Ticker

6/recent/ticker-posts

Ingatan Masa Lalu Memalukan dan Kita yang Harus Tetap Melanjutkan Hidup

 

Unsplash.com

Kita, apa pun statusnya—rakyat, pejabat, maupun penjilat—pasti memiliki memori. Apalagi ketika musim hujan, hampir semua orang di media sosial membicarakan soal kenangan. Memang begitulah hidup, beberapa momen yang telah kita lewati akan tersimpan di kepala, tapi sebagian lagi hilang entah ke mana. Sialnya, momen-momen yang tersimpan di kepala itu tak seluruhnya indah dan menyenangkan. Tak sedikit dari momen-momen termaktub yang justru membuat kita malu, bahkan ingin misuh pada diri sendiri. Pertanyannya, mengapa momen-momen memalukan itu bisa tiba-tiba hadir di kepala?.

Melansir kumparan.com, menurut Lia Kvavilashvili (peneliti psikologi dari University of Hertfordshire) penyebab hadirnya ingatan memalukan tersebut belum diketahui secara pasti. Namun, Lia mengemukakan 3 kemungkinan penyebabnya. Pertama, melihat atau mendengar sesuatu yang berkaitan dengan ingatan memalukan itu. Kedua, respons atas peristiwa dalam ingatan tersebut; bila respons yang timbul adalah ketidakpuasan, ingatan itu akan kembali muncul disertai rasa ingin mengubahnya. Ketiga, bisa jadi ingatan memalukan tersebut hadir, tapi dari perspektif orang-orang yang kala itu melihatnya.

Sementara itu, laman alodokter.com mengategorikan munculnya ingatan memalukan termaktub ke dalam PTSD (post-traumatic stress disorder). Beberapa indikasi dari PTSD di antaranya, penderita kerap ingat kejadian trauma, menghindari sebisa mungkin hal-hal yang punya kaitan dengan trauma, muncul perasaan menyalahkan diri, mudah takut atau marah. Namun, pengategorian PTSD ini tidak berlaku mutlak. Sebab, tak menutup kemungkinan munculnya ingatan memalukan itu adalah hal lain (bukan PTSD). Yah.....terlepas dari rumitnya semua itu, yang jelas kemunculan ingatan memalukan secara tiba-tiba merupakan hal yang merepotkan dan tidak menyenangkan.

Nah, pertanyaannya sekarang, apakah kehadiran ingatan memalukan itu punya fungsi tertentu dalam hidup?. Saya belum menemukan jawaban yang bersumber dari penelitian ilmiah terkait pertanyaan tersebut. Namun, ada satu jawaban yang menurut saya cukup logis dan memuaskan. Melihat kehidupan yang selalu berubah, sebagai manusia kita akan melakukan adaptasi. Kehadiran ingatan memalukan, sederhananya, dapat memberikan sugesti pada diri kita sendiri supaya di masa depan kita tidak mengulanginya. Ya! Bukankah salah satu jalan memperbaiki diri adalah dengan tidak jatuh di lubang yang sama, tidak mengulangi—secara sengaja—kesalahan yang dulu pernah dilakukan?.

Meski telah belajar dari kesalahan masa lalu, kadang kejadian memalukan di lain hari masih terjadi. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan jika mengalami kejadian yang memalukan (lagi). Pertama, menertawakan diri sendiri. Saya mafhum bahwa menertawakan diri sendiri bukan perkara gampang. Tapi jika dipikir-pikir, menertawakan diri sendiri justru akan membuat orang lain (yang melihat kejadian memalukan tersebut) ikut tertawa bersama ktia, alih-alih menertawakan kita. Dan, ya.....ditertawakan orang lain bukan perkara yang nyaman bukan!?. Jadi, mengapa tidak coba untuk ikut tertawa bersama mereka?.

Kedua, mengakui bahwa diri kita malu. Saat mengalami peristiwa memalukan, di lain hari mungkin kita akan menyangkal (tak menerima) hal tersebut. Namun, semakin kita menyangkalnya dengan keras, biasanya peristiwa itu malah kian menghantui kepala kita. Tampaknya akan lebih baik bila kita mencoba untuk berdamai dengannya, mengakui bahwa kita memang malu atas peristiwa tersebut. Ketiga, menguraikan alasan di balik kejadian memalukan itu. Misalnya, kita bertemu orang yang perawakannya mirip dengan teman kita. Namun, setelah kita menghampirinya ternyata ia adalah orang lain. Dalam momen ini, kita bisa mengatasinya dengan meminta maaf pada orang tersebut sambil menjelaskan mengapa kita salah menduga.

Sekarang mari beralih ke pertanyaan yang (mungkin) kerap muncul di kepala kita. “Andaikan kita bisa pergi ke masa lalu, apakah kita akan mengubah banyak hal—termasuk mencegah kejadian memalukan?”. Beberapa orang barangkali punya kemauan kuat atas hal tersebut. Tapi yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah, “Apa dengan mengubah masa lalu, diri kita akan menjadi lebih baik ketimbang yang sudah ada saat ini?”. Belum tentu. Bahkan bisa jadi apa yang sudah kita miliki saat ini akan hilang. Jadi, saya rasa, pergi ke masa lalu untuk mengubahnya itu tak perlu. Kejadian memalukan yang sudah terjadi cukup menjadi pelajaran di hari ini. Apa yang sudah ada pada kita saat ini, bagaimana pun diri kita sekarang, ya.....itu sudah menjadi yang terbaik. Tidak kurang, tidak pula lebih. Sisanya tinggal bagaimana kita menjadi pribadi yang tidak stagnan.

Memang begitulah hidup, kadang berjalan tak selaras dengan apa yang ada di kepala kita. Sudah beban hidup tak ringan, ditambah pula kejadian memalukan. Apa karena semua itu kita lantas akan mengakhiri langkah yang telah kita mulai bertahun-tahun lalu?. Tak adil rasanya bila kita berhenti disebabkan sesuatu yang sebenarnya dapat dilupakan, baik oleh diri kita sendiri maupun orang lain. Kejadian memalukan bukanlah mimpi buruk yang menjadi nyata. Ia adalah bagian dari hidup, semacam “selingan”, yang kedatangannya tak dapat kita prediksi. Ia juga bisa tertutupi oleh kejadian-kejadian “normal” sesudahnya.

Jangan pula kejadian memalukan menghambat kita untuk melakoni aktivitas yang baik dan benar. Tak perlu dipikirkan terlalu dalam. Jika memang bisa melupakannya, lupakan secara perlahan. Namun, bukan berarti kita juga membuang rasa malu. Bagaimana pun memiliki rasa malu adalah keharusan. Sebab, tanpa rasa malu, kita tak ada bedanya dengan makhluk lain yang tak dianugerahi akal. Bukankah seperti itu prinsip umum yang berlaku!?. Buktinya kita kerap berteriak “anj*ng” saat orang lain berbuat sesuatu yang “tak benar” di mata kita.

Kejadian memalukan mungkin akan terus ada. Ingatan terhadapnya pun juga akan tetap berdatangan—meski tidak semuanya. Belum lagi ketika kejadian itu—tak sengaja—terabadikan lewat smartphone dan kemudian didistribusikan melalui media sosial, orang yang menjadi aktor utamanya pasti menanggung malu berkali-kali lipat. Lagi dan lagi, dalam realitas semacam ini, sangat penting bagi kita untuk bisa berdamai dengan keadaan dan diri sendiri. Dengan begitu, harapannya kita akan tetap melanjutkan hidup, bukan malah menutupnya secara paksa.

Post a Comment

0 Comments