Ticker

6/recent/ticker-posts

Syams al-Din al-Tabriz, Pembuka Inspirasi Rumi dalam Menulis Sastra

 

Unsplash.com

Salah satu guru Jalaluddin Rumi yang pengaruhnya sangat besar adalah Syams al-Din al-Tabriz (1185-1248 M). Hal ini terbukti dari salah satu karyanya yang berjudul Diwan Syamsi Tabriz. Kitab tersebut berisi kumpulan sajak pujian yang mendeskripsikan pengalaman dan gagasan Rumi tentang cinta. Diwan Syamsi Tabriz tercipta lantaran Rumi berpisah dan merasa sangat kehilangan sang guru, Syams al-Din. Dalam karyanya ini, hampir di setiap ujung bait, Rumi selalu menyinggung kata “Syams”—yang mana ia merujuk pada sang guru itu sendiri. Sebagian pihak berpendapat bahwa isi dari Diwan Syamsi Tabriz lebih emosional daripada Matsnawi.

Nama asli Syams al-Din adalah Muhammad ibn Ali ibn Malik ibn Da’ad. Rumi mulai berguru padanya pasca-wafatnya sang ayah, Bahauddin Walad. Tanah kelahiran Syams al-Din adalah Tabriz, salah satu daerah di Iran. Saat kecil, Syams al-Din mempunyai karakter yang tak sama dengan anak-anak pada umumnya. Alih-alih bermain, Syams al-Din justru lebih suka menghadiri majelis ilmu yang diadakan guru-guru sufi. Syams al-Din telah berkeinginan untuk mengeksplorasi hakikat cinta dalam dirinya sebelum usianya menyentuh dewasa. Sayangnya, tak ada teman sebaya yang memahami hal tersebut sehingga membuat dirinya kerap menghabiskan waktu dengan menyendiri.

Orang tua Syams al-Din sendiri mengira putranya yang seperti itu disebabkan oleh tak terpenuhinya suatu harapan, seperti yang terjadi pada anak-anak seumurannya. Pernah suatu hari Syams al-Din bersama ayahnya bertemu seorang sufi di sebuah kedai teh. Saat hendak berpisah, sang sufi berpamitan dengan menunduk sopan kepada Syams al-Din dan berucap, “Semoga waktumu bahagia”. Kata “waktu” di kalangan para sufi merujuk pada momen penyatuan dengan Tuhan.

Saat Syams al-Din remaja, ia pernah mengalami kesulitan tidur dan kehilangan nafsu makan selama 1 bulan lebih. Kejanggalan tersebut lantas memancing orang lain untuk bertanya mengapa Syams al-Din seperti itu. Ia menjawab, “Kenapa aku harus makan atau tidur, sementara Tuhan tidak berbicara langsung kepadaku!? Andaikan Dia berbicara langsung kepadaku dan kutemukan jawaban ke mana aku harus pergi, maka aku akan makan dan tidur”. Syams al-Din menyebut fase tersebut di kemudian hari dengan fase “Cinta Sejati”. Ini karena hasratnya terhadap hal-hal yang bersifat ketuhanan telah melalaikannya dari kebutuhan normal fisik.

Waktu terus berjalan, Syams al-Din pun memasuki usia dewasa. Ia memilih untuk konsisten menapaki jalan spiritual dan meminta seorang guru sufi yang bernama Abu Bakr Silah-Baf untuk membimbingnya. Namun, proses pembimbingan itu berjalan cukup singkat. Sang guru menyadari bahwa ternyata Syams al-Din telah mencapai tingkat yang tinggi sehingga ia semestinya sudah tak lagi menjadi murid. Syams al-Din kemudian mendapat saran dari gurunya tersebut untuk segera mencari murid. Ia pun dengan cepat melaksanakan saran tersebut dengan mengembara ke berbagai wilayah.

