Namun, saya rasa MCU harus mengambil hikmah dari kegagalan What If... ? season 3 ini. Eksperimen—jika tak mau disebut “pemaksaan agenda”—yang mereka lakukan di sini terbukti menghancurkan sebuah karya yang sebenarnya punya potensi disukai banyak orang. Jika MCU mengulangi lagi di lain hari, sudah bisa dipastikan para penonton akan memilih fim maupun series dari franchise lain.

Sebenarnya, mengharap MCU berbenah itu adalah sesuatu yang naif. Kita sudah berulang kali menyaksikan bahwa MCU bukannya berjalan maju, justru berjalan mundur. Kualitas CGI yang setara sinetron, plot hole di mana-mana, villain yang motivasinya hanya ingin kekuatan besar atau ingin menghancurkan dunia; semua itu seolah terus muncul di berbagai proyek mereka. Saya pun heran kenapa MCU semakin ke sini, semakin tak punya arah. Banyak karakter baru diperkenalkan, tapi peran mereka di kemudian hari seolah tak pasti. Selain itu, beberapa post credit scene juga tampak sia-sia hingga kini.

Lantaran film Avengers: Endgame, para penonton menaruh ekspektasi yang cukup tinggi pada proyek-proyek MCU berikutnya. Mereka menunggu kejutan apa lagi yang akan disuguhkan pada mereka. Akan tetapi, yang mereka dapat sering kali justru sebaliknya. Sebagai penonton, mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk membuang ekspektasi. Bahkan kalau bisa, kita suuzan sejak pertama kali trailer proyek MCU dirilis. Ya! Lebih baik kita menerka, “Kekecewaan apa lagi yang akan kita dapat?”, daripada menunggu kejutannya. Biar sudah MCU memasukkan agenda-agenda tak penting dan menutup telinga atas kritik dari penonton. Sisanya, kita tunggu apakah MCU masih punya banyak penonton di kemudian hari!?.

Post a Comment

0 Comments