![]() |
Unsplash.com |
Menikah merupakan salah satu target semua manusia. Tak heran bila konten soal pernikahan mempunyai banyak audiens. Yah.....begitulah “kehidupan cinta”, begitu indah dalam khayalan, padahal sebenarnya butuh banyak pengorbanan. Ngomong-ngomong soal cinta, beberapa waktu yang lalu kita disuguhi sesuatu yang (mungkin) tak terbayangkan di kepala. Pertama, tentang pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Ferdy Sambo dan komplotannya; kedua, penganiayaan secara arogan yang dilancarkan Mario Dandy. Kedua kasus tersebut memiliki titik utama yang sama. Ya! Cinta. Bisa jadi di luar sana masih banyak “peristiwa gila” lain yang juga dilatarbelakangi oleh cinta—hanya saja tak tersorot oleh media.
Kembali ke soal pernikahan. Seperti yang kita semua sudah mafhum, menikah bukan semata mempertemukan 2 individu, melainkan mempertemukan 2 keluarga. Oleh sebab itulah, pascamenikah ada istilah “mertua-menantu” sebagai bukti relasi kekeluargaan antara kita dengan orang tua pasangan kita. Kaitannya dengan hal tersebut, saat dulu saya belum lama mengenal Instagram, saya menemukan satu istilah yang menarik perhatian saya kala itu, yakni “menantu idaman”. Menariknya, menantu idaman yang saya lihat saat itu digambarkan sebagai sosok yang paham betul dengan agama, berparas menarik, dan berhati lembut.
Sejujurnya, dulu saya sempat terpengaruh oleh “doktrin” tersebut. Namun, di kemudian hari saya merasa ragu dan bertanya, “Bukankah standar tersebut terlalu sempurna bagi manusia biasa?”. Bayangkan saja! Untuk menjadi seorang menantu idaman kita harus ganteng/cantik, punya pemahaman agama yang mendalam, dan tidak pernah marah. Bila kita mencari pasangan yang seperti itu, kita akan dijemput ajal duluan sebelum berhasil menemukannya. Oke! Mari kita kuliti satu per satu supaya lebih jelas.
Pertama, kita harus memiliki pemahaman yang mendalam terhadap agama. Ini jelas bukan perkara mudah. Agama itu otoritatif. Kita harus belajar pada orang yang benar-benar kredibel sehingga ilmu yang kita peroleh itu memang valid dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Nah, yang jadi masalah di sini adalah tidak semua orang punya kesempatan untuk belajar agama. Beberapa orang waktunya tersita banyak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yang mana bila mereka tidak bekerja sehari saja perut mereka (dan anggota keluarganya) akan kosong di esok harinya.
Kedua, memiliki paras yang menarik. Ya! Saya juga mafhum bahwa Nabi saw memperbolehkan kita memilih jodoh atas dasar parasnya. Namun, tidak semua orang punya privilese tampan/cantik. Standar ini jelas menyakiti orang-orang yang parasnya tidak semenarik orang lainnya. Memang benar, ganteng/cantik itu relatif. Kita ganteng/cantik di mata orang yang tepat. Sayangnya, realitas sosial berkata lain. Coba saja dengar ketika teman/saudara kita menikah! Apa yang dibicarakan para tetangga soal si pasangan? Apa mereka luput membicarakan soal parasnya?. Sangat tidak mungkin, kawan!.
Ketiga, berhati lembut. Siapa sih yang tak mau dengan pasangan yang tak pernah marah!?. Tapi tunggu! Kita ini manusia biasa. Sangat tidak mungkin bila kita tak punya rasa marah. Lagi-lagi, andaikan kita mencari pasangan yang tak pernah marah, ajal akan terlebih dahulu menjemput kita. Apabila “berhati lembut” di sini diinterpretasikan dengan “memperlakukan kita (selaku pasangan) dengan sebaik-baiknya”, itu masih cukup logis. Orang yang semacam itu juga masih sangat mungkin kita temui. Hanya saja, kadang ketika kita sudah menemukan pasangan yang memperlakukan kita dengan sebaik-baiknya, malah kita sendiri yang memperlakukan dia seenaknya. Dasar manusia! Mintanya yang berhati malaikat, tapi diri sendiri masih seperti iblis yang jahat.
