Ticker

6/recent/ticker-posts

Paras Islam (di) Nusantara yang Tidak Intimidatif terhadap Budaya

 

Dok. Pribadi

Judul              : Islam NUsantara: Manhaj Dakwah Islam Aswaja di Nusantara

Penulis            : Tim PW LBM NU Jawa Timur

Penerbit          : PW LTN NU Jawa Timur (Bekerja Sama dengan PW LBM NU

Jawa Timur dan Universitas Negeri Malang)

Cetakan          : I, November 2018

Tebal              : xvi + 80 Halaman

ISBN               : 978-602-50207-6-6

Peresensi        : Mohammad Azharudin

 

Buku yang terbilang cukup tipis ini merupakan wujud dari hasil Bathsul Masail Maudhu‘iyyah PWNU Jawa Timur yang dilaksanakan pada 13 Februari 2016 di Universitas Negeri Malang. Tim penulis buku ini terdiri dari 12 orang yakni.

1.      KH. Ahmad Asyhar Shofwan, M.Pd.I

2.      KH. Azizi Hasbulloh

3.      KH. MB. Firjhaun Barlaman

4.      KH. M. Mujab, Ph.D

5.      K. Ahmad Muntaha AM, S.Pd

6.      KH. Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I

7.      KH. Ali Maghfur Syadzili, S.Pd.I

8.      KH. Syihabuddin Sholeh, S.Ag

9.      KH. Muhammad Mughits

10.  K. A. Fauzi Hamzah

11.  K. Anang Darunnaja

12.  K. Ali Romzi

Isi dari buku ini sendiri lebih berfokus pada dalil-dalil yang berkaitan dengan kekhasan Islam di Nusantara, bukan historisitas masuknya Islam di Nusantara

Dalam buku ini dituliskan bahwa yang dimaksud Islam Nusantara adalah Islam ahl al-sunnah wa al-jama‘ah yang diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan oleh para pendakwahnya dengan menyesuaikan karakteristik masyarakat dan budaya di bumi Nusantara. Menurut KH. Ma’ruf Amin, terdapat 3 pilar utama dalam Islam Nusantara. Pertama, pemikiran (fikrah); memiliki cara berpikir yang moderat (tawasuth). Kedua, gerakan; Islam Nusantara dimobilisasi oleh semangat menuju perbaikan. Ketiga, ‘amaliyyah; segala hal yang dilakoni oleh nahdliyyin harus lahir dari dasar pemikiran yang berlandaskan pada fiqh dan ushul fiqh. Adapun ―masih menurut KH. Ma’ruf Amin―aspek penanda dari Islam Nusantara ada 5 yang meliputi.

a.       Ishlahiyyah (reformasi). Setiap pemikiran, gerakan, dan amalan yang dilakukan nahdliyyin harus selalu berorientasi pada perbaikan.

b.      Tawazuniyyah (seimbang). Maksudnya seimbang di segala bidang atau menimbang pada keadilan.

c.       Tathawwu‘iyyah (sukarela). Dalam menjalankan pemikiran, gerakan, maupun amalan, nahdliyyin tidak boleh memaksakannya pada pihak lain. Nahdliyyin wajib memperhatikan hak-hak orang lain yang tidak berafiliasi dengan NU.

d.      Akhlaqiyyah (santun). Seluruh pemikiran, gerakan, dan amalan dijalankan sesuai dengan etika kemasyarakatan, kenegaraan, juga keagamaan.

e.       Tasamuh (toleran). Ini biasanya dinarasikan dengan kalimat, “Sepakat untuk tidak sepakat”.

Selain hal di atas, buku ini juga menyajikan beberapa dalil yang menjadi landasan bagaimana Islam ketika berhadapan dengan budaya. Setidaknya ada 2 sikap. Pertama, mengakomodir budaya. Salah satu ayat al-Qur’an yang mengakomodir budaya adalah surah al-Nur/24 ayat 26 berikut ini.

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga). (QS. al-Nur/24: 26)

 

Secara tekstual, ayat tersebut memaparkan bahwa perempuan keji untuk lelaki keji, sementara perempuan baik untuk lelaki baik. Ayat ini disebut mengakomodir budaya karena pada umumnya orang baik akan memilih orang baik pula sebagai pendamping hidup. Meski demikian, dalam syariat tidak diharamkan perempuan keji bersuami lelaki baik dan sebaliknya.