Dalam pengembaraannya itu, Syams al-Din mengajar banyak orang. Mulai dari murid-murid madrasah hingga kaum pekerja yang tidak memiliki kesempatan yang banyak untuk mencicipi pendidikan. Syams al-Din tidak pernah meminta orang-orang tersebut supaya membayarnya atas apa yang sudah ia lakukan. Oleh sebab itulah Syams al-Din tidak pernah dekat dengan kemewahan. Salah satu buktinya bisa dilihat dari penampilan luarnya yang hanya mengenakan jubah hitam sufi yang kasar dan penuh dengan tambalan. Syams al-Din juga merupakan sosok yang acuh tak acuh dengan penilaian orang awam. Sebab, apa yang ia lakukan adalah murni dorongan cinta pada Tuhan.

Pengembaraan Syams al-Din terus berlanjut, hingga satu hari ia sampai di Konya dan bertemu Jalaluddin Rumi. Ada sebuah pendapat yang menyebut bahwa perjumpaan awal Syams al-Din dengan Rumi adalah saat Rumi sedang mengajar. Kala itu Syams al-Din bertanya pada Rumi, “Apa yang dimaksud dengan riyadlah dan ilmu?”. Mendengar pertanyaan itu, Rumi merasa takjub. Selepas kejadian ini, Rumi mulai menjalin kedekatan dengan Syams al-Din dan menjadikannya sebagai guru. Rumi pun seperti mendapat suntikan semangat yang baru. Bagi Rumi, Syams al-Din adalah individu yang telah menunjukkan padanya berbagai kebenaran. Rumi pernah menulis, “Sesungguhnya Syamsi Tabriz itulah yang menunjukkan padaku jalan kebenaran. Dialah yang mempertebal keyakinan dan keimananku”.

Rumi memang sangat mengagumi Syams al-Din. Tak heran bila Rumi lebih dekat dengan Syams al-Din daripada murid-muridnya sendiri. Pengajaran-pengajaran Syams al-Din berpengaruh besar terhadap pandangan Rumi. Semenjak berguru pada Syams al-Din pula Rumi mulai mampu merangkai sajak-sajak dengan unsur estetika yang mirip dengan yang dimiliki para penyair terdahulu. Kala itu Rumi dan Syams al-Din kerap menghabiskan waktu bersama. Ada yang menyebut bahwa mereka berdua pernah mengasingkan diri dari keramaian selama 3 bulan.

Terdapat satu kisah yang cukup menarik antara Rumi dengan Syams al-Din. Saat itu mereka berdua usai menyantap makanan. Syams al-Din kemudian meminta Rumi untuk menyediakan arak. Tentu Rumi terkejut dengan permintaan gurunya itu. Rumi menolak secara halus dengan dalih bahwa seluruh masyarakat telah mengenalnya sebagai pribadi yang taat. Namun, Syams al-Din tetap bersikeras dengan permintaannya. Ia bahkan tak akan mengakui Rumi sebagai murid bila Rumi enggan melaksanakan permintaannya tersebut. Akhirnya, atas dasar rasa hormat pada sang guru, Rumi pun berangkat mencari arak.

Ketika Rumi masuk ke kedai arak, ada beberapa orang yang melihatnya. Mereka kemudian menguntiti Rumi dalam perjalanan pulangnya. Sesampainya di dekat masjid tempat Rumi biasa menjadi imam, salah satu penguntit tadi berteriak, “Syekh Jalaluddin yang setiap hari jadi imam sholat kalian baru saja pergi membeli arak dan akan dibawa pulang”. Para penguntit itu lalu memaksa Rumi mengeluarkan botol berisi arak yang sejak tadi disembunyikan di balik jubahnya. Publik yang melihat fakta tersebut pun langsung beramai-ramai memukuli Rumi. Mereka bahkan semakin yakin bila Rumi memang bersalah karena ia tak sedikit pun memberi perlawanan.

