![]() |
imdb.com |
Beberapa hari waktu yang lalu (bahkan mungkin hingga saat ini) berita tentang buruknya citra polisi menghiasi timeline media sosial saya (bisa jadi mungkin kita). Mulai dari tagar #percumalaporpolisi hingga polisi yang membanting seorang mahasiswa. Apa yang terjadi setelah itu tentu kita sudah tahu, sudah pasti ‘klarifikasi’. Budaya klarifikasi saat ini sangat mudah dibaca. “Habis viral, terbitlah klarifikasi”. Seolah-olah klarifikasi hanya sebagai bentuk formalitas untuk menyelesaikan riuh masalah yang telah terjadi. Jika nggak viral, mungkin nggak akan ada klarifikasi―bahkan mungkin nggak ada permintaan maaf. Hal ini juga berlaku dalam kasus pembantingan mahasiwa oleh polisi. Mungkin bila kasus tersebut nggak ada yang merekam, bisa jadi pelaku saat ini bisa dengan tenang menyesap kopi sambil bercerita kepada kawan-kawannya tentang betapa gagah, perkasa, dan kuatnya dirinya. Dan, mungkin ketika korban melaporkan hal tersebut pada kepolisian, ia malah ditertawakan dan disuruh pulang. Ini mungkin lho ya, mungkin! Bisa jadi kan realitanya. . . . . sama seperti itu, siapa yang tahu kan?.
Namun, benar apa kata Bondan Prakoso, “Hidup memang tak selalu seperti yang kita inginkan, yang kita harapkan”. Ndilalah peristiwa pembantingan tersebut ada yang merekam, dan dapat banyak kecaman dari netizen. Akhirnya apa? Peristiwa pembantingan tersebut batal menjadi cerita indah tentang heroisme bagi anak-cucu pelaku ketika ia berada di usia senja nanti. Lantas, peristiwa tersebut pun harus menjadi cerita yang diambil hikmahnya. Cerita yang ditutup dengan kalimat, “Jangan sampai kalian meniru apa yang ayah/kakek lakukan ya! Duhai anak-cucuku yang cantik dan ganteng!”. Yah, setidaknya dengan begitu―jika pelaku memang bercerita pada anak-cucunya lho ya―pelaku tampak sebagai orang yang bijaksana meski tanpa cerita kepahlawanan di masa muda.
Terlepas dari itu, sebenarnya citra polisi dari dulu di mata masyarakat nggak bagus-bagus amat, sih!. Kiyai saya pernah berucap, “Ketika ada orang kemalingan sapi 1 ekor, si pemilik kemungkinan besar tidak akan melaporkan kasus tersebut ke polisi. Karena apa? Bila dilaporkan maka si pemilik sapi tadi akan kehilangan 1 ekor sapi lagi”. Maksud dari perkataan beliau cukup jelas bahwa polisi akan mematok tarif yang tinggi untuk penanganan kasus kemalingan sapi tersebut. Tapi tenang! Sebenarnya ada kok tempat yang menunjukkan citra baik polisi. Nggak percaya? Silakan lihat di akun Instagram @komikpolripresisi. Saya jamin, di sana kalian akan menemukan polisi-polisi yang (digambarkan) baik hati, mengayomi, solutif. Pokok’e benar-benar merepresentasikan kriteria “idamanmu”.
Yah, tapi “idamanmu”
yang sebenarnya adalah seperti yang kita semua telah saksikan yakni seorang
spesies pembanting. Kita saja seandainya melihat kucing dibanting pasti akan
menilai bahwa si pembanting adalah sosok yang jahat. Lha ini yang dibanting
malah manusia e! Penilaian apa yang patut kita sematkan pada spesies itu?.
Makin hari citra polisi yang sebenarnya perlahan terungkap, masyarakat pun kian
geram dengan mereka. Berdasar hal tersebut, saya rasa sudah saatnya polisi
digantikan oleh para anak anjing Paw Patrol. Berikut dua alasan yang
mendasarinya.
1. Lebih Kompeten dan Berperikemanusiaan
Dalam iklan yang pernah saya tonton di channel Nickelodeon, dijelaskan bahwa salah satu yang diajarkan oleh Paw Patrol adalah problem solver abilities. Dan, nyatanya emang benar demikian. Mereka (para anak anjing Paw Patrol) selalu fokus pada bagaimana caranya menyelesaikan masalah yang mereka hadapi―tentunya dengan dibantu arahan dari Ryder. Berbeda dengan polisi, mereka menaruh fokus pada jumlah uang yang setorkan pelapor. Slogannya jelas, “Tanpa uang, siap-siap kasus Anda kami tertawakan, dan silakan kembali pulang!”.
Tak hanya itu, para anak anjing Paw Patrol juga punya sisi kemanusiaan meski mereka adalah hewan. Belum pernah saya melihat mereka menggunakan device dan teknologi yang dimiliki untuk menyakiti villain utama mereka yakni walikota Humdinger. Berbanding terbalik dengan ‘idamanmu’; mentang-mentang punya badan lebih besar dari yang dihapai, mentang-mentang udah belajar ilmu bela diri, main banting orang seenak hati. Ya...maklum sih, ‘idamanmu’ itu kan sosok yang tampan dan pemberani―tapi sangat disayangkan sih karena mereka beraninya mbanting mahasiswa, belum (atau mungkin nggak) berani mbanting Juliari Batubara.
2. Memperbaiki Citra Anjing
Selama ini anjing selalu diperlakukan secara diskriminatif saat manusia marah-marah. Entah apa salah para anjing sampai membuat manusia yang tersulut emosinya selalu menyebut-nyebut nama mereka. Seolah-olah para anjing dianggap sebagai hewan yang paling hina dan kurang ajar. Padahal, kadang si penyebut kata ‘anjing’ waktu marah lebih kurang ajar ketimbang anjing itu sendiri.
Nah, dengan hadirnya para anak anjing Paw Patrol sebagai pengganti polisi, hal tersebut siapa tahu bisa menjadi media untuk memperbaiki citra anjing. Anjing tak lagi dianggap sebelah mata, tak lagi didiskreditkan oleh mereka yang kalah main game. Tak menutup kemungkinan ketika para anak anjing Paw Patrol menggantikan polisi, maka yang disebut-sebut waktu marah bukan lagi ‘anjing’, melainkan ‘polisi’. Dengan demikian, para anjing nggak lagi bertanya-tanya, “Emang salah kita apa kok disebut-sebut terus waktu mereka marah? Kita kan nggak sekurang ajar polisi yang mbanting mahasiswa!?”.
Demikianlah dua hal yang menjadi alasan mengapa sekarang sudah saatnya polisi digantikan oleh para anak anjing Paw Patrol. Sayangnya, para anak anjing Paw Patrol itu hanya fiktif. Sama kayak pernyataan polisi sesuai prosedur dan polri tegas humanis, itu semua hanya FIKTIF! Eh, maksud saya hanya tagar!.
0 Comments