Rasanya tidak mungkin ada manusia dengan kriteria lengkap di atas. Pasti! Ada salah satu yang tidak disandangnya. Sebagaimana hukum semesta yang berlaku, “Tak ada yang sempurna di dunia ini”. Nah, masalah yang kita punya adalah kita terlalu banyak meminta dan terlalu sedikit memberi—termasuk dalam konteks “menantu idaman” ini. Maksudnya bagaimana? Kita terlalu sering mencari pasangan dengan kriteria-kriteria di atas. Namun, di sisi lain, sudahkah kita sesibuk itu dalam mendidik diri supaya—setidaknya—bisa memenuhi satu kriteria di atas?. Yah.....manusia memang begitu, sangat egois.
3 kriteria menantu idaman di atas tentu tidak berlaku mutlak. Sebab, bagi sebagian orang 3 kriteria itu terlalu sempurna, tapi sebagian lagi justru berpikir bahwa itu masih kurang. Nyatanya masih ada yang menambahkan kriteria lain, yakni “kaya”. Kriteria satu ini bisa terpenuhi asalkan latar belakang perekonomian keluarga mendukung. Oke! Saya menyadari bahwa kebutuhan rumah tangga itu tak sedikit. Jadi, tak heran bila beberapa orang ingin punya menantu kaya dengan dalih supaya kondisi finansial anaknya nanti dapat baik-baik saja. Tetapi yang jadi pertanyaan adalah, “Benarkah hal itu semata demi anaknya?”.
Frasa “menantu idaman” lebih kerap terdengar ketimbang “mertua idaman”. Kasus ini, saya rasa, sama seperti frasa “anak berbakti” yang lebih sering digaungkan daripada “orang tua baik”. Saya jadi bertanya-tanya, apakah 2 kasus tersebut merupakan indikasi bahwa anak muda dituntut untuk selalu memenuhi ekspektasi para orang tua?. Apakah orang tua tidak pernah merasa bertanggung jawab untuk memberi teladan pada anak muda?. Saya sangat menghormati para orang tua lantaran punya pengalaman yang jauh lebih banyak dari saya (selaku anak muda). Namun, apakah karena hal itu orang tua lantas bisa menuntut seenaknya pada anak muda?.
Menantu idaman, tuntutan atau harapan?. Jika itu merupakan wujud tuntutan, apakah Anda memang benar-benar punya hak untuk melempar tuntutan itu?. Jika Anda menuntut seseorang menjadi “menantu idaman” (versi Anda) dengan landasan status mertua, apakah Anda tidak melihat perjuangan yang telah dilaluinya untuk bisa menikah dengan anak Anda?. Apakah itu masih belum cukup?. Maaf! Kali ini saya harus berkata secara terbuka. Perkara yang sebenarnya membuat Anda merasa tidak cukup terhadap “si menantu” adalah sifat rakus Anda sendiri.
Lalu bagaimana jika “menantu idaman” itu merupakan sebuah harapan?. Berharap itu sah-sah saja, tapi—tanpa bermaksud menggurui—kita harus sadar akan batasannya. Apabila kita mengharapkan menantu idaman yang begitu sempurna, tapi ternyata “si menantu” tidak sesempurna yang kita bayangkan, jelas kita akan kecewa. Menyalahkan “si menantu” di sini juga bukan merupakan sesuatu yang benar dan baik. Pasalnya, “si menantu” juga tak salah apa-apa. Jadi, pada akhirnya kita harus benar-benar menyadari bahwa tak ada manusia—dalam hal ini menantu—yang sempurna, termasuk juga kita.
0 Comments