Salah satu guru Jalaluddin Rumi yang pengaruhnya sangat besar adalah Syams al-Din al-Tabriz (1185-1248 M). Hal ini terbukti dari salah satu karyanya yang berjudul Diwan Syamsi Tabriz. Kitab tersebut berisi kumpulan sajak pujian yang mendeskripsikan pengalaman dan gagasan Rumi tentang cinta. Diwan Syamsi Tabriz tercipta lantaran Rumi berpisah dan merasa sangat kehilangan sang guru, Syams al-Din. Dalam karyanya ini, hampir di setiap ujung bait, Rumi selalu menyinggung kata “Syams”—yang mana ia merujuk pada sang guru itu sendiri. Sebagian pihak berpendapat bahwa isi dari Diwan Syamsi Tabriz lebih emosional daripada Matsnawi.

Nama asli Syams al-Din adalah Muhammad ibn Ali ibn Malik ibn Da’ad. Rumi mulai berguru padanya pasca-wafatnya sang ayah, Bahauddin Walad. Tanah kelahiran Syams al-Din adalah Tabriz, salah satu daerah di Iran. Saat kecil, Syams al-Din mempunyai karakter yang tak sama dengan anak-anak pada umumnya. Alih-alih bermain, Syams al-Din justru lebih suka menghadiri majelis ilmu yang diadakan guru-guru sufi. Syams al-Din telah berkeinginan untuk mengeksplorasi hakikat cinta dalam dirinya sebelum usianya menyentuh dewasa. Sayangnya, tak ada teman sebaya yang memahami hal tersebut sehingga membuat dirinya kerap menghabiskan waktu dengan menyendiri.

Orang tua Syams al-Din sendiri mengira putranya yang seperti itu disebabkan oleh tak terpenuhinya suatu harapan, seperti yang terjadi pada anak-anak seumurannya. Pernah suatu hari Syams al-Din bersama ayahnya bertemu seorang sufi di sebuah kedai teh. Saat hendak berpisah, sang sufi berpamitan dengan menunduk sopan kepada Syams al-Din dan berucap, “Semoga waktumu bahagia”. Kata “waktu” di kalangan para sufi merujuk pada momen penyatuan dengan Tuhan.

Saat Syams al-Din remaja, ia pernah mengalami kesulitan tidur dan kehilangan nafsu makan selama 1 bulan lebih. Kejanggalan tersebut lantas memancing orang lain untuk bertanya mengapa Syams al-Din seperti itu. Ia menjawab, “Kenapa aku harus makan atau tidur, sementara Tuhan tidak berbicara langsung kepadaku!? Andaikan Dia berbicara langsung kepadaku dan kutemukan jawaban ke mana aku harus pergi, maka aku akan makan dan tidur”. Syams al-Din menyebut fase tersebut di kemudian hari dengan fase “Cinta Sejati”. Ini karena hasratnya terhadap hal-hal yang bersifat ketuhanan telah melalaikannya dari kebutuhan normal fisik.

Waktu terus berjalan, Syams al-Din pun memasuki usia dewasa. Ia memilih untuk konsisten menapaki jalan spiritual dan meminta seorang guru sufi yang bernama Abu Bakr Silah-Baf untuk membimbingnya. Namun, proses pembimbingan itu berjalan cukup singkat. Sang guru menyadari bahwa ternyata Syams al-Din telah mencapai tingkat yang tinggi sehingga ia semestinya sudah tak lagi menjadi murid. Syams al-Din kemudian mendapat saran dari gurunya tersebut untuk segera mencari murid. Ia pun dengan cepat melaksanakan saran tersebut dengan mengembara ke berbagai wilayah.

Dalam pengembaraannya itu, Syams al-Din mengajar banyak orang. Mulai dari murid-murid madrasah hingga kaum pekerja yang tidak memiliki kesempatan yang banyak untuk mencicipi pendidikan. Syams al-Din tidak pernah meminta orang-orang tersebut supaya membayarnya atas apa yang sudah ia lakukan. Oleh sebab itulah Syams al-Din tidak pernah dekat dengan kemewahan. Salah satu buktinya bisa dilihat dari penampilan luarnya yang hanya mengenakan jubah hitam sufi yang kasar dan penuh dengan tambalan. Syams al-Din juga merupakan sosok yang acuh tak acuh dengan penilaian orang awam. Sebab, apa yang ia lakukan adalah murni dorongan cinta pada Tuhan.