Kedua, budaya yang mendapat legalitas dalam Islam. Hal ini bisa kita lihat dalam praktik puasa ‘Asyura’ yang diterangkan dalam hadis riwayat Imam Muslim di bawah ini.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالُوا: هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي أَظْهَرَ اللهُ فِيهِ مُوسَى، وَبَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ، فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ

 

Dari Ibn ‘Abbas ra, ia berkata: “Rasulullah saw tiba di Madinah, lalu beliau bertemu dengan orang-orang Yahudi sedang berpuasa di hari ‘Asyura’. Mereka lantas ditanyai tentang puasa tersebut, sehingga mereka menjawab: “Ini adalah hari di mana Allah memenangkan Nabi Musa as dan Bani Israel mengalahkan fir‘aun, dan kami berpuasa di hari ini karena mengagungkannya”. Lalu Nabi saw bersabda: “Kami lebih utama (di dalam kesesuaian) dengan Nabi Musa as daripada kalian”. Selanjutnya beliau memerintahkan untuk berpuasa di hari tersebut”. (HR. Muslim)

 

Imam al-Nawawi memberi pemaparan lebih lanjut, “Kesimpulan dari keseluruhan hadis-hadis yang berkaitan dengan hal ini (puasa ‘Asyura’) menunjukkan bahwa sesungguhnya orang-orang jahiliyyah―baik dari kelompok orang-orang kafir Quraisy maupun kelompok lainnya―serta orang-orang Yahudi (sebelum Islam datang sudah) berpuasa di hari ‘Asyura’. Kemudian Islam datang dan memerintahkan puasa di hari itu sebagai bentuk penguatan”.

Berdasar 2 sikap di atas, Islam Nusantara lantas merumuskan 4 pendekatan yang bisa dilakukan kepada budaya yang ada di Nusantara, yaitu.

1.      Adaptasi, digunakan apabila budaya yang ada, secara prinsip, tidak bertentangan dengan syariat. Contohnya, budaya bahasa krama inggil dan krama alus yang dipakai oleh masyarakat Jawa kepada orang yang lebih tua. Dalil yang mendasarinya adalah hadis riwayat Imam al-Tirmidzi ini.

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اتَّقِ اللهِ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

Dari Abi Dzar, ia berkata: Rasulullah saw berkata kepadaku: “Bertakwalah engkau kepada Allah di mana pun engkau berada, dan ikutilah keburukan dengan kebaikan maka engkau akan meleburnya. Dan pergaulilah manusia dengan pekerti baik”. (HR. al-Tirimidzi)

 

Ali ibn Abi Thalib lalu menerangkan bahwa yang dimaksud pekerti baik dalam hadis di atas adalah “menyesuaikan diri dengan masyarakat dalam hal apa pun, kecuali kemaksiatan”.

 

2.      Netralisasi, diambil jika budaya yang dihadapi tercampur antara hal-hal yang diharamkan (yang dapat dihilangkan) dengan hal-hal yang dibolehkan. Contohnya terdapat dalam surah al-Baqarah/2 ayat 200 di bawah ini.

فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ

 

Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berzikirlah kepada Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu, bahkan berzikirlah lebih dari itu. Maka di antara manusia ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami! Berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun.

 

Imam Mujahid menjelaskan bahwa ayat termaktub turun berkaitan dengan kebiasaan orang-orang jahiliyyah yang kerap berkumpul dan membangga-banggakan nenek moyangnya masing-masing seusai menjalankan ibadah. Allah swt lantas memerintahkan―melalui ayat di atas―supaya aktivitas berkumpul itu diisi dengan zikir kepada-Nya.

 

3.      Minimalisasi, dipakai bila budaya yang ada mengandung keharaman yang tidak bisa dihapus saat itu juga. Minimalisasi dapat dilakukan dengan 2 cara. Pertama, mengurangi keharamannya sebisa mungkin. Kedua, membiarkan keharaman yang ada dengan catatan keharaman tersebut dapat melalaikan pelakunya dari keharaman lain yang lebih berat.

 

4.      Eliminasi, dilakukan kalau budaya yang ada mengandung keharaman yang mesti dihilangkan. Namun, perlu dicatat, eliminasi di sini dilakukan secara bertahap. Contohnya adalah eliminasi terhadap kepercayaan animisme dan dinamisme. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad saw terhadap keyakinan paganisme di masyarakat Arab.

Post a Comment

0 Comments