Ticker

6/recent/ticker-posts

Tentang Nikah Muda dan Urgensi Menikmati Hidup

 

Dok. Pribadi

Menikah merupakan salah satu momen yang paling dinanti oleh banyak orang, terutama dari kalangan usia muda. Menikah adalah satu titik di mana kita akhirnya dapat hidup bersama secara sah dengan orang yang kita sayang. Bicara soal menikah, kerap kali yang terbayang dalam kepala kita adalah momen-momen romantis bersama pasangan. Tak heran bila hal itu menjadi salah satu faktor pendorong bagi beberapa orang untuk segera melangkah ke jenjang pernikahan―meskipun toh sebenarnya mereka belum bisa dikatakan ideal untuk menjadi suami/istri. Lantas, bagaimana kita menyikapi hal-hal semacam itu?.

Majalah Aula edisi Agustus 2021 mengupas detail perkara nikah muda (nikah dini) ini. Dalam rubrik “Ummurrisalah” dipaparkan bahwa terjadinya perceraian, salah satunya, disebabkan oleh nikah muda. Fenomena nikah muda sendiri banyak digandrungi lantaran 2 hal; pertama, menjamurnya konten romantisme di media sosial; kedua, nikah muda dinyatakan sebagai antitesis dari maraknya zina (pacaran dan seks bebas) di kalangan anak muda. Selain itu, beberapa suku di Indonesia memiliki tradisi yang―secara tidak langsung―mendorong (atau mendukung) praktik pernikahan dini. Dan, mereka masih memegang teguh tradisi itu. Komisioner KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah, mengungkapkan bahwa jumlah perkawinan anak di Indonesia masih lumayan tinggi.

Memang benar nikah muda dapat menyelamatkan anak muda dari zina. Namun, harus benar-benar dipastikan dulu apakah mereka yang memutuskan nikah muda telah siap dengan badai dalam rumah tangga―utamanya yang menyangkut KDRT, keadaan ekonomi, kehadiran anak, campur tangan orang tua/mertua, hingga orang ketiga. Ini bertujuan untuk menekan persentase kemungkinan terjadinya perceraian. Kaitannya dengan hal termaktub, negara (dalam hal ini KUA) sebenarnya telah mengambil peran dalam wujud program “Bimbingan Perkawinan (Binwin)”. Beberapa materi yang disuguhkan dalam program Binwin yakni manajemen konflik keluarga, pengelolaan keuangan, kesehatan keluarga, dan ketahanan keluarga terhadap berbagai problematika hari ini.

Jika KUA hadir melalui program Binwin demi memberikan pemahaman pada calon pengantin (khususnya usia muda/dini), maka KPAI mengambil segmen yang lain. KPAI sendiri berupaya untuk memberikan penjelasan kepada para orang tua tentang hal-hal buruk yang sangat mungkin terjadi akibat pernikahan usia dini. Misalnya, anak yang belum mencapai umur 19 tahun kondisi tubuhnya belum benar-benar siap untuk hubungan seksual, kehamilan, hingga persalinan. Ketidaksiapan tersebut dapat menimbulkan trauma di satu sisi dan di sisi lain mengandung risiko komplikasi medis. Selain itu, hal yang juga perlu mendapat porsi perhatian besar adalah banyaknya tanggung jawab sebagai orang tua pascapersalinan.

Seperti telah disebutkan di awal, pernikahan dini menjadi salah satu penyebab tingginya angka perceraian. Ketika terjadi perceraian (akibat pernikahan dini), akan muncul masalah dalam sisi ekonomi. Sang ibu, mau-tak mau, harus menghidupi anaknya. Bila ia bukan berasal dari golongan dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, hal ini akan berdampak pada terciptanya kemiskinan. Guna meminimalisir seluruh problematika tersebut, harus ada aturan tertulis yang menetapkan usia minimal pernikahan. UU No. 16 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menjadi realisasinya. Dalam UU tersebut, tepatnya pada pasal 7, dijelaskan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila laki-laki dan perempuan telah berusia 19 tahun.

Selain menyajikan ulasan tentang nikah muda/dini, majalah Aula edisi Agustus 2021 ini juga menyuguhkan pembahasan tentang urgensi menikmati hidup. Namun, menikmati hidup di sini justru sebagai upaya mengingat kematian. Penjelasan terkait hal tersebut tertuan dalam rubrik “Lentera Gus Baha”. Seperti yang kita semua tahu, kematian adalah keniscayaan bagi seluruh makhluk―tak terkecuali manusia. Kendati demikian, hampir semua manusia merasa tak siap dengan kematian sehingga manusia kerap kali lari darinya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Surat al-Jumu’ah/62 ayat 8 yang terjemahnya, “...Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

Ada banyak peristiwa yang membuat kita (manusia) merasa takut akan kematian. Misalnya, ketika terjadi bencana tsunami di Aceh, orang-orang―selain masyarakat Aceh―merasa takut (pula) akan adanya tsunami. Saat ada gempa di suatu daerah, semua orang pun lantas takut akan terjadinya gempa. Termasuk juga wabah Covid-19. Ketakutan (yang berlebihan) terhadapnya membuat orang berbondong-bondong untuk memborong masker dan obat-obatan. Selain takut mati, manusia juga sering merasa tidak siap untuk mati. Ketidaksiapan itu ditandai dengan banyaknya keinginan manusia sebelum mati. Sebagai contoh, ada yang ingin mati setelah dirinya kaya, ada pula yang ingin mati bila sudah melihat anak dan/atau cucunya mapan.

Bicara soal kematian, ada sebuah kisah di zaman Nabi Sulaiman as yang menarik. Kala itu, salah seorang umat Nabi Sulaiman asa berniat meminjam angin apabila malaikat maut (Izrail) datang untuk mencabut nyawanya. Saat malaikat Izrail mengunjungi Nabi Sulaiman as di Palestina, ia keheranan sebab melihat orang tadi juga berada di Palestina. Padahal, orang tersebut ditakdirkan mati hari itu di India. Orang tersebut ternyata―dengan izin Allah swt―juga mampu melihat keberadaan malaikat Izrail. Ia pun meminjam angin Nabi Sulaiman as dan bergegas ke India. Akhirnya, malaikat Izrail pun dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang tertulis dalam takdir. 

Jika kita sudah mafhum bahwa kematian adalah keniscayaan, lantas apa yang mesti kita lakukan?. Kita justru tak boleh patah semangat sambil menunggu takdir kematian tiba. Kita harus tetap bersemangat dan mencintai (menikmati) hidup. Tujuannya adalah supaya kita lebih fokus dan lebih banyak dalam mengumpulkan bekal untuk menghadap Allah swt. Kita mesti lebih giat dalam berbuat baik kepada orang lain. Bila kita merasa lelah terus-terusan berbuat baik, setidaknya kita jangan sampai menganggu orang lain.

Post a Comment

0 Comments