Pengembaraan Syams al-Din terus berlanjut, hingga satu hari ia sampai di Konya dan bertemu Jalaluddin Rumi. Ada sebuah pendapat yang menyebut bahwa perjumpaan awal Syams al-Din dengan Rumi adalah saat Rumi sedang mengajar. Kala itu Syams al-Din bertanya pada Rumi, “Apa yang dimaksud dengan riyadlah dan ilmu?”. Mendengar pertanyaan itu, Rumi merasa takjub. Selepas kejadian ini, Rumi mulai menjalin kedekatan dengan Syams al-Din dan menjadikannya sebagai guru. Rumi pun seperti mendapat suntikan semangat yang baru. Bagi Rumi, Syams al-Din adalah individu yang telah menunjukkan padanya berbagai kebenaran. Rumi pernah menulis, “Sesungguhnya Syamsi Tabriz itulah yang menunjukkan padaku jalan kebenaran. Dialah yang mempertebal keyakinan dan keimananku”.

Rumi memang sangat mengagumi Syams al-Din. Tak heran bila Rumi lebih dekat dengan Syams al-Din daripada murid-muridnya sendiri. Pengajaran-pengajaran Syams al-Din berpengaruh besar terhadap pandangan Rumi. Semenjak berguru pada Syams al-Din pula Rumi mulai mampu merangkai sajak-sajak dengan unsur estetika yang mirip dengan yang dimiliki para penyair terdahulu. Kala itu Rumi dan Syams al-Din kerap menghabiskan waktu bersama. Ada yang menyebut bahwa mereka berdua pernah mengasingkan diri dari keramaian selama 3 bulan.

Terdapat satu kisah yang cukup menarik antara Rumi dengan Syams al-Din. Saat itu mereka berdua usai menyantap makanan. Syams al-Din kemudian meminta Rumi untuk menyediakan arak. Tentu Rumi terkejut dengan permintaan gurunya itu. Rumi menolak secara halus dengan dalih bahwa seluruh masyarakat telah mengenalnya sebagai pribadi yang taat. Namun, Syams al-Din tetap bersikeras dengan permintaannya. Ia bahkan tak akan mengakui Rumi sebagai murid bila Rumi enggan melaksanakan permintaannya tersebut. Akhirnya, atas dasar rasa hormat pada sang guru, Rumi pun berangkat mencari arak.

Ketika Rumi masuk ke kedai arak, ada beberapa orang yang melihatnya. Mereka kemudian menguntiti Rumi dalam perjalanan pulangnya. Sesampainya di dekat masjid tempat Rumi biasa menjadi imam, salah satu penguntit tadi berteriak, “Syekh Jalaluddin yang setiap hari jadi imam sholat kalian baru saja pergi membeli arak dan akan dibawa pulang”. Para penguntit itu lalu memaksa Rumi mengeluarkan botol berisi arak yang sejak tadi disembunyikan di balik jubahnya. Publik yang melihat fakta tersebut pun langsung beramai-ramai memukuli Rumi. Mereka bahkan semakin yakin bila Rumi memang bersalah karena ia tak sedikit pun memberi perlawanan.

Kegaduhan tersebut mulai mereda ketika Syams al-Din datang dan mengatakan bahwa yang dibawa oleh Rumi hanya air biasa. Syams al-Din kemudian menuangkan isi botol yang dibawa Rumi di tangan orang-orang dan meminta mereka untuk menciumnya. Mereka sangat terkejut karena apa yang dikatakan Syams al-Din memang benar, itu hanya air biasa. Mereka lalu bersimpuh di depan Rumi dan meminta maaf padanya. Rumi pun bertanya pada Syams al-Din tentang apa maksud semua ini hingga dirinya harus menodai kehormatannya. Syams al-Din menjawab, “Agar kau mengerti bahwa wibawa yang kau banggakan itu hanya khayalan semata. Kau pikir penghormatan orang-orang awam seperti mereka adalah sesuatu yang abadi!?”. Wallahu A’lam.


Post a Comment

0 Comments