![]() |
Dok. Pribadi |
Wadas, sebuah desa di Jawa Tengah ini sempat menjadi sorotan publik pada awal 2022 lalu. Jika kita mengetik kata “Wadas” pada search engine, kita akan menemukan bahwa “Wadas melawan” menjadi keyword yang paling direkomendasikan. Ini menunjukkan betapa tingginya gelombang penolakan (perlawanan) masyarakat terhadap proyek Bendungan Bener. Melansir tempo.co, permulaan konflik Wadas ini adalah tahun 2013, di mana kala itu warga Wadas mendengar kabar akan adanya pembangunan bendungan. Konflik mulai memanas pada September 2019. Kala itu, berdasarkan penuturan LBH Yogyakarta, terjadi pengepungan di Wadas dan 11 warga sempat ditangkap.
Mengingat betapa runyamnya problematika di Wadas, seluruh media meliputnya, tak terkecuali majalah Aula edisi Maret 2022. Dalam majalah ini, disebutkan bahwa Ganjar Pranowo―selaku Gubernur Jawa Tengah―datang ke Wadas untuk menemui warga yang kontra dengan penambangan batu andesit. Peristiwa tersebut terjadi pada Minggu (13/2/2022). Saat berbicara di hadapan warga, Ganjar mengawalinya dengan memohon maaf atas terjadinya kekerasan dan penangkapan oleh aparat pada hari Selasa (8/2/2022) sebelumnya. Terjadi komunikasi dua arah dalam pertemuan antara Ganjar dengan warga tersebut. Artinya, warga tak hanya menyimak apa yang disampaikan oleh Ganjar, melainkan juga mendapat kesempatan untuk menyuarakan seluruh isi hatinya.
Langkah yang diambil Ganjar termaktub mendapat respons positif dari beberapa tokoh NU (Nahdlatul Ulama). Yenny Wahid, putri kedua Gus Dur, menilai bagus tindakan Ganjar yang tak enggan turun langsung untuk berdialog dengan warga Wadas. Menurut Yenny, hal tersebut dapat membuat Ganjar mendengar berbagai perspektif, entah itu dari pihak yang pro maupun yang kontra. Senada dengan Yenny, Gus Muwafiq memaparkan bahwa apa yang dilakukan oleh Ganjar merupakan bentuk tanggung jawab seorang pemimpin. Disebut tanggung jawab karena Ganjar tak hanya duduk di belakang meja sambil melakukan pemantauan. Dalam pandangan Gus Muwafiq, tindakan Ganjar tersebut membutuhkan keberanian.
Lebih lanjut, dalam rubrik “Aktualita” dipaparkan bahwa konflik yang terjadi di Wadas bukan hanya antara warga dengan aparat. Konflik tersebut bahkan memecah persatuan antarkelompok warga. Kelompok warga pro dengan yang kontra tak lagi saling menyapa. Hal tersebut lalu menjalar pada pelaksanaan kegiatan sosial-keagamaan, di mana ia hanya melibatkan kelompok masing-masing. Emha Saiful Mujab, koordinator komunitas Masyarakat Terdampak Desa Wadas (Mata Desa), menyebut bahwa konflik Wadas bahkan bisa lebih jauh dari itu. Ia melihat ada seorang ibu yang enggan datang ke hajatan anaknya lantaran berbeda pandangan terkait apa yang terjadi di Wadas.
PBNU menaruh perhatian yang besar pada konflik Wadas. Katib Aam PBNU, KH. Akhmad Said Asrori, datang langsung ke Wadas pada Minggu sore (13/2/2022). Kedatangan Kiai Said ini bermaksud untuk bersilaturahmi kepada warga serta mengadakan istighotsah bersama mereka. Selain itu, Kiai Said juga berpesan pada warga supaya menjaga 4 hal. Pertama, menjaga akidah; dalam situasi yang bagaimana pun, jangan sampai kita kehilangan akidah. Kedua, menjaga diri; ketika terdapat orang yang berniat menyakiti, kita wajib menjaga diri kita dengan segala cara. Ketiga, menjaga harta milik; saat kita memiliki harta, maka ia menjadi hak kita sepenuhnya dan orang lain tak patut semena-mena merampasnya. Keempat, menjaga persatuan; apa pun yang terjadi, jangan sampai membuat kita berujung pada perpecahan.
Majalah Aula edisi Maret 2022 ini, selain menyajikan isu Wadas, juga menyajikan pandangan Islam terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal itu terdapat pada rubrik “Masail Umat” yang diisi oleh Ustadz Ahmad Muntaha AM, beliau merupakan founder dari Aswaja Muda. Kaitannya dengan KDRT, ada sebuah ayat al-Qur’an yang seolah mengarah padanya. Ia adalah surat al-Nisa’/4 ayat 34 berikut.
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“...Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya...” (QS. al-Nisa’/4: 34)
Dalam ayat di atas, terdapat kata “wadhribhunna” yang secara harfiah bermakna “dan pukullah mereka”. Bagi sebagian kelompok, hal tersebut kerap dijadikan pembenaran atas praktik KDRT. Pertanyaannya, benarkah Islam―melalui ayat di atas―menormalisasi KDRT?.
Menurut Ustadz Ahmad Muntaha AM, ada beberapa detail yang mesti diperhatikan kaitannya dengan ayat di atas. Pertama, seluruh tindakan yang disebut dalam ayat di atas tujuan utamanya adalah mendidik istri supaya ia kembali taat pada suami. Oleh sebab itu, tindakan yang mesti didahulukan adalah tindakan yang paling ringan. Tindakan berat (memukul) dapat diambil hanya apabila tindakan-tindakan sebelumnya (menasihati dan/atau mendiamkan) sama sekali tidak memiliki dampak. Kedua, jika terpaksa untuk mengambil tindakan memukul, maka pukulan yang dibolehkan adalah yang sangat ringan. Misalnya, pukulan dengan siwak/sikat gigi dan semacamnya. Jadi, pukulan yang berpotensi berujung pada luka berdarah, lebam, patah tulang, bahkan kematian jelas adalah sesuatu yang tidak dibenarkan.
Ketiga, kebolehan suami memukul istri (dengan pukulan yang tidak membahayakan) tidak didahului oleh permusuhan di antara keduanya. Keempat, berdasarkan pendapat Ibn Hajar al-Haitami, apabila istri hanya akan jera dengan pukulan yang membahayakan, maka suami tidak diperkenankan sama sekali memukul istri (entah itu pukulan yang ringan maupun membahayakan). Kelima, meskipun pukulan ringan diperbolehkan dengan maksud mendidik, tetapi yang terbaik adalah tidak melakukannya sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw.
Perkara yang kerap ditanyakan kaitannya dengan KDRT ini adalah bagaimana hukum mengadukan kekerasan (aib) suami pada orang lain?. Mengacu pada pendapat al-Hafidh al-Munawi, hukum asal mengadukan aib suami pada orang lain adalah makruh. Namun, Islam memiliki prinsip dasar yang menyatakan, “La tha’ata li makhluqin fi ma’shiyatil khaliq (tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam maksiat pada Allah)”. Dengan demikian, ketika suami melakukan KDRT dan tidak akan berhenti selama tidak dilaporkan, maka hal tersebut tidak tergolong aib yang mesti disimpan rapat-rapat oleh istri. Dan, istri yang melaporkan KDRT suami tidak keluar dari status istri salihah.
0 Comments